Sukses

Yang Muda yang Terlilit Utang, Akibat Bayar Belakangan

Dasarnya paylater merupakan layanan untuk menunda pembayaran atau berhutang barang.

Liputan6.com, Jakarta - Sejak tahun 2018, Yana, bukan nama sebenarnya, mulai menggunakan paylater di salah satu e-commerce. Saat itu dia tak berpikir dua kali saat ingin melakukan pendaftaran. Apalagi prosesnya mudah dan sangat cepat.

Untuk mendaftar hanya dibutuhkan foto KTP. Proses persetujuannya pun tak lama. Bahkan limit awal yang didapatkan saat itu mencapai Rp 8 juta. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan angka limit kartu kredit miliknya beberapa tahun lalu. 

Beberapa barang pun dibeli menggunakan paylater. Mulai dari jam tangan, smartphone, hingga sejumlah pakaian yang digunakannya. Cicilannya juga beragam. Mulai dari tiga bulan hingga setahun.

"Biasanya lebih dari Rp 2 juta ambil (cicilan) yang setahun atau enam bulan saja," kata Yana kepada Liputan6.com.

Yana memiliki prinsip dalam penggunaan paylater. Yaitu tidak telat bayar dan tidak ada tunggakan. Sebab dengan pembayaran yang lancar juga akan menaikan limit pinjaman. 

Besaran cicilan yang setiap bulan dibayarkan oleh Yana juga beragam. Mulai dari Rp 1 juta hingga Rp 3 juta per bulan. Selain digunakan untuk membeli berbagai barang, perempuan berusia 36 tahun ini juga mencoba menggunakan paylater untuk mencairkan sejumlah uang tunai.

Hal yang dilakukan Yana biasa disebut dengan istilah gesek tunai atau gestun paylater. Gestun paylater biasanya dilakukan oleh jasa pihak ketiga di luar penyedia platform tersebut. Cara tersebut diketahui dari seorang temennya.

"Itu banget bulan lalu nyobain. Ternyata itu ada (di e-commerce). Pertama chat dulu ke akun penjualnya untuk menanyakan bagaimana persyaratan, dia kasih nomor ke kita untuk dihubungi lanjut via WhatsApp," ucapnya.

Setelah melakukan diskusi via chat, Yana diminta memberikan nomor rekening oleh pihak penjual untuk penyerahan uang tunai sebesar yang dibutuhkan. Umumnya skema gestun paylater ini adalah dengan melakukan orderan fiktif menggunakan limit yang ada.

Uang tunai yang diterima Yana juga sudah melalui potongan jasa gestun. Prosesnya pun juga cepat tidak sampai satu jam. Saat itu Yana mengaku membutuhkan uang tunai dibandingkan barang. 

"Kemarin pilih yang Rp 2,5 juta dan yang dikirim ke saya Rp 2 juta. Itu udah kena pajak dan pembayarannya menggunakan sistem paylater e-commerce nya. Waktu itu emang lagi butuh uang bukan barang," jelas Yana.

 

Bunga Kecil, Denda Kecil?

Cerita lain disampaikan oleh Yulia (28) bukan nama sebenarnya. Dia pengguna paylater di e-commerce yang berbeda dengan Yana. Paylater digunakannya sejak pandemi Covid-19. 

Sejumlah kebutuhan rumah dan barang pribadi dibelinya menggunakan paylater. Mulai dari pembayaran listrik di rumahnya, pulsa, hingga smartphone. 

"Alasan pakai paylater dari e-commerce ini karena bunganya kecil, dendanya kecil. Jadi tertarik buat menggunakan paylater, apalagi kalau lancar limit terus naik," kata Yulia kepada Liputan6.com.

Awalnya pembayaran Yulia lancar dan tepat waktu. Namun pada awal tahun 2023 sempat telat sekitar dua bulan. Beberapa kali debt collector menghubunginya untuk segera membayar cicilan.

Bahkan setiap bulan rumahnya juga didatangi. Saat itu memang Yulia tidak memiliki uang untuk membayar. Menurut dia, debt collector itu menawarkan sejumlah kesepakatan pembayaran.

Kesepakatan itu yakni potongan bunga dan denda keterlambatan jika Yulia dapat membayar saat itu. 

"Sebenarnya dendanya kecil tapi setelah dikurangi sama bunga jadi berasa dapat potongan aja. Tapi konsekuensinya ya akun di-banned dan enggak bisa daftar lagi," ujar Yulia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dongkrak Perekonomian Ekonomi dari Segi Konsumsi?

Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, sumber pertumbuhan ekonomi nasional terutama berasal dari kuatnya permintaan domestik sejalan dengan kenaikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Di mana, generasi Y atau milenial dan generasi Z (Gen Z) menjadi penopangnya.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) Bank Indonesia (BI) Erwindo Kolopaking. Dia menyebut jika konsumsi rumah tangga juga masih akan menjadi sumber utama produk domestik bruto (PDB) di Indonesia ke depannya.

