Sukses

Ketika Nahdiyin Kehilangan Induk

Pertarungan memperebutkan kursi wakil presiden antara Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid membuat warga Nahdlatul Ulama seperti anak ayam kehilangan induk. Pilihan terakhir tetap berada di tangan nahdiyin.

Liputan6.com, Jakarta: Nahdlatul Ulama pecah. Sebagian kiai, pengurus, dan aktivis Partai Kebangkitan Bangsa mendukung Salahuddin Wahid sebagai calon wakil presiden Partai Golongan Karya bersama Wiranto. Separuhnya menyokong mantan Ketua Pengurus Besar NU Kiai Haji Hasyim Muzadi, cawapres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mendampingi capres Megawati Sukarnoputri.

Situasi ini jelas membuat warga NU bingung. Pelaksana Harian PBNU Masdar Farid Mas`udi membenarkan fakta tersebut. Namun, dia mengingatkan keputusan akhir berada di tangan rakyat. "Biarlah itu dipilih oleh rakyat sendiri," kata Farid kepada SCTV di Jakarta, pekan ini.

Persaingan memperebutkan sekitar 12 juta suara NU membuat organisasi massa terbesar di Indonesia ini mengecewakan berbagai kalangan. Pengamat politik Arbi Sanit menyayangkan sikap Ketua Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang mendukung Wiranto. Kebijakan Gus Dur itu dianggap amat buruk bagi pendidikan politik Indonesia di zaman krisis. "PKB atau NU ibarat [anak] ayam kehilangan induk, tidak ada leadership," kata dosen Universitas Indonesia ini. Dia menambahkan, politik yang ditawarkan NU dan PKB amat personal dan pragmatis sehingga mengabaikan prinsip demokrasi dan reformasi.

Tokoh muda NU, Ulil Abshar Abdala, sependapat dengan Arbi. Ketua Jaringan Islam Liberal itu mengatakan banyak orang NU yang sudah tidak menyukai kebijakan Gus Dur. Dia kecewa karena Gus Dur dan PKB mendukung Wiranto dari Partai Golkar--partai yang pernah ingin dibubarkan Gus Dur. Dia juga menyesalkan Hasyim yang berpolitik praktis.

Lepas dari itu keduanya memperkirakan pertarungan Hasyim dan Salahuddin memperebutkan kursi RI-2 bakal seru. Arbi melihat peluang keduanya berimbang. Sebagai mantan Ketua PBNU, Hasyim memiliki jaringan hingga ke pengurus di desa-desa. Sedangkan Gus Solah mendapat dukungan bayangan dari Gus Dur dan para kiai khos. "Jaringan Kiai Hasyim Muzadi melalui kiai-kiai yang ada di dalam ke pengurus NU itu jauh lebih penting ketimbang kiai khos, kiai elite yang sebetulnya pengaruhnya di tingkat massa tidak cukup besar," kata Ulil.

Meski begitu ada kiai yang memilih netral, sebut saja, Rais Aam PBNU K.H. M.A. Sahal Mahfudz. Sedangkan Mahfud Md, tim sukses Wiranto-Salahuddin optimistis persilangan ini tidak sampai berujung permusuhan. Dia menambahkan, kalau ada anggota PKB yang kurang sreg pada keputusan partai, boleh saja golongan putih alias tidak memilih. "Yang penting tidak bertengkar," ujar mantan Menteri Pertahanan ini. Lain lagi dengan prediksi Arbi. Pengamat berkuncir ini mengatakan, dua kelompok besar ini akan terlibat konflik intens. Ketegangan ini baru bisa mencari paling lama setahun.

Antimiliter

Demonstrasi antimiliter juga meramaikan bursa capres dan cawapres. Pada pemilihan presiden ini tiga jenderal masing-masing Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono berebut menjadi RI-1 dan Agum Gumelar untuk kursi wapres. Aksi menolak militerisme menyeruak setelah Wiranto memenangi konvensi capres Partai Golkar. Demonstrasi serupa juga menyeruak begitu Susilo Bambang Yudhoyono resmi mendafkarkan diri sebagai capres bersama pasangannya Jusuf Kalla yang dicalonkan Partai Demokrat dan tujuh partai politik lain. "Tolak Capres Militer" begitulah antara lain poster wajib yang dibawa pengunjuk rasa dalam setiap aksinya.

Rupanya para aktivis perempuan, lembaga swadaya masyarakat, dan mahasiwa tak bisa begitu saja melupakan trauma hidup dalam cara-cara kekerasan yang diterapkan rezim Orde Baru selama lebih dari 30 tahun. Mereka kembali turun jalan menolak kembalinya militerisme dengan isu penegakan hak asasi manusia, kerusuhan, dan antidemokrasi. Ade Rostina Sitompul dari Koalisi Perempuan Indonesia tak mau kekerasan dengan senjata terjadi lagi untuk membungkam aspirasi yang berbeda. "Mungkin akan lebih dahsyat dari [peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia] 65, Semanggi, Trisakti. Militer itu selalu menyelesaikan persoalan dengan kekerasan, dengan senjata," kata pekerja kemanusiaan ini.

