Sukses

Ketua Asosiasi Industri Timah Indonesia Bantah Memprovokasi

Ketua Asosiasi Industri Timah Indonesia Apik Rasjidi meminta polisi memberikan bukti bahwa dirinya terlibat pengerahan massa ke Kantor Gubernur dan Mapolda Bangka Belitung. "Saya waktu itu masih di kantor," kata Apik.

Liputan6.com, Jakarta: Penyidik Kepolisian Daerah Bangka Belitung memeriksa secara intensif 45 tersangka kasus perusakan Kantor Gubernur dan Markas Polda Bangka Belitung. Unjuk rasa yang berakhir dengan kerusuhan pada Kamis silam, diduga didalangi sejumlah provokator, salah seorang di antaranya Ketua Asosiasi Industri Timah Indonesia Apik Rasjidi. Pasalnya pengerahan massa terkait ketidakpuasan terhadap penangkapan empat pemilik smelter atau tempat peleburan timah. "Saya dituduh memprovokasi, tidak mungkin. Kita orang Bangka tidak suka ribut-ribut," kata Apik menyangkal tuduhan tersebut.

Kepada reporter SCTV Sella Wangkar, Ahad (8/10), Apik juga membantah anggapan para pengusaha smelter sebagai penyelundup timah, karena ia mengaku melakukan kegiatan ekspor lewat pelabuhan yang sah dengan dokumen yang sah pula. "Silakan buktikan," ujar Apik. Awal mula pembangunan smelter, lanjut Apik, juga atas permintaan pemerintah karena ada larangan ekspor pasir timah. "Kami memenuhi [kehendak pemerintah] karena pasokan pasir timah berlebih," kata dia.

Menurut Undang-undang Pertambangan, smelter dianggap mencari untung sendiri alias tidak mau membayar royalti kepada pemerintah. Bahkan smelter tidak punya pengolahan dan bahan baku yang jelas. Menanggapi hal itu, Apik mengatakan smelter bukan pertambangan tetapi lebih kepada industri. "Saya mengajukan ingin membuat smelter dan pemerintah daerah menunjuk Departemen Industri untuk mengurus izinnya," papar dia. Jika tidak adanya penambangan yang menjadi masalah, Apik balik mempertanyakan keberadaan PT Krakatau Steel yang juga tidak punya tambang.

Soal kewajiban membayar tiga persen royalti, menurut Apik, lebih kepada ketidaktahuan pengusaha bagaimana cara melunasinya. "Karena kami diberi izin oleh pemda maka pemda yang harus memediasi dengan pemerintah pusat," tandas Apik. Adapun pemilik smelter dianggap merugikan negara sampai triliunan rupiah dinilai Apik berlebihan. "Kami baru tiga tahun berdiri. Saya pikir berlebihan dan menyudutkan kami," kata dia lagi.

Menanggapi kejadian pada 3 Oktober 2006, Apik mengaku tidak tahu menahu, karena masih berada di kantor. Apik mengetahui ada gerombolan orang datang ke Kantor Gubernur dan Markas Kepolisian Daerah Bangka Belitung, tetapi ia menyangkal paham niat mereka. "Mungkin kulminasi dari kemarahan masyarakat karena smelter ditutup. Bagaimana mereka bisa menjual pasir timah?" tutur Apik. Menyusul pemanggilan terhadap dirinya pada pekan depan, Apik mengaku siap. "Saya tidak perlu alibi, yang benar akan saya katakan," tegas dia.(KEN)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini