Sukses

Cerita Anak Perambah Hutan dan Sekolah yang Dibakar

Ketakutan dan intimidasi membuat Narti bersama orangtua beserta warga desanya bersembunyi di tepian sungai.

Liputan6.com, Bengkulu - Mendapatkan pendidikan yang layak adalah hak setiap warga negara di republik ini. Namun konflik agraria yang terjadi di desanya, memaksa Narti, siswi kelas V SD di Pendidikan Layanan Khusus Kompleks (PLKK), Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu tak dipenuhi haknya mendapat pendidikan layak.

Dia bersama puluhan anak yang tinggal di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) terpaksa berpisah dari orangtua. Sebab sekolahnya yang dulu sudah luluh lantak dan rata dengan tanah saat puluhan aparat gabungan dari BKSDA dan kepolisian membakar sekolah mereka pada Senin siang akhir Desember tahun lalu.

Narti bersama orangtuanya dan beberapa keluarga miskin lain yang bermukim di dalam kawasan taman nasional dituding sebagai penjahat pelaku perambah hutan. Tak hanya sekolah, rumah mereka juga menjadi korban keganasan petugas dan dibumihanguskan.

Saat itu Narti dan puluhan anak warga masyarakat adat Semende Banding Agung, menikmati pendidikan dari sebuah sekolah sederhana yang dibuat masyarakat. Namun lantaran dituding sebagai 'perambah', rumah orangtuanya termasuk sekolah ikut dibakar petugas.

Bersembunyi di Tepian Sungai

Ketakutan dan intimidasi membuat Narti bersama orangtua dan warga desanya melarikan diri dari kejaran petugas dan bersembunyi di tepian sungai. Sekitar satu bulan Narti dan teman temannya tidak lagi bersekolah.

"Saya masih ingat saat sekolah dibakar, kami berlari dan sembunyi," ungkap Narti, Sabtu 20 Februari 2016.

Salah seorang guru yang ditugasi oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kaur untuk mengajar di sekolah tersebut, Muhammad Daud mengatakan, saat ini tidak ada lagi proses belajar-mengajar di sana. Sebab, semua sarana dan prasarana sekolah sudah tidak ada lagi yang bisa diselamatkan usai dibakar petugas.

"Saya kumpulkan murid-murid saya yang bersembunyi, mereka berasal dari keluarga miskin. Saya bujuk orangtuanya agar mereka mau melepas anaknya bersekolah di Bintuhan, ibu kota Kabupaten Kaur," kenang Daud.

Berbarengan dengan Narti, ada sekitar 15 anak ia bawa, belasan anak tersebut ditempatkan di rumah dinas Bupati Kaur. Sementara untuk belajar, mereka dititipkan di beberapa sekolah.

Sekolah Gratis

Berselang beberapa waktu, Pemerintah Kabupaten Kaur mendirikan sekolah Pendidikan Layanan Khusus Kompleks (PLKK). Sekolah tersebut cukup unik digunakan untuk anak-anak korban konflik hutan, anak miskin, atau mereka yang berasal dari keluarga bermasalah.

"Sekolah ini berasrama, anak-anak tinggal di asrama, mereka bebas tanpa dipungut biaya sepeser pun," lanjut Daud.

Hampir dua tahun sekolah tersebut berdiri dengan tenaga pengajar dari beragam guru profesional. Saat ini terdapat 150 orang siswa dari keluarga miskin dan bermasalah secara ekonomi, psikologis menikmati fasilitas pendidikan gratis tersebut.

Di sekolah ini para murid 24 jam didampingi guru pendamping. Tak hanya pengetahuan sekolah yang mereka dapatkan, tapi juga pemahaman wirausaha, akhlak, dan ilmu agama juga menjadi prioritas.

Bupati Kaur, Hermen Malik, mengatakan, pendirian sekolah gratis di daerahnya merupakan program prioritasnya. Pendidikan gratis tersebut diperuntukkan untuk keluarga miskin dan anak korban dari keluarga bermasalah.

"Pendidikan merupakan fondasi bangsa untuk memanusiakan manusia, dan itu tugas bersama," tutup Hermen.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini