Sukses

Mengenang Kehebatan Pasukan Elite RI di Pembebasan Sandera Woyla

Keberhasilan operasi Woyla ini dinilai melebihi kesuksesan pasukan khusus Israel dalam membebaskan sandera di Entebbe Uganda.

Liputan6.com, Jakarta - Sabtu, 28 Maret 1981, pukul 10.10 WIB, baru saja Kapten Pilot Herman Rante yang menerbangkan Pesawat DC-9 Woyla milik maskapai Garuda Indonesia lepas landas dari Pelud Sipil Talang Betutu, Palembang, Sumatera Selatan.

DC-9 Woyla berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55 WIB.

Di dalam pesawat itu terdapat, 33 penumpang dari Jakarta dan 15 penumpang tambahan dari Palembang saat transit. Jadi total 48 orang di dalamnya ditambah 5 kru pesawat tersebut (2 kru kokpit dan 3 kru kabin).

Namun, tiba-tiba dua penumpang bangkit dari tempat duduk mereka. Tanpa banyak bicara, kedua orang itu langsung menjalankan tugasnya masing-masing.

Berbekal senjata api jenis pistol revolver, salah satu orang itu langsung menuju ke kokpit dan menodongkan senjata. Satunya lagi berdiri di gang antara tempat-duduk penumpang pesawat.

"Jangan bergerak, pesawat kami bajak," teriak pria itu sambil menodongkan pistol ke arah co-pilot Hedhy Juwantoro yang akan ikut menerbangkan pesawat menuju Bandara Polonia, Medan, Sumatera Utara.


Tidak tanggung-tanggung, dengan nada mengancam para pembajak itu, Kapten pilot Herman Rante untuk menerbangkan pesawat bernomor penerbangan 206, berkode ekor PK-GNJ, rute jurusan Jakarta – Medan itu ke ke Kolombo, Sri Lanka.

Tentu saja permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi karena avtur yang terbatas.

"Pokoknya terbang sejauh-jauhnya dari Indonesia," teriak seorang pembajak yang belakangan diketahui bernama Mahrizal.

(Liputan6.com/Fahrizal Lubis)

Pesawat akhirnya dialihkan menuju Penang, Malaysia, untuk pengisian bahan bakar. Lalu, kembali terbang menuju ke Bandara Don Mueang, Thailand.

Saat transit di Malaysia, para pembajak sempat menurunkan wanita lanjut usia bernama Hulda Panjaitan (76) karena ia tak henti-hentinya menangis di dalam pesawat.

Pesawat itu terbang lagi ke Thailand dan berhasil mendarat di Thailand karena ancaman teroris.

Sesampainya di negeri Gajah Putih itu, mereka kemudian membacakan tuntutan mereka, yaitu:

1. Anggota Komando Jihad di Indonesia yang berjumlah 80 orang sebagai tahanan politik segera dibebaskan.
2. Meminta uang sejumlah 1,5 juta dolar Amerika.
3. Orang Israel dikeluarkan dari Indonesia.
4. Adam Malik dicopot sebagai Wakil Presiden.

Bila tuntutan itu tidak segera dipenuhi, mereka mengancam telah memasang bom di pesawat Woyla dan tidak segan untuk meledakkan diri bersama pesawat tersebut.

Mereka juga meminta pesawat itu untuk pembebasan tahanan dan untuk terbang ke tujuan yang dirahasiakan.

Drama pembajakan pun tiba pada puncaknya saat transit di Bandara Don Mueang di Bangkok, Muangthai, 31 Maret 1981.

Pembajakan Garuda DC-9 Woyla ini berlangsung selama empat hari. Dalam sejarahnya, ini kali pertama Indonesia diserang oleh teroris yang bermotif 'jihad'.

Pelakunya lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein, dan mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok yang mengatasnamakan Komando Jihad (KJ).

Dalam sejarahnya, KJ adalah kelompok ekstremis Islam Indonesia yang pernah ditumpas oleh anggota intelijen pada pertengahan tahun 1980-an. KJ sendiri diketahui sudah ada sejak tahun 1968.

Imran bin Muhammad Zein, pemimpin kelompok KJ yang melakukan peristiwa teror ini menuntut agar para rekannya yang ditahan usai peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, supaya dibebaskan. Dalam peristiwa Cicendo, 14 anggota Komando Jihad membunuh empat anggota polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret 1981 dinihari.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Persiapan Operasi

"Being hijacked, being hijacked."