"Kita masih melihat konsumsi rumah tangga masih jadi penopang dan itu terutama dari konsumsi, di mana kemudian kaitannya dengan restoran, makanan minuman. Kegiatan aktivitas ini bersumber dari Gen Y dan Gen Z, salah satu source pertumbuhan ekonomi saat ini," ujar Erwindo saat FGD dengan media.

Ditambah lagi, kata dia, para Generasi Y dan Z ini memiliki kemudahan mendapatkan pembiayaan. Bukan dari perbankan tetapi sektor keuangan non bank yang kian mudah. Sebagai contoh, fasilitas paylater.

"Itu yang membuat kemudian aktivitas ekonomi itu bergerak dan ke depan. Sebenarnya kita mau memastikan struktur income ini akan bisa terus mengenai rate lapangan usaha di sektor ini juga bisa ikut menghasilkan," jelas dia.

Saat ini banyak anak muda yang memanfaatkan layanan pembelian dengan transaksi menggunakan paylater. Dasarnya paylater merupakan layanan untuk menunda pembayaran atau berhutang barang.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda tak menyangkal, penggunaan paylater mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi rumah tangga.

Namun, konsumsi masyarakat yang menggunakan paylater tidak mempunyai pengaruh besar untuk perekonomian. Sebab konsumen yang menggunakan paylater sering kali melakukan pembelian di e-commerce untuk barang-barang import.

"Jadi paylater jangan-jangan bukan mendorong produksi dalam negeri, tapi mendorong untuk atau pun mendorong konsumsi produk-produk dari luar. Ini yang kita khawatirkan sebenarnya," kata Huda kepada Liputan6.com.

 

Selain itu, meskipun paylater memiliki manfaat untuk penggunanya, risikonya juga besar. Salah satunya yaitu risiko gagal bayar uang cukup tinggi. Sebab akan berdampak pada ketergantungan masyarakat dengan utang.

Huda juga menyebut keberadaan paylater menjadi salah satu pengganti dari pembayaran menggunakan kartu kredit. Berdasarkan data yang ada pertumbuhan kartu kredit mengalami penurunan pada tahun 2020 sampai 2022.

"Pertumbuhannya (kartu kredit) cuma 0,8 persen, sedangkan kalau kita lihat paylater mencapai 38 persen. Bahkan, kalau kita lihat data pembanding lainnya seperti pinjaman online itu berkisar sekitar 18 persen untuk costpending-nya. Artinya, memang ini ada pergeseran dari konsumsi melalui kartu kredit itu menggunakan paylater ataupun pinjaman online," papar dia.

Kendati begitu, paylater juga dinilai memiliki risiko yang besar. Sebab banyak anak muda yang terjerat utang paylater. Bahkan angka kegagalan bayar pada anak muda cukup tinggi.

"Dan ini ada di kisaran umur dibawah 19 tahun itu berarti 17-18 tahun dimana mereka bisa mengajukan paylater. Ini yang enggak terjadi di kartu kredit. Karena kartu kredit harus ada data penghasilan, tapi kalau paylater enggak perlu data penghasilan dia bisa dapat paylater dengan jumlah limit tertentu," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Gagal Bayar Utang Pada Anak Muda Meningkat?

Huda menyebut, kegagalan bayar pada anak muda didasarkan pada data pengguna pinjaman online. Sebab beberapa perusahaan paylater berasal dari izin pinjaman online. 

Sedangkan pada usia muda rata-rata pinjamannya berkisar pada angka Rp Rp 2 juta - Rp 2,5 juta. Sedangkan jika dibandingkan dengan data BPS rata-rata pendapatan usia 18-35 tahun per bulan hanya Rp 2 juta. 

"Artinya adalah ini bisa lebih besar utangnya dibandingkan dengan pendapatannya gitu. Makanya kalau kita lihat rata-rata untuk pinjaman online atau paylater ya untuk dia usia muda di bawah 19 tahun, di Juni 2022 itu mencapai 4,7 juta untuk gagal bayarnya. Artinya, mereka usia yang sangat muda sekali tapi mereka gagal bayarnya sampai 4 jutaan lebih," sambung Huda.

Karena itu, dia mendorong pemerintah untuk memberlakukan satu izin tunggal untuk paylater.

"Entah itu ada dibawah multifinance atau dibawah P2P landing itu yang pasti karena itu akan mendatangkan kepastian hukum bagi perusahaan itu sendiri," lanjut dia.

Lalu dia juga menyoroti dalam hal penggunaan data. Dalam pengajuan atau pendaftaran paylater mewajibkan menggunakan data pribadi atau KTP. Kemudian data-data yang sifatnya digital. Seperti transaksi di e-commerce, ataupun data Google Maps dan sebagainya.

Sejumlah persyaratan tersebut dinilai tidak menjadi jaminan yang mencerminkan kemampuan seseorang untuk membayar cicilan. Karena itu Huda mendorong adanya penggunaan data pembanding misalnya Sistem Layanan Informasi Keuangan atau SLIK milik Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

"Penggunaan data pembanding supaya kita bisa lihat bahwa yang benar-benar memegang paylater-nya adalah orang dengan kemampuan bayar yang cukup," kata dia.