Namun, Wiranto mengajak semua pihak untuk melupakan masa silam. "Jangan kita mempermasalahkan masa lalu dengan parameter sekarang," kata Mantan Panglima ABRI ini. Untuk memuluskan langkahnya, Wiranto juga bertemu dengan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao. Wiranto yang sempat menjadi tersangka penjahat kemanusiaan dalam kerusuhan pascajajak pendapat di Timor Timur ini berpelukan dengan Xanana yang pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.

Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat Mayor Jenderal Purnawirawan TNI Kivlan Zein bertentangan dengan Wiranto. Menurut dia belum saatnya jenderal kembali memimpin Indonesia, mungkin sepuluh tahun lagi. "Kalau pemimpin yang pada masa konflik tampil lagi, saya kira akan terjadi konflik," kata Kivlan.

Salim Said juga angkat bicara. Pengamat militer ini mengatakan ada salah kaprah dalam pengertian strong leader. Timbul kesan seakan-akan seseorang yang punya latar belakang militer. Dia menekankan, strong leader adalah pemimpin yang mendapat dukungan masyarakat dan mempunyai kebijaksanaan yang jelas dan mempunyai kemampuan memimpin dalam menyelesaikan persoalan.

SBY juga tak luput dari demonstrasi. Bahkan, sejumlah organisasi Islam menuding mantan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ini terlalu dekat dengan Amerika Serikat. Indikasinya Undang-undang Antiteror yang dibuat SBY semasa menjadi Mengko Polkam. Namun, itulah politik. Saling sikut demi kepentingan sudah lumrah. Apalagi, Wiranto memang berpeluang besar menjadi orang nomor satu di Indonesia. Hitungan kasar saja, pada pemilu legislatif 5 April silam Golkar meraih suara terbesar. Sedangkan dalam berbagai survei SBY berada di posisi puncak capres yang paling diminati.

Sementara rakyat tak mau ambil pusing dengan manuver para elite politik. Seorang praktisi keuangan mengatakan, pasar lebih membutuhkan pemimpin yang fleksibel bukan dengan gaya komando dan militeristik. "Kalau terlalu diatur bisa repot," kata dia.

Dua tukang loak yang ditanyai mengaku tak merepotkan diri dengan pemimpin dari sipil atau tentara. Keduanya lebih membutuhkan beras dan sembako murah. Seorang pedagang etnis Tionghoa juga tak mempermasalahkan pemimpin sipil atau militer. "Yang penting bisa ngurus negara. Iya nggak, iya nggak," kata dia.

Kecap Presiden

Kampanye adalah masa obral janji. Masing-masing pasangan berlomba melempar rayuan agar konstituen memilihnya pada pemilihan presiden nanti. Tengok saja kampanye cawapres Jusuf Kalla di Makassar, Sulawesi Selatan. Dengan bersemangat Jusuf berjanji akan meningkatkan dan memperbaiki mutu bangsa. Dia berjanji akan menyejahterakan dan mendamaikan rakyat.

Dalam kampanye di Cianjur, Jawa Barat, Agum mengatakan di zaman globalisasi pemerintah tak perlu bergaya bak penguasa. "Rakyat Indonesia mendambakan pemimpin yang menjadi kepala pelayan negara," kata cawapres dari Partai Persatuan Pembangunan disambut tepuk tangan massa.

Lain lagi dengan Amien Rais. Di depan massa di Pontianak, Kalimantan Barat, capres dari Partai Amanat Nasional ini mengatakan tidak mau mengumbar janji. Dia berjanji tidak akan tidur sebelum lelah agar bersama-sama rakyat membangun masa depan yang lebih bagus lagi. Ketua MPR ini berjanji akan menegakkan supremasi hukum, membangun pemerintah yang bersih, mengurusi nasib guru, buruh, nelayan, dan petani.

Sedangkan cawapres PDI Perjuangan Hasyim Muzadi antara lain memfokuskan perhatian pada korban langsung maupun tidak langsung dari peristiwa G30S/PKI. "Sudah tidak bisa lagi kesalahan komunis dilimpahkan pada anak, keponakan, saudaranya bahkan pada pelakunya. Itu semua harus direhabilitasi," kata Hasyim di Jawa Timur.

Di Bandung, Jawa Barat, Wiranto berjanji akan memperhatikan rakyat kecil jika menjadi presiden. "Mengapa saya siap melaksanakan itu semua? Karena Pak Wiranto adalah rakyat kecil, berasal dari keluarga sederhana, anak seorang guru SD," Wiranto.(TNA/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini