Sukses

Firli Bahuri: KPK Tengah Menyusun Pedoman Penuntutan

Pedoman penuntutan itu disusun untuk dapat menjadi acuan dalam setiap penanganan kasus korupsi di KPK.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyatakan, pihaknya saat ini tengah menyusun pedoman penuntutan untuk dapat menjadi acuan dalam setiap kasus korupsi di lembaga antirasuah.

“Kita sedang susun pedoman penuntutan. Saya sudah perintahkan untuk menyusun Perkom KPK tentang pedoman penuntutan dan sedang di proses,” ujar Firli, Senin (20/4/2020).

Terkait dengan pemidanaan, menurut Firli itu bukan ranah KPK. Jenderal polisi bintang tiga ini mengatakan, pemidanaan merupakan kewenangan dan kekuasaan kehakiman.

"Saya selalu menyampaikan bahwa kita tidak memasuki ranah yang bukan tugas pokok kita," kata Firli.

Firli menyebut, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan legislatif dan eksekutif. Menurut Firli, hal tersebut merupakan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Maka dari itu, menurut Firli, pihaknya tidak perlu memberi komentar atas pernyataan berbagai pihak terkait hal pemidanaan. Kendati demikian, Ketua KPK jilid V ini menganggap kebebasan berpendapat adalah hak semua pihak.

"KPK bukan LSM, tapi KPK adalah lembaga negara yang independen dan memiliki aturan main sesuai dengan UU," kata Firli.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sorotan ICW

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai sepanjang tahun 2019, pengadilan menjatuhkan hukuman rendah terhadap koruptor. Menurut ICW, rata-rata koruptor hanya dipidana selama 2 tahun 7 bulan.

Selain hukuman ringan, menurut ICW, terdapat 54 terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas oleh pengadilan, termasuk mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi terdakwa perkara korupsi SKL BLBI serta Sofyan Basir mantan Dirut PT PLN yang menjadi terdakwa terkait suap proyek PLTU Riau-1.

Dari pemantauan yang dilakukan ICW, sepanjang 2019 terdapat 1.019 perkara korupsi yang disidangkan di pengadilan dengan 1.125 terdakwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 842 terdakwa korupsi divonis ringan.

Di tahun sebelumnya, hanya sekitar 173 terdakwa yang divonis sedang, sembilan terdakwa divonis berat. Bahkan, terdapat 41 terdakwa yang divonis bebas dan 13 terdakwa yang divonis lepas.

"Tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2019 belum menunjukkan keberpihakan sepenuhnya pada sektor pemberantasan korupsi. Hal ini dikarenakan dalam temuan ICW rata-rata vonis terhadap terdakwa korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara saja," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.

Rata-rata vonis yang dijatuhkan pengadilan lebih rendah dari rata-rata tuntutan yang disampaikan penuntut umum baik dari Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rata-rata tuntutan Kejaksaan 3 tahun 4 bulan penjara, sementara dari tuntutan Jaksa KPK selama 5 tahun 2 bulan.

Secara rinci, Kurnia memaparkan, dari total 911 terdakwa yang dituntut Kejaksaan, sebanyak 604 dituntut ringan, 276 sedang, dan 13 berat. Sementara KPK menuntut 197 terdakwa, dengan 51 terdakwa dituntut ringan, 72 sedang, dan 6 berat.

Sedangkan untuk putusan, kasus yang ditangani Kejaksaan rata-rata divonis 2 tahun 5 bulan penjara. Sedangkan perkara korupsi yang ditangani KPK rata-rata divonis 4 tahun 1 bulan penjara.

"Lalu untuk vonis ringan, ketika penuntutnya adalah KPK sebanyak 63 terdakwa dan Kejaksaan sendiri sejumlah 722 terdakwa. Vonis yang dikategorikan berat untuk KPK sendiri sebanyak 2 terdakwa dan Kejaksaan 5 terdakwa," katanya.

ICW meminta Ketua Mahkamah Agung (MA) yang baru terpilih, Muhammad Syarifuddin menyoroti secara khusus tren vonis yang masih ringan terhadap pelaku korupsi. Hal ini dapat dilakukan MA dengan menyusun dan merealisasikan pedoman pemidanaan.

"Agar ke depan setiap hakim memiliki standar tertentu saat memutus perkara korupsi," katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.