Sukses

Sengkarut Data 1.303 Sekolah Jadi Klaster Covid-19

Sebanyak 1.303 sekolah di Indonesia disebut menjadi klaster Covid-19. Data ini pun membuat orangtua was was. Belakangan Kemendibudristek mengaku ada miskonsepsi.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) beberapa hari lalu merilis temuan 1.303 sekolah di Indonesia jadi klaster Covid-19. Hal itu karena didapati 7.287 guru dan tenaga kependidikan serta 15.456 siswa terkonfirmasi positif Covid-19.

Belakangan Kemendikbudristek melalui Direktur Sekolah Dasar (SD) Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar dan Menengah, Sri Wahyuningsih mengatakan bahwa data itu merupakan akumulasi dari tahun 2020 lalu.

Pihak Kemendikbudristek baru kali pertama merilis data soal temuan klaster Covid-19 selama pandemi. Sebelumnya mereka tak pernah menjabarkan seberapa banyak sekolah di Tanah Air yang timbul klaster penularan Covid-19.

DKI Jakarta tak luput jadi provinsi yang ditemukan klaster Covid-19. Tercatat sejak awal pandemi sampai Kamis, 24 September 2021, terdapat 25 sekolah di Jakarta yang jadi klaster Covid-19.

Kabar tersebut mengusik Dinas Pendidikan (Kadisdik) Provinsi DKI Jakarta. Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Provinsi DKI Jakarta, Nahdiana membantah data tersebut. Ia mengatakan bahwa data yang dirilis Kemendikbudristek bukanlah data temuan baru.

Menurut dia, dari 25 sekolah yang dinyatakan klaster Covid-19 oleh Kemendikbudristek, hanya dua sekolah saja yang termasuk dalam 610 sekolah yang mengikuti PTM Terbatas Tahap 1, yang dimulai pada tanggal 30 Agustus 2021.

"Yaitu SMP Cindera Mata Indah dan SMKS Yadika 2 Jakarta," kata Nahdiana berdasarkan keterangannya, Jumat (24/9/2021).

Kata Nahdiana, berdasarkan data di lapangan, sejak dimulai PTM terbatas Tahap 1, tidak terdapat kasus Covid-19 di sekolah tersebut, baik dari peserta didik maupun pendidik dan tenaga kependidikan.

Ketika dihubungi Liputan6, Jumat, 24 September 2021, Sri Wahyuningsih mengaku timnya belum mengetahui kapan terjadinya 25 klaster Covid-19 di DKI Jakarta itu.

"Data di Kemdikbud adalah akumulasi pelaksanaan PTM sejak TA [Tahun Ajaran] 2020-2021, sehingga tim data saat ini masih mencermati status data kapan terinput, karena yang menginput/melaporkan status PTM di masa pandemi adalah sekolah langsung yang connect dengan (situs) Dapodik," jelasnya.

Rilis temuan klaster Covid-19 di sekolah oleh Kemendikbudristek yang dipublikasikan lewat laman https://sekolah.data.kemdikbud.go.id/, memang tak menyantumkan waktu kejadian munculnya klaster. Dalam situsnya, Kemendikbudristek bahkan tak menyebut jika data itu merupakan akumulasi dari 2020 lalu.

Hal itulah yang menimbulkan kerancuan rilis data temuan seribu lebih klaster Covid-19 di sekolah. Apalagi, dalam situs itu temuan klaster ditulis selama PTM Terbatas. Di mana publik mengasumsikan bahwa hal itu terjadi baru-baru ini.

 

** #IngatPesanIbu 

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

#sudahdivaksintetap 3m #vaksinmelindungikitasemua

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ada 4 Miskonsepsi

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan terdapat empat miskonsepsi mengenai isu klaster Covid-19 pada pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas yang saat ini beredar di masyarakat.

Miskonsepsi pertama adalah mengenai terjadinya klaster akibat PTM terbatas. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen), Jumeri menyatakan, data tersebut bukan klaster Covid-19 melainkan jumlah sekolah yang mengaku terdapat warga (sivitas) sekolahnya terinfeksi Covid-19.

“Angka 2,8 persen satuan pendidikan itu bukanlah data klaster Covid-19, tetapi data satuan pendidikan yang melaporkan adanya warga sekolah yang pernah tertular Covid-19. Sehingga, lebih dari 97 persen satuan pendidikan tidak memiliki warga sekolah yang pernah tertular Covid-19," ujar Jumeri di Jakarta, Jumat (24/9/2021).

