Sukses

HEADLINE: Polemik Usulan Penundaan Pemilu 2024, Abaikan KPU dan Konstitusi?

Menghangatnya isu Pemilu 2024, memuat dua poros. Ada yang ingin menunda jalannya pesta demokrasi itu dan memperpanjang presiden, dan ada yang tidak.

Liputan6.com, Jakarta Seruan untuk menunda jalannya Pemilu 2024 oleh sejumlah elite partai politik (parpol) seperti Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, membuat dinamika politik menghangat.

Polemik ini, bukanlah barang baru. Di awal tahun 2022, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menjadi sorotan usai menyatakan banyak pengusaha untuk menunda Pemilu 2024.

Dengan isu penundaan Pemilu tersebut, membuka ruang untuk memperpanjang masa jabatan presiden Joko Widodo atau Jokowi mengemuka. Bahlil saat itu menyatakan, mendapat masukan dari pengusaha. Sebulan kemudian, Cak Imin mengeluarkan nada yang sama, yang lalu diikuti oleh Airlangga dan Zulkifli.

Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa belum bersikap. Namun, sejumlah kadernya mengarah akan perlunya penundaan Pemilu 2024.

Yang menarik, partai utama pengusung Jokowi dan pemenang Pemilu 2014-2019 PDI Perjuangan, melalui Sekretaris Jenderalnya Hasto Kristiyanto justru meminta tak perlu adanya penundaan. NasDem melalui Ketua Umumnya Surya Paloh juga menolak, begitu dengan Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), kemudian elite Gerindra dan diikuti sejumlah kader dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Alhasil, kini menjadi dua kubu mereka yang ingin menunda Pemilu 2024 yang membuat perpanjangan masa jabatan presiden. Yang kedua mereka yang menolak.

Padahal, pada Senin 31 Januari 2022, KPU telah menetapkan hari pemungutan suara Pemilu 2024 yang tertuang dalam Keputusan KPU RI Nomor 21 Tahun 2022. Keputusan ini merupakan hasil rapat bersama dengan DPR dan Pemerintah yang kemudian sudah diparipurnakan.

Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 7 mengatakan bahwa; Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 169 huruf N disebutkan syarat capres dan cawapres adalah; belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.

Bahkan ditegaskan, dalam Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 dijelaskan pula soal satu masa jabatan, yakni; Setengah masa jabatan atau lebih dihitung sebagai satu kali masa jabatan.

Artinya, jika ingin menunda Pemilu 2024, sebelum mengubah UU Pemilu maka harus melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

Ketua DPP PPP Achmad Baidowi mengamininya. Dia mengatakan, penundaan Pemilu 2024 bisa terjadi selama MPR melakukan amandemen UUD 1945.

Pria yang akrab disapa Awiek itu menyebut, hal itu tidak melanggar konstitusi selama amandemen UUD 1945 dilakukan.

"Kalau kehendak mayoritas misalkan menginginkan amandemen terhadap UUD 1945, ya bisa saja. Karena kekuatan politik di DPR dan MPR sudah terkonsolidasi dengan baik," ujar Awiek dalam webinar, Selasa (1/3/2022).

Meski demikian, Awiek mengklaim hingga saat ini tidak ada rencana MPR melakukan amandemen UUD 1945. "Untuk saat ini tidak ada wacana ataupun rencana amandemen terhadap konstitusi," kata dia.

PPP, kata Awiek, menilai apabila amandemen dilakukan hanya untuk menunda Pemilu 2024, maka hal itu adalah suatu hal yang berlebihan.

"Fraksi PPP melihat kalau amandemen konstitusi hanya untuk memuluskan perpanjangan masa jabatan atau penundaan pemilu itu kok kayaknya terkesan dipaksakan," katanya.

Selain itu, lanjut Awiek, PPP masih berkomitmen menjaga amanat reformasi dan menjaga konstitusi "Sampai saat ini kita berharap konstitusi yang sudah disepakati bersama ya itu ditaati dulu dilakukan," kata dia.

Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid menyatakan usulan penundaan Pemilu 2024 adalah usulan partai politik, termasuk PKB, bukan pihak lain atau pemerintah.

"Memang itu usulan Gus Muhaimin dan ketum parpol lainnya, yang menerima aspirasi dari berbagai kalangan," kata Jazilul kepada wartawan, Selasa (1/3/2022).

Ia membantah pihaknya menyeret pemerintah terkait usulan penundaan Pemilu 2024 tersebut.