Suara itu terdengar dari alat komunikasi di pesawat Fokker-28 Garuda Indonesia nomor penerbangan 145, jurusan Pekanbaru – Jakarta Baru yang dipiloti oleh A Sapari.

Sang Kapten sadar, kalimat yang baru didengarnya itu adalah suara permintaan tolong dari rekan pilot GA 206 yang sedang dibajak. Berita pertama pembajakan pun tersebar pukul 10.18 WIB.

Tentu saja, berita itu langsung ia teruskan ke Jakarta. Kabar itu langsung membuat petinggi negara dan para jenderal yang sedang menggelar latihan gabungan semua unsur pasukan tempur di Timor-Timur hingga Halmahera kaget.

Wakil Panglima ABRI yang saat dijabat oleh Laksamana Sudomo kaget mendengar berita nahas itu. Tanpa pikir panjang, rencana penyelamatan sandera langsung dilakukan.

Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha) embrio dari Kopassus langsung ditugaskan untuk segera menggelar operasi penyelamatan.

Tiga satuan tempur elite TNI melakukan latihan gabungan operasi pembebasan sandera di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta pada Rabu 29 Januari 2014 (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah).

Sudomo langsung bergerak cepat menghubungi Kepala Pusat Intelijen Strategis yang saat itu dijabat Benny Moerdani dan segera mengabarkan Asisten Operasi Kopasandha LetKol Sintong Panjaitan yang pada saat itu kakinya masih dibalut gips.

Sebuah pesawat DC-9 milik Garuda langsung dipinjam untuk dipelajari seluk beluknya. Latihan 2 hari di hanggar Garuda, membuat pasukan khusus yang diisi tentara terpilih ini yakin bisa menyelesaikan misi itu.

Apalagi sudah dua tahun pasukan khusus antiteror terbentuk, mereka terus berlatih tapi belum pernah punya kesempatan muncul. Namun yang lebih membanggakan mereka akan bertempur di wilayah negara asing.

Dua hari jelang operasi penyelamatan, Minggu 29 Maret 1981. Pasukan antiteror Indonesia akhirnya diizinkan masuk oleh pemerintah Thailand.  Benny yang dikutip dalam buku biografinya, memutuskan menggunakan Garuda DC-10 Sumatera, pesawat ini lebih cepat dan lebih lama terbang dari DC 9.

Hari berikutnya, Senin 30 Maret 1981, dinihari, pukul 00.30, pesawat DC-10 yang disamarkan seperti pesawat komersial milik Garuda, mendarat di Bandara Don Muang.

Demi keamanan dan kelancaran operasi pesawat pabrikan Amerika itu diparkir di lokasi yang agak jauh dari Woyla. Namun, operasi kembali molor karena belum ada kesepakatan antara Benny dengan Menteri luar negeri Thailand yang saat itu dijabat Siddi Savitsila.

Keesokan harinya, Senin 30 Maret 1981, pagi pukul 06.00, pemerintah Thailand masih tidak bersedia memberi izin operasi itu. Benny lalu bertemu dengan Chief Station CIA untuk Thailand. Izin operasi pun kemudian diberikan. Benny menetapkan, serbuan akan dilakukan sebelum fajar.

Operasi akan digelar sebelum fajar. Tak lupa Benny meminta petugas Garuda di Don Muang menyiapkan 17 peti mati. Karena masih harus menunggu, Sintong memerintahkan anak buahnya untuk tidur agar tidak semakin tegang.

Selasa 31 Maret 1981, dinihari, pukul 02.30 Waktu setempat, prajurit Kopassus yang sudah tidur pulas mulai bergerak mendekati pesawat dengan senyap.

3 dari 4 halaman

Salah Skenario

Mereka membagi diri menjadi tiga tim, yakni Tim Merah, Tim Biru dan Tim Hijau. Sesuai dengan simulasi latihan, kedua tim sudah langsung memanjat ke sayap pesawat dan menunggu di pintu samping. Sementara Tim Hijau akan masuk lewat pintu belakang.

Berdasarkan sumber data liputan6.com, Sintong saat itu sangat terkejut, ketika tiba-tiba saja Benny menyusup masuk ke dalam barisan. Ini jelas di luar skenario operasi yang sudah disiapkan dua hari lalu.