"Jadi, belum tentu klaster," imbuh Jumeri.

Miskonsepsi kedua, belum tentu juga penularan Covid-19 terjadi di satuan pendidikan. Data tersebut didapatkan dari laporan 46.500 satuan pendidikan yang mengisi survei dari Kemendikbudristek. "Satuan pendidikan tersebut ada yang sudah melaksanakan PTM Terbatas dan ada juga yang belum," kata Jumeri.

Selanjutnya miskonsepsi ketiga, Jumeri menjelaskan bahwa angka 2,8 persen satuan pendidikan yang diberitakan itu bukanlah laporan akumulasi dari kurun waktu satu bulan terakhir. "Itu bukan berdasarkan laporan satu bulan terakhir, tetapi 14 bulan terakhir sejak tahun lalu yaitu bulan Juli 2020," ungkapnya.

Miskonsepsi keempat adalah isu yang beredar mengenai 15.000 siswa dan 7.000 guru positif Covid-19 berasal dari laporan yang disampaikan oleh 46.500 satuan pendidikan yang belum diverifikasi, sehingga masih ditemukan kesalahan.

"Misalnya, kesalahan input data yang dilakukan satuan pendidikan seperti laporan jumlah guru dan siswa positif Covid-19 lebih besar daripada jumlah total guru dan siswa pada satuan pendidikan tersebut," jelas dia.

Sebagai solusi ke depan, Kemendikbudristek sedang mengembangkan sistem pelaporan yang memudahkan verifikasi data. "Dikarenakan keterbatasan akurasi data laporan dari satuan pendidikan, saat ini Kemendikbudristek dan Kemenkes sedang melakukan uji coba sistem pendataan baru dengan aplikasi PeduliLindungi,” tambah Jumeri.

Kemendikbudristek juga selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan dan pemantauan dinamika sekolah yang melaksanakan PTM Terbatas. Anak-anak juga bisa tetap belajar dari rumah jika orangtua belum yakin dan belum memberikan izin untuk mengikuti PTM Terbatas, serta tidak ada proses menghukum dan diskriminasi bagi anak-anak yang belajar dari rumah.

“Kolaborasi yang efektif antara guru, kepala sekolah, komite sekolah, dan pengawas sekolah, serta orangtua sangat diharapkan untuk menyukseskan penerapan PTM terbatas,” pungkas Jumeri

 

3 dari 3 halaman

Mengapa Baru Diungkap Sekarang

Sementara itu, Praktisi Pendidikan dari Jaringan Sekolah Digital Indonesia (JSDI), Muhammad Ramli Rahim mengkritisi langkah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim yang baru membuka data klaster Covid-19 di sekolah selama jalannya pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas.

Menurut Ramli, Nadiem seakan sengaja menahan data soal itu untuk dirilis saat situasi pandemi Covid-19 semakin menurun.

"Sekarangkan sudah landai betul di hampir semua daerah, baru kemudian di rilis. Kalau saat ini sudah tak jadi maslalah, kan gentingnya minggu pada saat seminggu pertamalah (lonjakan kasus)" ujar Ramli kepada Liputan6.com, Kamis, 23 September 2021.

Menurut Ramli, publikasi temuan itu mestinya jauh-jauh hari telah dilakukan. Cara yang dilakukan Nadiem, kata Ramli seakan guna mencegah kepanikan publik saat kasus Covid-19 masih tinggi demi melancarkan hasratnya mendorong PTM terbatas. Padahal banyak pihak yang mengingatkan konsekuensi keamanannya.

"Ya Kemendikbud sekarang begitu, lebih pada pencitraan, lebih pada menjaga persepsi publik terhadap mereka ini bukan apa yang terjadi di bawah, tapi bagaimana persepsi publik ke mereka," ujarnya.

Ramli minta Kemendikbudristek untuk memperketat aturan PTM terbatas yang lebih tegas. Salah satunya lewat vaksinasi.

"Jadi siswa usia 12 tahun ke atas yang belum vaksin dilarang bersekolah PTM. Itu sebaiknya seperti itu, kecuali punya penyakit," kata Ramli.

Ramli minta agar vaksinasi menjadi syarat wajib bagi siswa untuk bisa mengikuti PTM terbatas. Keculai ada kendala penyakit yang membuat mereka tak diperkenankan divaksin.

"Kalau Nadiem ngotot PTM, boleh tapi aturannya diperketat bahwa tanpa vaksinasi dua kali tidak boleh masuk sekolah," tandasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.