Sukses

Kualitas Demokrasi Memburuk, Kontras Beberkan Kebijakan yang Buat Warga Takut Berekspresi

Kepolisian masih menjadi aktor dominan dari ragam pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut dalam kurun waktu dua tahun terakhir telah semakin mempersempitnya ruang kebebasan sipil dalam berekspresi yang berdampak ketakutan di masyarakat. Melalui berbagai kebijakan yang dilakukan negara.

"Berbagai langkah yang diambil tersebut juga telah terbukti menakuti masyarakat dalam menyampaikan ekspresinya. Hasilnya, iklim demokrasi kita terus memburuk," kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam keterangannya, dikutip Kamis (6/1/2022).

Di mana, Fatia menyebut penurunan kualitas demokrasi di Indonesia telah disebutkan berdasarkan tiga laporan Internasional seperti The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia 2019, dan 2021 Democracy Report.

"Ketiganya menunjukan bahwa kualitas demokrasi telah menunjukkan adanya kemunduran (declining) signifikan yang tidak hanya menyentuh aspek kebebasan sipil dan pluralisme, namun juga fungsi pemerintahan," katanya.

Terbaru, merujuk pada laporan Freedom House disebutkan bahwa nilai demokrasi Indonesia turun satu angka menjadi 61/100. Secara umum, penurunan nilai tersebut disebabkan oleh turunnya komponen kebebasan sipil dengan nilai 31/60.

Adapun beberapa faktor yang menyebabkan turunnya tingkat kebebasan sipil di Indonesia adalah UU ITE yang mengkriminalisasi masyarakat, kekerasan dan intimidasi terhadap kelompok minoritas. Serta meningkatnya ancaman terhadap kebebasan akademik dalam kampus hingga pembatasan berekspresi terhadap orang Papua.

Selain itu, merujuk pada data Badan Pusat Statistik, dijelaskan bahwa skor Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) saat ini menyentuh angka 73,66. Angka tersebut turun dari tahun sebelumnya yakni pada tahun 2019 yang mencetak angka 74,92.

Selain berbagai laporan yang menjelaskan bahwa situasi demokrasi Indonesia kian memburuk KontraS, juga mencatat setidaknya terjadi 393 peristiwa berkaitan dengan pelanggaran kebebasan berekspresi.

Adapun tindakan dominan adalah berkenaan dengan penangkapan sewenang-wenang dengan 165 kasus, diikuti oleh pembubaran paksa dengan 140 kasus.

"Kami juga mencatat bahwa Kepolisian masih menjadi aktor dominan dari ragam pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi ini. Selain itu, sasaran utama dari represi tersebut adalah masyarakat yang sedang mengkritik dan menyeimbangkan diskursus negara," katanya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Contoh Kebijakan Yang Digunakan Takuti Warga

Lebih lanjut, Fatia menyebut, sejumlah kebijakan yang dipakai untuk menakut- nakuti warga di antaranya, pertama Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1. 2020 tentang Penanganan Penghinaan Pejabat dan Hoax Penanganan COVID-19 tanggal 4 April 2020.

"Surat ini tentu sangat berbahaya, sebab akan membuka celah yang sangat besar bagi Kepolisian untuk melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power," ujarnya.

Surat Telegram ini juga semakin memperkuat stigma mengenai pendekatan keamanan dan penegakan hukum yang cenderung dipilih Kepolisian dalam menangani berbagai jenis permasalahan bangsa.

Kemudian, kedua Surat Telegram Kapolri Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tentang Patroli Cyber Isu RUU Cipta Kerja dimana dengan adanya itu, petugas secara garis besar mengambil tindakan guna mencegah terjadinya aksi penolakan RUU Cipta Kerja waktu itu.

"Surat Telegram yang dikeluarkan oleh Kapolri saat itu, Jenderal Idham Azis menunjukan watak represif institusi Kepolisian dalam menyikapi suara yang berbeda dengan narasi pemerintah," katanya.

"Dengan memakai situasi Pandemi COVID-19 sebagai dalih untuk menindak massa aksi, melarang demonstrasi, dan meretas atau melakukan serangan siber terhadap publik, khususnya berkenaan isu penolakan Omnibus Law," tambahnya.

Ketiga, berkaitan adanya salah satu poin dalam surat edaran yang jadi dasar pembentukan Polisi Virtual dengan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert untuk mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber, sebagaimana tercantum dalam Poin 3 huruf C.

"Kami melihat bahwa dimunculkannya Virtual Police ini telah berimplikasi pada penyusutan ruang kebebasan berekspresi khususnya di ranah digital. Untuk memvalidasi hal tersebut KontraS telah membuat posko #PantauBareng guna mengukur penindakan dan peneguran yang dilakukan oleh polisi virtual," tuturnya.

Dari seluruh aduan yang masuk, KontraS juga mencatat bahwa teguran virtual police menyasar kepada mereka yang aktif mengkritisi pemerintah. Salah satunya terhadap akun Surabaya Melawan.

"Konten yang mendapatkan teguran adalah publikasi di akun Instagram mereka yang berisi kritik terhadap kerumunan Presiden Jokowi saat berkunjung ke NTT," ujarnya.

Selain itu, virtual police juga menegur akun AM, mahasiswa asal Slawi yang mengkritik Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka karena dianggap tidak mengerti sepak bola.

Reporter: Bachtiarudin Alam/Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.