Benny terlihat jelas di tengah deretan pasukan berseragam. Dia memakai jaket hitam, tangan kanannya memegang sepucuk pistol mitraliur.

Sambil berbisik, Sintong memerintahkan anak buahnya yang jalan paling dekat. "Jangan biarkan Pak Benny ikut.". Namun anak buah Sintong tak berani menjalankan perintah atasanya. "Pak, saya nggak berani," jawab Letnan Suroso.

Sejumlah anggota Kopassus TNI AD bersiap mengikuti Latihan Gabungan Gultor Tri Matra IX TA.2014 di Halim Perdanakusuma Jakarta, Senin (1/12/2014). Latihan penanggulangan teror untuk memelihara kedaulatan NKRI. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Tim Thailand pun ikut bergerak ke landasan, tapi tidak sampai mendekat ke pesawat hanya menunggu di landasan agar tidak ada teroris yang lolos jika melarikan diri.

Sesuai komando, kode untuk masuk diberikan, ketiga tim masuk, dengan Tim Hijau terlebih dahulu. Mereka berpapasan dengan seorang teroris yang berjaga di pintu belakang.

Serbuan kilat pun langsung dimulai. Semua pintu kabin pesawat langsung didobrak dari luar. Ketika berhasil mendobrak pintu dan masuk ke pesawat salah satu anggota pasukan khusus itu langsung berteriak sekeras-kerasnya. "Penumpang Tiarap. "

Sekejap kemudian bunyi tembakan riuh membangunkan seluruh isi pesawat. Namun, Nahas Pembantu Letnan Achmad Kirang yang sudah telanjur masuk sebelum pintu depan didobrak.

Otomatis pembajak yang berjaga di bagian belakang langsung menembak Kirang yang tidak dilindungi rompi antipeluru. Timah panas teroris pun menembus perut Kirang. Tak berapa lama kemudian teroris tersebut kemudian ditembak dan tewas di tempat.

Para penumpang kemudian disuruh keluar. Seorang teroris dengan granat tangan tiba-tiba keluar dan mencoba melemparkannya tetapi gagal meledak. Lalu anggota tim menembak dan melukainya sebelum dia sempat keluar.

4 dari 4 halaman

Hukuman Mati

Pimpinan Komando Jihad (KJ) Imran bin Muhammad Zein selamat dalam peristiwa baku tembak tersebut dan ditangkap pasukan. Sementara, mayat pembajak lainnya, Machrizal, Zulfikar, Wendy M Zein, Abu Sofyan dan Imronsayah, langsung diterbangkan ke Jakarta pagi itu pula.

Namun yang paling melegakan, seluruh penumpang tidak ada satu pun mengalami cedera berarti.

Tim medis kemudian datang untuk menyelamatkan pilot pesawat DC-9 Woyla, Kapten Herman Rante, yang ditembak salah satu teroris dalam serangan. 

Sementara Achmad Kirang meninggal pada 1 April 1981 dalam perawatan di RS Bhumibhol, Bangkok, begitu pula Captain Herman Rante, meninggal di Bangkok, enam hari setelah operasi penyergapan berlangsung. Keduanya kemudian dimakamkan di TMP Kalibata.

Operasi kontra terorisme ini dilakukan oleh Grup-1 Para-Komando di bawah pimpinan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan. Publik menilai keberhasilan itu melebihi keberhasilan pasukan khusus Israel dalam membebaskan sandera di Entebbe Uganda.

Hasil dari baktinya, ia beserta tim dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat, kecuali Achmad Kirang yang gugur di dalam operasi tersebut, dinaikkan pangkatnya dua tingkat secara anumerta.

Imran bin Muhammad Zein selaku otak peristiwa pembajakan pesawat DC-9 ini kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada tahun 1981.

Imran merupakan salah seorang yang terlibat dalam Peristiwa Cicendo bersama Maman Kusmayadi, Salman Hafidz, serta 11 orang lainnya.

Begitu pula dengan Maman dan Salman, yang  bernasib sama dengan Imran, dan dieksekusi hukuman mati.

Pasca-operasi itu, pasukan Kopasandha yang melakukan penyerbuan pesawat Woyla menjadi embrio terbentuknya unit antiteror di Kopassus saat ini, yaitu SAT-81 Gultor.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini