Sukses

KUHP Baru: Hukum Pidana Cerminan Jati Diri Bangsa

Indonesia berhasil mengundangkan KUHP baru, menggantikan KUHP lama peninggalan pemerintah kolonial Belanda, 2 Januari lalu. Dengan keberhasilan ini, menurut Guru Besar Hukum Pidana UI Prof Dr Harkristuti Harkrisnowo SH MA, Indonesia segera memasuki era hukum pidana yang lebih sesuai dengan kepribadian dan jati diri Bangsa.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia berhasil mengundangkan KUHP baru, menggantikan KUHP lama peninggalan pemerintah kolonial Belanda, 2 Januari lalu. Dengan keberhasilan ini, menurut Guru Besar Hukum Pidana UI Prof Dr Harkristuti Harkrisnowo SH MA, Indonesia segera memasuki era hukum pidana yang lebih sesuai dengan kepribadian dan jati diri Bangsa.

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) nasional ini akan mulai berlaku tiga tahun terhitung sejak diundangkan. Harkristuti memaparkan, perbedaan mencolok antara KUHP nasional dengan KUHP peninggalan Belanda misalnya pada pidana Perzinaan dan Kohabitasi, di mana dalam KUHP lama hal-hal semacam itu berlawanan dengan kultur dan budaya yang tertanam di masyarakat Bangsa Indonesia.

"Pada pasal Perzinahan dan Kohabitasi, ada sebagian kalangan yang menganggap ini sebagai ranah privasi, sehingga seharusnya negara tidak ikut campur. Yang dilupakan bahwa kita bukan negara Barat, di mana nilai-nilai semacam itu masih ada, hidup dan dipertahankan oleh masyarakat," ujar Harkristuti saat berbicara dalam acara Sosialisasi KUHP yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) di Hotel Patra, Semarang, Rabu (1/2/2023).

Ia juga menyampaikan, dalam KUHP baru yang tak kalah penting untuk disosialisasikan ke masyarakat adalah Pasal 218 Tentang Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Pasal 240 Tentang Penghinaan Pemerintah atau Lembaga Negara. Menurutnya, pasal tersebut dibuat bukan untuk membungkam masyarakat. Indonesia memang negara yang menganut asas demokrasi, namun bukan berarti demokrasi diartikan sebagai demokrasi yang kebablasan. Perbedaan antara kritik dan penghinaan pun ditekankan dalam pasal tersebut. Maka, tidak akan ada proses hukum tanpa adanya pengaduan yang sah dari pihak yang berhak mengadu, yaitu Presiden atau Wapres (Pasal 218 UU KUHP) dan Pimpinan Lembaga Negara (Pasal 240 UU KUHP).

"Penting dijelaskan bahwa pasal tentang penghinaan Presiden itu bukan untuk membungkam. Karena pidana ini memiliki persyaratan. Kritik tidak apa-apa, tapi apabila penghinaan, pencemaran nama baik, itu yang dilarang," jelas Harkristuti.

Pembicara lain, Guru Besar Fakultas Hukum UI, Prof Dr Topo Santoso SH MH menjelaskan, para perumus KUHP nasional berhasil memperbaiki tujuan pemidanaan, dari sekadar untuk menghukum atau membalas para pelaku pada KUHP lama.

"Dalam pemidanaan, pendekatan utama KUHP nasional bukan falsafah retributif, tetapi tujuannya ditegaskan untuk preventif, kemudian untuk menghindari konflik, untuk memulihkan keseimbangan. Itu hal-hal yang khas Indonesia dan tidak ada di KUHP lama," kata Prof Topo.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Lebih Komprehensif

KUHP nasional juga lebih komprehensif karena banyak memperbaiki kekurangan KUHP kolonial. Ini ditandai dengan lebih banyaknya pasal KUHP baru yang diundangkan sebagai UU No 1/ 2023 ini. Yaitu, terdiri dari 37 Bab, 624 Pasal dan 345 halaman; dan terbagi dalam dua bagian, yakni bagian pasal dan penjelasan.

"Intinya, perbedaan utama antara KUHP nasional dengan KUHP lama adalah perbedaan-perbedaan prinsip dan sangat fundamental, baik mengenai tindak pidana, mengenai pertanggungjawaban pidana, mengenai pemidanaan dan tindakan. Ada banyak perbedaannya, juga perbedaan buku KUHP nasional dengan yang lama. KUHP Nasional hanya dua buku mengikuti satu aturan umum tindak pidana, kalau yang lama ada tiga buku," kata Topo.

Sebagai informasi, Sosialisasi KUHP di Semarang turut menghadirkan Narasumber Prof Dr Indriyanto Seno Adji SH MH selaku Guru Besar Hukum Pidana sekaligus Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum UI dan dihadiri sebanyak 200 peserta yang terdiri dari para akademisi, lembaga pemerintah (Forkopimda), organisasi, tokoh masyarakat dan mahasiswa hukum, serta audiens online.

Wakil Rektor 1 Bidang Akademik Unnes, Prof Dr Zaenuri SE, MSi, Akt menyampaikan, setiap aturan yang telah dibuat dan dirumuskan dalam KUHP baru merupakan cerminan dari jati diri masyarakat bangsa Indonesia yang sesungguhnya, meski dalam proses penyusunannya menimbulkan pro dan kontra.

Sebagai perwakilan dari perguruan tinggi, Zaenuri pun menyebutkan pihaknya mengapresiasi Pemerintah dan DPR RI yang telah menjadikan KUHP sebagai Undang-Undang. Ia pun mendukung penuh KUHP baru yang akan berlaku pada tahun 2026 mendatang.

"Kami berharap KUHP baru dapat diimplementasikan walaupun ini persoalan hukum, tapi ada open mind open heart (pikiran dan hati yang terbuka), ini harus kita buka. Jadi mengadili atau membuat keputusan harus tetap mempertimbangkan dan mendasarkan pada hati nurani yang berketuhanan Yang Maha Esa," ucap Zaenuri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.