"Tidak ada yang menyeret-nyeret pemerintah. Namun dampak usulan penundaan pemilu mau tidak mau akan berkaitan dengan kebijakan pemerintah," kata dia.

Selain itu, Jazilul mengakui usulan penundaan itu sulit dilaksanakan tanpa adanya dukungan pemerintah dan publik.

"Kami tahu merealisasikan usulan ini tidak mudah, sangat sulit. Selain usulan parpol-parpol, diperlukan dukungan publik, para pakar, dan pemerintah," ujarnya.

Ia menyebut usulan penundaan pemilu 2024 hanya akan berakhir jadi wacana politik saja apabila hanya didukung dari parpol.

"Tanpa dukungan semuanya, tentu penundaan pemilu ini akan berakhir pada wacana politik saja," kata Jazilul.

 

Kegamangan Elite Politik

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas melihat apa yang terjadi saat ini adalah fenomena kegamangan elit politik menghadapi transisi kepemimpinan nasional di tahun 2024.

"Mereka seolah belum siap menghadapi perubahan kepemimpinan nasional yang sudah diatur di dalam konstitusi secara jelas dan tegas. Apa yang disampaikan Ketum PKB, Ketum PAN dan Ketum Golkar adalah upaya menggoyang tatanan konstitusional tersebut," kata Abbas kepada Liputan6.com, Selasa (1/3/2022).

Dia menduga hal yang membuat gamang adalah ada risiko ketidakberlanjutan dari berbagai kebijakan dan program nasional jika pengganti Presiden Jokowi nanti memiliki visi dan misi yang kurang sejalan.

Abbas menegaskan, keberhasilan ini akan ditentukan tiga faktor. Yang pertama, sambutan partai-partai lain yang memiliki wakil di Parlemen dan para anggota Dewan Perwakilan Daerah.

"Kedua, seberapa baik alasan mereka mengenai urgensi penundaan pemilu meyakinkan publik pemilih. Jika kurang meyakinkan, atau tidak didukung mayoritas publik, bukan mustahil akan memicu terjadinya penolakan besar-besaran," ungkap Abbas.

"Ketiga, meskipun presiden tidak memiliki kewenangan formal dalam hal amandemen UUD, inisiatif ini membutuhkan legitimasi politik dari presiden," sambungnya.

Dia juga menilai, wacana ini bukan hanya test the water semata. Tapi sudah dipandangnya cukup serius.

"Saya rasa mereka serius. Meskipun ini baru permulaan, tetapi ruang diskusi mengenai aturan tentang masa jabatan presiden kini sudah terbuka.Para pengusul juga terlihat siap untuk melakukan negosiasi mengenai prospek tersebut," kata Abbas.

Dia memandang permintaan jangka pendeknya mungkin saja menyangkut perpanjangan masa kekuasaan Presiden Jokowi dan penundaan jadwal pemilu.

"Tapi, bukan mustahil, target mereka sesungguhnya bukan itu. Tetapi mengubah masa jabatan presiden untuk presiden yang terpilih setelah Jokowi. Misalnya, masa jabatan Presiden diubah menjadi 8 tahun. Ini lebih mendasar dan tidak terlalu kontroversial," ungkap Abbas.

Dia juga melihat ini masih seusai konstitusi jika melalui amandemen UUD 1945 terlebih dahulu. Dan tak mengikiskan semangat reformasi jika sepanjang itu diatur ada pembatasan atau periode masa jabatannya.

"Melanggar jika konstitusi tidak diamandemen. Aturan seperti itu kan hanya mungkin lewat amandemen UUD, bukan dengan UU Pemilu," kata Abbas.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Diduga Ada Restu

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menilai wacana ini dapat restu dari presiden. Karena pasalnya, Presiden Jokowi sudah menyatakan menolak.

"kalau sudah lembaga survei pemerintah, menteri, ormas pendukung pemerintah dan gubernur-gubernur dari koalisi yang sudah menyatakan demikian (dukungan memperpanjang masa jabatan presiden), sudah diyakini presiden juga mengingkan itu," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (1/3/2022).

"Kan presiden merasa ditampar kalau isu itu dikembangkan. Kalau enggak presiden setuju, masa ada yang berani nampar presiden," sambungnya.

