Sukses

Menakar Efektivitas Aturan Pelarangan Atribut Agama Cegah Intoleransi di Sekolah

Munculnya penolakan mengenakan hijab di sebuah seollah negeri di Kota Padang direspons dengan munculnya SKB 3 Menteri. Isu lokal itu kemudian merambat ke tengah-tengah pusaran isu nasional dengan terbitnya SKB tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang pelarangan aturan seragam kekhususan agama tertentu menuai respons beragama di tengah masyarakat.

Aturan yang diteken oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian pada 3 Februari itu diklaim pemerintah sebagai ramuan untuk menggalakkan inklusivitas pendidikan di Tanah Air.

Munculnya SKB itu setelah sebelumnya muncul kasus yang menimpa salah satu siswi nonmuslim di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat yang diwajibkan untuk mengenakan kerudung saat berada di sekolah. Pihak sekolah berdalih aturan kewajiban berkerudung bagi siswi itu sudah lama ada. Meskipun saat kasus itu ramai diperbincangkan, pihak sekolah tak lama berselang meminta maaf.

Sejumlah pihak merespons kasus yang menimpa siswi nonmuslim tersebut. Sebagian besar nada mengecam. Tak terkecuali dengan Nadiem Makarim yang menyeret isu lokal itu ke tengah-tengah pusaran isu nasional.

Mendikbud Nadiem Makarim.

Nadiem, pada Minggu, 24 Januari 2021, menyampaikan dengan tegas bahwa dirinya tak menoleransi tindakan yang dianggapnya sebagai wajah intoleransi keberagamaan itu. Sehingga hal itu bukan hanya melanggar ketentuan undang-undang, melainkan juga melanggar konstitusi negara.

Tak main-main, Mantan Bos Gojek Indonesia terebut mengancam bakal menerbitkan surat edaran yang mengatur soal seragam di sekolah. SKB soal pelarangan aturan kekhususan seragam agama tertentu di sekolah ini lalu terbit tak lebih dari 10 hari sejak kali pertama Nadiem menyeret isu seragam ke ranah nasional. 

Tak pelak SKB itu menuai tanggapan dari sejumlah tokoh. Respons negatif salah satunya dilontarkan oleh Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammad Cholil Nafis yang mengatakan bahwa cara Nadiem untuk menghadirkan inklusivitas di sekolah melalui SKB 3 Menteri itu dianggapnya keliru. Pasalnya menurut Nafis, inklusif bukan berarti menenggelamkan identitas dominan, namun justru mestinya diberikan ruang untuk menampilkan keberagaman. 

Keberagaman, kata Nafis juga bukan berarti dimaknai melarang penerapan suatu ajaran yang wajib bagi umat tertentu.

“Saya setuju semangatnya, tapi caranya yang tak setuju. Inklusif itu kan tidak menghilangkan identitas dan tidak melarang suatu keyakinan tertentu. Jadi kalau kota lihat dengan (kacamata) inklusif itukan (mestinya) Bhineka Tunggal Ika, masing-masing menampilkan keragaman, tapi inklusif juga menghargai perbedaan orang lain tidak kemudian menyembunyikan identitas diri," kata Nafis kepada Liputan6.com, Selasa (8/2/2021).

Para santriwati di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ngawi, Jawa Timur (Liputan6.com/Giovani Dio Prasasti

Menurut Nafis, seyogyanya pemerintah tak perlu melarang sekolah atau pemerintah daerah untuk menerapkan aturan wajib hijab bagi siswi. Nafis jelas menolak jika kewajiban itu dipaksakan pula pada mereka yang nonmuslim. Menurutnya dalam Islam saja jelas melarang praktik-praktik seperti itu.

"Kalau orang enggak mau pakai (aturan hijab) enggak apa-apa, tapi melarang orang mau makai (aturan itu) pakai yang itu wajib dalam agama ya itu yang salah,” katanya.

"Islam enggak memperbolehkan mewajibkan orang nonmuslim mengikuti syariat Islam, itu enggak boleh. Tapi pemerintah melarang orang mengimbau orang untuk berhijab. Itu enggak boleh mengimbau, jangankan mewajibkan, mengimbau saja sekolah enggak boleh, sih gimana pendidikan seperti itu?” lanjut Nafis.

