Sukses

Uji Materi 'Pasal Rokok', DPR: Pajak Ganda Tak Bebani Rakyat

DPR mengklaim pajak rokok di Indonesia lebih keciol dari sejumlah negara lainnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi 'pasal cukai rokok' dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Agenda kali ini mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR.

Dalam keterangannya, DPR menyatakan bahwa pajak ganda rokok yang diberlakukan tidak akan membebani masyarakat. Sebab, rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok.

"Pajak rokok tidak akan membebani masyarakat. Bahkan pada tingkat tertentu konsumsi rokok perlu dikendalikan," kata Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Kamis (22/8/2013).

Sudding juga menjelaskan, pajak ganda juga tidak akan terlalu berdampak pada industri rokok. Mengingat pemerintah akan menyesuaikannya dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional.

Besaran beban pajaknya pun, kata Sudding, disesuaikan dengan daya pikul industri rokok yang mengikuti pertumbuhan alamiah (natural growth) dari industri tersebut.

"Pajak Rokok ini baru berlaku 1 Januari 2014. Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan pemerintah terhadap rokok. Disepakati sebesar 10 persen dari cukai rokok," ujarnya.

Sudding mengatakan lebih jauh, hasil penerimaan pajak rokok akan dibagi dua. Yakni sebesar 70 persen untuk kabupaten/kota dan 30 persen lagi untuk provinsi.

Dana hasil pajak itu, kata Sudding, dialokasikan untuk sejumlah kegiatan, misalnya pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan smoking area, atau kegiatan masyarakat tentang bahaya merokok.

Sudding menambahkan, sejatinya cukai rokok di Indonesia adalah yang terendah ketimbang negara-negara lain. Yakni hanya 36 persen. Bandingkan dengan Singapura yang 64 persen, Thailand 63 persen, Filipina 49 persen, atau Vietnam 45 persen.

Hindari Isu

Menanggapi pernyataan DPR, kuasa hukum Pemohon, Robikin Emhas menilai, baik DPR maupun Pemerintah tidak mampu mematahkan argumentasi mendasar mengenai akan diberlakukannya pajak ganda rokok ini. Yang mana pemberlakuan UU PDRD dinilai telah bertentangan dengan konstitusi.

"Baik DPR maupun Pemerintah sama sekali tidak menyinggung mengenai tema double taxation," kata Robikin usai sidang di Gedung MK.

Bahkan, kata Robikin, DPR dan pemerintah terkesan berusaha menghindari isu pajak ganda rokok tersebut dengan uraian panjang lebar mengenai konsekuensi penerapan norma PDRD yang dinilainya demi pembangunan kesehatan masyarakat. "Padahal penerapan norma jelas-jelas bukan merupakan kewenangan MK," kata dia.

Uji materi UU PDRD ini dimohonkan oleh 5 orang yang mengaku perokok sejati. Mereka adalah Mulyana anggota tim RUU HAM Wirakusumah, Hendardi anggota PHBI, anggota Dewan Pimpinan Kerukunan Tani Indonesia Aizzudin, Ketua Presidium IPW Neta S Pane, dan Bambang Isti Nugroho.

Sebagai perokok, para Pemohon itu merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan ketentuan pajak ganda atas cukai rokok. Mereka mempermasalahkan Pasal 1 angka 19, Pasal 2 ayat 1 huruf e, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat 1 huruf c, dan Pasal 181 dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (DPRD), yang dinilai telah bertentangan dengan konstitusional, yakni Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

Sebab, menurut para Pemohon, UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai, juga telah menetapkan cukai rokok sebagai jenis pajak tidak langsung yang dipungut negara atas produk rokok.