Sukses

KontraS: Periode Kedua Berkuasa, Watak Otoriter Jokowi Mengemuka

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerbitkan catatan evaluasi bertepatan dengan empat tahun masa pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

Liputan6.com, Jakarta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerbitkan catatan evaluasi bertepatan dengan empat tahun masa pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

KontraS menyoroti kinerja Jokowi-Ma'ruf di sektor demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Hasilnya, dalam empat tahun kepemimpinannya di periode kedua pemerintahan, Jokowi-Ma'ruf melenceng jauh dari konstitusi dan demokrasi.

"Secara umum, dalam laporan ini kami menyoroti regulasi, kebijakan dan langkah strategis Presiden Jokowi kemudian mengukurnya dengan prinsip demokrasi, HAM dan rule of law," kata Koordinator Badan Pekerja KontraS Dimas Bagus Arya di Kantor Kontras, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (20/10/2023).

Menurut Dimas, selama empat tahun belakangan di bawah kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf, demokrasi mengalami kemunduran. Hal itu, kata dia, tampak dari sejumlah fakta, fenomena dan penelitian, di antaranya dari aspek akuntabilitas.

Jokowi-Ma'ruf dinilai berupaya menutup jalannya pemerintahan dari pengawasan dan intervensi publik. Di mana berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan strategis dibuat dengan proses partisipasi yang sangat minim.

"Dalam berbagai udang-undang bahkan watak otoritarian begitu mengemuka, terlihat dari langkah Presiden Jokowi yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja sebagai produk inkonstitusional bersyarat," terang Dimas.

KontraS, lanjut Dimas, menyimpulkan bahwa berbagai penyusunan regulasi dan kebijakan era pemerintahan Jokowi-Ma'ruf menunjukan adanya fenomena executive heavy dan fenomena autocratic legalism. Jokowi-Ma'ruf dianggap melanggengkan praktik pemimpin otoriter atau otokratis.

Selain itu, Dimas menyampaikan situasi menyusutnya ruang kebebasan sipil juga tak kunjung mengalami perbaikan di periode kedua pemerintah Jokowi. Pasalnya, ujar dia, watak antikritik negara masih tercermin kental dalam tindakan brutal yang dilakukan aparat di lapangan.

Lebih lanjut, KontraS juga menyoroti Undang-Undang ITE yang dipandang telah menjadi momok utama dalam kebebasan berpendapat di ruang digital. Sayangnya, UU ITE tak kunjung direvisi, sehingga terus memakan korban setiap tahunnya.

"Adapun bentuk-bentuk penyerangan digital seperti hacking, doxing, dan profiling terus berlanjut tanpa ada proses pengungkapan serta penindakan tegas," kata dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Jokowi Salahgunakan BIN untuk Kepentingan Pribadi

Tak hanya itu, kemunduran demokrasi dan konstitusi juga terlihat di sektor ekonomi-pembangunan. Jokowi-Ma'ruf disebut berambisi tinggi melangsungkan pembangunan di beberapa daerah yang penerapannya tak berimbang terhadap HAM dan penjaminan ruang hidup masyarakat.

"Terlebih lagi, arahan presiden yang berupaya untuk memfokuskan penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN) di 2023 dan 2024 telah berelasi lurus dengan timbulnya berbagai bentuk pelanggaran HAM kepada masyarakat," kata dia.

Kemudian, tanda-tanda menguatnya militerisme dan mundurnya agendareformasi sektor keamanan yang dapat dilihat dari nirakuntabilitas institusi intelijen. Dimas menuturkan, KontraS melihat penyalahgunaan Badan Intelejen Negara (BIN) oleh Jokowi.

"Intelijen harus didayagunakan untuk kepentingan yang berkaitan dengansistem keamanan nasional. Sayangnya, terdapat aroma penyalahgunaan instrumen intelijen untuk kepentingan politik presiden, salah satunya dengan memata-matai partai politik," kata Dimas.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.