Feri menilai, usulan perpanjangan presiden ini jelas menyalahi konsep atau sistem presidensial. Pasalnya, dalam sistem ini tetap pembatasannya sehingga dikenal fixed term president election, berbeda dengan sistem parlementer.

"Tidak mungkin kemudian jabatan presiden itu diperpanjang atau bahkan ditambah menjadi periode dari kehendak konstitusi," kata dia.

Terkait soal amandemen UUD 1945, Feri melihat adanya perlakuan tak pantas lantaran perubahan konstitusi dilakukan menjelang jabatannya berakhir hanya untuk memperpanjang kekuasaan. Padahal seharusnya perubahan itu harus dilakukan untuk kedaulatan rakyat.

"Di titik ini sudah tergambar ada politik yang tidak sehat untuk memperpanjang masa jabatan itu," ungkap dia.

Menurut dia, apa yang dilontarkan para elite parpol dan ormas yang mendukung perpanjangan jabatan ini, jelas merugikan partai lain dan publik.

"Karena memang dalam sistem kita, lima tahun sekali akan ada evaluasi. Apakah pemerintah betul-betul berjalan? Jika presiden atau ketua umum partai atau kemudian ketua umum ormas merasakan bahwa presiden saat ini disukai oleh publik, kenapa kemudian harus tetap dibatasi? karena memang itulah kehendak konstitusi," jelas Feri.

"Walaupun seorang presiden disukai, tidak disukai sekalipun dia harus berakhir ketika periodenya sudah habis. Jadi tidak soal suka atau tidak suka. Tugas presiden sebenarnya tidak akan berhenti meskipun dia tidak menjabat lagi, dia akan menjadi negarawan yang akan mengurus hal yang lain, agar kehidupan dan bernegara bisa berjalan," sambungnya.

 

Tak Selaras dengan Konstitusi

Senada, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, usulan penundaan Pemilu 2024 atau memperpanjang masa jabatan presiden harus ditolak.

"Pertama karena di konstitusi kita sudah membatasi bahwa masa jabatan itu untuk lima tahun dan hanya bisa diperpanjang satu periode. Sehingga jika mendorong penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan, tentu tidak selaras dengan konstitusi yang sudah kita bangun," kata Khoirunnisa kepada Liputan6.com, Selasa (1/3/2022).

Dia berharap, Presiden bisa tegas dan menertibkan rekan-rekan di pemerintahannya agar tidak mendorong adanya polemik seperti saat ini.

"KPU, pemerintah, dan DPR sudah menetapkan tanggal pemilu 14 Februari 2024. Seharusnya itulah rujukan dan sudah memberikan kepastian atas penyelenggaraan pemilu 2024 nanti," kata Khoirunnisa.

Dia juga mengingatkan, jika faktornya adalah soal ekonomi, pandemi Covid-19 serta popularitas presiden, hal tersebut sangat tidak relevan.

"Selama ini kita tetap bisa menyelenggarakan pemilu, bahkan saat pilkada yang lalu juga tetap dilaksanakan walaupun dalam situasi pandemi," kata Khoirunnisa.

 

3 dari 3 halaman

Jawaban Istana

Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menghormati kebebasan berpendapat, termasuk para tokoh partai politik dalam memunculkan wacana memperpanjang masa jabatan presiden.

"Itu adalah pendapat partai-partai, bukan pemerintah. Itu urusan partai," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (1/3/2022).

Menurut Jaleswari, dari pemerintah sampai dengan saat ini, tidak ada agenda menunda Pemilu 2024.

"Pemerintah mendukung terus kewajiban konstitusional pelaksanaan Pemilu 2024 seperti penetapan waktu pelaksanaan Pemilu oleh KPU yaitu 14 Februari 2024 dan seleksi anggota KPU/Bawaslu yang akan menjadi penyelenggara Pemilu," jelas dia.

Jaleswari mengatakan, kewenangan penyelenggaraan pemilu ada di KPU sebagai lembaga mandiri. Di mana KPU terus mempersiapkan diri untuk pelaksanaan Pemilu 2024 dan pemerintah mendukungnya

"Tentang sikap presiden, kita dapat merujuk pada apa yang pernah disampaikan sebelumnya, bahwa presiden tidak menghendaki amandemen untuk periode jabatan ke tiga. Presiden patuh pada konstitusi dan undang-undang," kata dia.

Meski demikian, saat ditanya terkait ada aktor yang mendukung langkah para elite parpol ini bersikap, dia memilih untuk tak berkomentar.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.