Jika munculnya SKB itu didasari insiden di SMKN 3 Padang, menurut Nafis, hal itu tak bisa dipukul rata. Pasalnya ia melihat dalam kasus itu yang salah adalah oknum, bukan aturannya. Aturan hijab bagi siswi muslim itu tak masalah, namun jika ada oknum yang mewajibkan aturan itu pada mereka yang nonmuslim itu baru keliru.

“Oleh karena itu pelaksanaan aturannya yang diperketat, jadi pada teknis pelaksanaan yang salah bukan aturannya yang salah. Nah yang salah teknisnya kenapa aturannya yang diubah?" ucap dia.

Nafis menyesalkan bahwa masalah seragam yang terjadi di Padang itu justru digeneralisasi ke ranah nasional. Padahal mestinya jika masalahnya terjadi di satu wilayah, maka cukup diselesaikan di wilayah itu saja.

Oleh karena itu ia mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), untuk merombak SKB itu dengan menambahkan klausul “Sekolah dapat mewajibkan anak didik menggunakan atribut agamanya sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing dengan persetujuan orang tua atau komite. Tidak boleh mewajibkan kepada orang yang berkeyakinan lain.

"Itu sudah benar kalau ditambahin klausul itu,” pungkas Nafis.

Fokus Pecahkan Masalah Besar

Protes yang sewarna juga dilontarkan oleh Pimpinan Pusat Aisyiyah. Ketua Umum PP Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini menyesalkan terbitnya SKB itu. Ia memandang pemerintah semestinya membuat kebijakan yang memberikan kelonggaran kepada sekolah untuk membuat aturan yang positif yang arahnya menganjurkan, membolehkan, dan mendidik para siswa untuk taat menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya, termasuk dalam berpakaian seragam kekhasan agama siswa.

Siti Noordjannah beranggapan, memakai pakaian khusus keagamaan merupakan bagian dari pelaksanaan ajaran agama sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 UUD 1945. 

"Karenanya pemerintah harus melindungi hak siswa dalam menjalankan ajaran agamanya melalui peraturan sekolah yang bijaksana dan moderat, yang menumbuhkan keberagamaan siswa yang religius, damai, toleran, serta meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia sebagaimana tujuan Pendidikan Nasional,” tegas Siti Noordjannah dalam keterangan tulis kepada Liputan6.com, Senin (8/2/2021).

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar Dan Menengah khususnya bagi siswa muslimah, menurut hemat Siti Noordjannah dianggap  sangat akomodatif dan konstitusional. 

Dalam ketentuan pasal 1 angka 4 Permendikbud itu mengatur "Pakaian seragam khas muslimah adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh peserta didik muslimah karena keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis, model, dan warna yang telah ditentukan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk semua jenis pakaian seragam sekolah.

Karenanya Permendikbud tersebut masih sangat relevan untuk dilaksanakan di sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah dan dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk insan Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berkarakter akhlak mulia.

 

 

Saksikan video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dukungan Praktik Politik Identitas

Siti Noordjannah juga mengingatkan pemerintah untuk lebih fokus menangani dampak pandemi Covid-19 terhadap dunia pendidikan, ketimbang memantik hal-hal yang menimbulkan kontroversi.

Menurutnya, pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri saat ini harusnya lebih fokus dalam mengatasi masalah dan dampak yang sangat berat akibat pandemi Covid-19.

Semua komponen bangsa harunya dapat bekerja sama mengatasi Covid-19 dan segala dampaknya dengan jiwa persatuan Indonesia. Karenanya hal-hal yang menimbulkan kontroversi semestanya, menurut Siti, mesti dihindari oleh semua pihak untuk lebih meringankan menyelesaikan permasalahan menghadapi Covid-19.

Hal berbeda disampaikan Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo. Menurut pastor kelahiran Malang, Jawa Timur itu SKB 3 Menteri merupakan sebuah aturan guna menegaskan semangat untuk memperkukuh keberagaman di sekolah. 