Selanjutnya mengenai pembatasan umur. Sebab tidak semua orang yang sudah memiliki KTP sudah bekerja. Misalnya anak di bangku SMA. Sehingga dimungkinkan dapat menggunakan tambahan persyaratan. Contohnya dengan persetujuan dari orang tua.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi, mengingatkan para milenial hingga Generasi Z agar tidak sembarangan mengambil pinjaman paylater.

Sebab, jika gagal melunasi pinjaman kredit paylater akan sulit untuk memperoleh pekerjaan di kemudian hari. Paylater merupakan layanan untuk menunda pembayaran atau berhutang yang wajib dilunasi pada kemudian hari.

"Iya lah (pengaruh ke dunia kerja) saya aja daftar OJK pasti di cek juga. Saya banyak denger cerita dari temen, anaknya sambil nunggu wisuda ngajuin beli tab pakai paylater, dari utang berapa terus akhirnya berkembang banyak, akhirnya mau cari kerja malah susah," ujar Friderica beberapa waktu lalu.

Friderica menjelaskan, saat ini data pinjaman nasabah kredit layanan paylater telah masuk ke dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (SLIK OJK). Sehingga, reputasi generasi muda maupun masyarakat lainnya dapat tercoreng jika masuk sebagai kategori kredit macet.

"Jadi, anak muda jangan main-main utang online, abis itu ganti nomor (merasa) udah gak bisa ditagih. Nggak gitu, karena akan masuk di SLIK kalau paylater," jelasnya.

4 dari 4 halaman

Mengubah Kebiasaan Penggunaan Uang

Padahal, nominal pinjaman dari kredit paylater tersebut tidak lah besar hanya berkisar ratusan ribu rupiah. Namun, utang tersebut terus menggunung karena tidak mampu membayar cicilan.

"Mereka utang di paylater itu beberapa ratus ribu, tapi macet. Jadi sangat disayangkan lebih penting beli rumah dari belanja gak jelas itu," ucapnya.

Dia pun mengimbau seluruh masyarakat, terutama generasi muda untuk lebih bijak dalam mengelola keuangan untuk masa depan yang lebih baik. Antara lain dengan berupaya menghindari kredit yang bersifat konsumtif pada layanan paylater. 

"Ini biar anak muda paham, mereka sudah (harus) bertanggungjawab atas catatan keuangannya sangat penting buat masa depannya," tegas Friderica.

Paylater merupakan aplikasi bayar tunda yang yang memudahkan masyarakat atau konsumen dalam mendapatkan barang ataupun jasa dengan sistem tunda. Untuk pengajuan pun sangat mudah tanpa persyaratan yang merepotkan.

Perencana Keuangan dari ZAP Finance, Prita Hapsari Ghozie menyebut paylater merupakan sistem pembayaran tunda tetapi dengan mendapatkan barang atau jasanya di awal. Menurut dia, paylater dapat disebut menaikan perekonomian jika dilihat dari daya belinya.

"Karena daya beli yang yang diyakini ini sebetulnya bukan daya beli Gen Z sendiri artinya memang dibantu fasilitas tertentu yang kemudian ada kewajiban di kemudian hari. Jadi bukan karena kemampuan dari Gen Z ini untuk menyisihkan penghasilan ya untuk membeli yang dibutuhkan," kata Prita kepada Liputan6.com.

Kendati begitu dia menilai penggunaan paylater dapat mengubah kebiasaan pengelolaan uang oleh konsumennya. "Nah apa yang diubah? Sebetulnya adalah kesabaran atau kemampuan untuk menunda kenikmatan," ucap dia.

Padahal menurut dia, satu satu keahlian dalam pengelolaan keuangan adalah kemampuan untuk bisa menunda kenikmatan pembelian barang atau jasa. Atau masyarakat dimungkinkan untuk menabung ataupun berinvestasi terlebih dahulu sebelum dapat menikmati barang yang diinginkan.

"Nah dengan adanya paylater kemungkinan besar Gen Z akan berubah perilakunya, sehingga hal ini bisa mengancam kesuksesan financial planning dia di kemudian hari," ujarnya.

Untuk mengatasi risiko gagal bayar pada penggunaan paylater Gen Z dan milenial diminta untuk melakukan penganggaran atau budgeting. Yaitu dalam penggunaan untuk biaya hidup, gaya hidup, dan tabungan atau investasi.

Sedangkan jika ingin memanfaatkan paylater, konsumen atau masyarakat diminta untuk mencatat. Sebab dalam satu bulan maksimal pemanfaatan paylater itu sebetulnya hanya 10 persen dari penghasilannya. Tujuannya agar gaya hidup seseorang disokong dari penghasilan yang dimiliki. 

"Nah yang dihindari atau jangan dilakukan adalah membeli diatas kemampuan finansial kita. Artinya, dia menggunakan paylater simply karena dia memang tidak punya penghasilan atau penghasilannya kurang," jelas Prita.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.