Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menyidangkan 11 perkara uji formal dan uji material Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Hari ini Jumat (9/5/2025) sidang pendahuluan dimulai. Adapun yang disidangkan pada hari ini adalah gugatan yang diajukan oleh para mahasiswa dari sejumlah universitas yang terbagi dalam empat perkara.
Baca Juga
Tak hanya itu, Putri presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Inayah Wulandari Wahid atau Inayah Wahid juga ikut melakukan gugatan. Adapun gugatan itu dilayangkan bersama-sama dengan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Imparsial, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Advertisement
"Pemohon dalam uji formil ini terdiri dari tiga organisasi yang aktif melakukan kerja advokasi HAM dan demokrasi serta aktif mendorong reformasi sektor keamanan khususnya reformasi TNI, yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Imparsial, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)," kata Wakil Ketua YLBHI Arif Maulana kepada Liputan6.com, Jumat (9/5/2025).
"Selain itu, terdapat tiga pemohon perorangan Warga Negara Indonesia diantaranya, yaitu Aktivis HAM yang juga merupakan Putri Presiden Indonesia Ke-4 Inayah Wahid, mantan Koordinator KontraS Fatiah Maulidiyanty, dan aktivis mahasiswa Eva Nurcahyani," sambungnya.
Adapun dari laman MK, jadwal sidang mereka akan dilangsungkan pada Rabu 14 Mei 2025 pada pukul 10.00 WIB dengan nomor perkara 81/PUU-XXIII/2025.
Pihaknya mendalilkan bahwa UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI ini dibuat secara ugal-ugalan (abusive law making) dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ada beberapa catatan, di mana disebutkan perencanaan revisi UU TNI dalam PROLEGNAS tahun 2025 dilakukan secara ilegal, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 22A UUD 1945, UU P3 dan Tata Tertib DPR.
"Hal ini lantaran pengambilan keputusan untuk memasukan Revisi UU TNI tidak termasuk dalam agenda rapat paripurna tanggal 18 Februari 2025 tersebut. Namun, secara tiba-tiba, Ketua Sidang Adies Kadir (Wakil Ketua DPR, Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar)), meminta persetujuan anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna untuk menyetujui Revisi UU TNI masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025," ungkap Arif.
Kritik Lainnya
Pihaknya juga melihat revisi UU TNI bukan carry over, sehingga pembahasan revisi UU TNI melanggar Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20, dan Pasal 22A UUD 1945, UU P3 dan Tata Tertib DPR. Revisi UU TNI tidak termasuk dalam 12 (dua belas) RUU carry over sebagaimana tertuang dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 dan Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029.
"Oleh karena itu, Revisi UU TNI tidak sepatutnya dilanjutkan ke tahap pembahasan melainkan harus terlebih dahulu melalui tahapan perencanaan dan penyusunan undang-undang," jelas dia.
Revisi UU TNI juga dinilai tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI yang ditetapkan oleh berbagai politik hukum mengenai TNI pasca reformasi 1998. Salah satu maksud awal pembentukan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI adalah memisahkan TNI dari politik dan bisnis demi terwujudnya tentara yang profesional.
"Namun, penambahan posisi jabatan sipil yang dapat dijabat oleh prajurit aktif pada Pasal 47 Revisi UU TNI justru memperluas peran militer di wilayah sipil. Hal ini jelas bertentangan dengan asas kejelasan tujuan serta asas kedayagunaan dan kehasilgunaan sebagaimana termaktub dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," jelas Arif.
Advertisement
Dianggap Tertutup ke Publik
Selain itu, proses pembahasan revisi UU TNI dengan sengaja menutup partisipasi publik, tidak transparan dan akuntabel, sehingga menimbulkan kegagalan pembentukan hukum bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 20, Pasal 22A, Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945 serta UU P3 dan Tata Tertib DPR.
"Segala dokumen pembentukan Revisi UU TNI mulai dari Naskah Akademik, DIM, hingga undang-undang itu sendiri tidak dapat diakses oleh publik. Selain itu, rapat-rapat pembentukan Revisi UU TNI oleh DPR dan Pemerintah digelar secara sembunyi-sembunyi di ruang tertutup. Hal ini mempertegas abusive law making dalam pembentukan Revisi UU TNI," kata Arif.