"SKB 3 Menteri hanya menegaskan penting menjaga keragaman dan kemajemukan karena mengembalikan kembali esensi ekspresi beriman di mana setiap orang menjalan kebebasan berekspresi kebebasan beragama tanpa ada paksaan,” kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (8/2/2021).

Semangat SKB itu, dipandang Benny sewarna dengan Pasal 28 dan 29 Undang-Undang Dasar 1945. Di mana kedua pasal tersebut menekankan kebebasan warga negara untuk mengekspresikan identitas keagamaannya. 

"Intinya tidak menghalangi menjalankan ekspresi imannya,” ucap Benny.

Insiden yang terjadi di SMKN 2 Padang, menurut Benny serupa dengan fenomena gunung es. Di mana hanya sedikit yang tampak di permukaan, namun di bawahnya kasus-kasus serupa bisa saja banyak terjadi di sejumlah daerah.

Dia mengatakan, hal ini terjadi karena kelemahan pengawasan atas peraturan sekolah dari Kemendikbud, dan juga karena politik identitas dari daerah itu sendiri. Menurut Benny, persoalan ini dapat diselesaikan jika pengawasan dan ketegasan Kemendikbud dapat terlaksana. 

Benny menambahkan bahwa hal ini tidak perlu diperbesar dan dipolitisasi, pasalnya merujuk kepada peraturan Menteri Pendidikan yang sudah ada dan sudah lama, sekolah pun tetap diminta untuk tidak memaksakan kehendaknya seragam siswanya.

“Jika melanggar maka kena sanksi. Jika ditegakkan, ini selesai, tidak perlu ada politisasi ke mana-mana," dia memungkasi.

3 dari 4 halaman

Populer Sejak Tahun 80-an

Menurut catatan Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah Jilid Kedua (2016), jilbab bagi siswi di sekolah pertama kali dipopulerkan oleh Keluarga Remaja Islam Salman (Karisma), salah satu unit kegiatan mahasiswa Islam di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Karisma ini mengadakan bimbingan belajar kepada para murid di SMA negeri maupun swasta di Bandung. Lantas mereka mempopulerkan pakaian muslimah kepada para siswi SMA.

“Akibat Karisma juga mengadakan bimbingan belajar untuk siswa siswi SMA negeri atau swasta, mulailah kerudung jilbab masuk ke SMA negeri di Kota Bandung. Kemudian, cepat menjalar ke SMA di Jawa Barat,” tulis Ahmad Mansur.

Saat gelora jilbab sedikit demi sedikit digandrungi siswi SMA di Bandung, sikap penolakan ditunjukkan oleh SMAN 3 Bandung. Kepala sekolah di sana menganggap siswi yang berkerudung melanggar janji taat terhadap tata aturan disiplin sekolah dan seragam sekolah.

Ahmad Mansur menguraikan, mulanya peringatan kepada siswi yang mengenakan hijab di sekolah ialah dengan tidak mengizinkan mereka mengikuti pembelajaran di dalam kelas. Namun mereka masih boleh mengikutinya di luar kelas.

“Namun karena siswi yang berkerudung jilbab tetap tidak bersedia membukanya, (maka) dikenakan hukuman dikeluarkan dari SMA 3 Bandung,” tulis dia.

Langkah serupa juga dilakukan oleh pihak SMAN 68 Jakarta, yang mengeluarkan satu siswi bernama Ratu karena ia bersikukuh tidak mau melepas jilbabnya. Ahmad Mansur mencatat, selama 1982 total siswi yang mendapat sanksi dari sekolah di Jawa Barat lantaran mempertahankan jilbabnya mencapai 300 siswi.

Dalam kondisi seperti itu, justru praktik jilbab dicontohkan oleh putri Presiden Kedua RI, Soeharto, yakni Mbak Tutut atau Siti Hardiyanti Rukmana. Dalam sejumlah kesempatan ia kerap terlihat tampil dengan jilbab.

Praktek pemakaian jilbab Mbak Tutut, menurut Ahmad Mansur memungkinkan meluaskan pemakaian jilbab di masyarakat.

"Dengan kata lain tidak terhalang lagi kerudung dikenakan oleh para siswi atau akhwat. Namun, menjadi busana Islam yang dikenakan oleh ibu-ibu dan peserta pengajian di sejumlah masjid,” paparnya.

 

4 dari 4 halaman

Aturan Hijab Melalui Perda

Sejak populernya pemakaian kerudung di sekolah, sejumlah daerah menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan siswinya yang “muslim” untuk mengenakan jilbab saat berada di sekolah.

Aturan ini salah satunya ditegakkan di Indramayu. Kabupaten di pesisir utara Jawa Barat ini mewajibkan siswinya yang muslim untuk menggunakan jilbab saat berada di sekolah.

Wakil Kepala Sekolah Bagian Kesiswaan SMPN 1 Jatibarang, Tukino menuturkan bahwa selama ini tak ada masalah menyangkut aturan tersebut. Pun aturan itu hanya dikenakan terhadap siswi muslim saja.

Menurutnya aturan tersebut juga tak pernah mendapatkan penolakan dari wali murid, begitu pula dari siswi nonmuslim.

“Kebetulan di kelas saya juga ada nonmuslim, biasa enggak pakai kerudung enggak masalah. Tidak ada juga diskriminasi kepada mereka,” ujar Tukino kepada Liputan6.com,  Jumat (5/2/2021).

Tukino mengatakan, bahkan ada guru perempuan yang nonmuslim di sana dan tak ada pemaksaan untuk mengenakan jilbab. Siswi nonmuslim membaur seperti siswi pada umumnya.

“Kalau perda untuk kewajiban aturan muslim itu ya bagus, untuk pendidikan karakter. Artinya anak-anakkan muslimah, menjaga aurat," sebut Tukino.

Hal serupa juga terjadi di SMPN 1 Pangandaran. Menurut guru di sana yang tak mau disebutkan namanya, praktik kewajiban jilbab di sekolah yang berada di ujung timur pesisir selatan Jawa Barat itu telah lama dilakukan. Kendati begitu ia melihat belum pernah ada masalah soal aturan tersebut.

Ia memastikan bahwa kendati aturan itu wajib bagi siswi muslim, namun tak ada paksaan bagi nonmuslim.

“Tak ada paksaan ya, di SMP kami yang nonmuslim memang tidak pakai jilbab. Malah mereka santai saja, di kelas juga biasa aja. Mereka wellcome toleransinya tinggi kalau di daerah," kata sang guru saat dihubungi Liputan6.com, Senin (8/2/2021).

Sang guru bahkan mengungkap bahwa siswi nonmuslim di sana banyak yang berprestasi dan tak terbatas pergaulannya hanya gegara teman-temannya mengenakan jilbab.

"Mereka beribadah ya ibadah sendiri-sendiri, tapi mereka saling dukunglah. Malah justru di sini ada anak yang juara literasi dari nonmuslim, kita sekolah senang. Di kelas mereka bergaul bahkan jadi OSIS, aktif," sebutnya.

Hal seirama juga dikatakan Kepala Sekolah SMPN 1 Bulukumba, Sulawesi Selatan, Sahiruddin yang menyebut praktik kewajiban penggunaan jilbab di sekolah bagi muslimah tak menuai masalah. Pasalnya seperti sekolah-sekolah sebelumnya hal itu hanya berlaku terhadap siswi muslim saja.

"Nonmuslim itu tidak diwajibkan, dia menyesuaikan tetap memakai pakaian seperti bisa sesuai dengan aturan Permendikbud," jelas Sahiruddin saat dihubungi Liputan6.com, Senin (8/2/2021).

Sejauh ini, sejak kali pertama peraturan itu diterbitkan menurut Sahiruddin tak ada masalah mengenai aturan tersebut. Bahkan tak pernah ada yang mengeluhkan soal aturan itu.

“Aman-aman saja, kalau di sini toleransi itu betul-betul kita junjung tinggi. Sangat kita hargai nonmuslim yang berada di Kabupaten Bulukumba,” pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.