Sukses

Skripsi, Tinggal Beli Saja!

Demi mendapatkan titel sarjana, tak sedikit mahasiswa yang mengambil jalan pintas dengan membeli skripsi. Akal bulus ini memanfaatkan longgarnya pengawasan dosen pembimbing dan pihak akademik.

Liputan6.com, Jakarta: ...Buat apa susah-susah bikin skripsi sendiri. Sebab ijazah bagai lampu kristal yang mewah. Ada di ruang tamu hiasan lambang gengsi. Tinggal membeli tenang sajalah... Penggalan lirik Teman Kawanku Punya Teman milik Iwan Fals ini seolah menjadi satire bagi sebagian kaum intelektual di Tanah Air.

Tak bisa dimungkiri, status mahasiswa masih dianggap mentereng di negeri ini. Dengan status itu pula, gelar sarjana siap digenggam. Usaha keras harus dilakukan untuk memburu titel prestisius yang dipajang di belakang nama itu. Namun tak sedikit yang mengambil jalan pintas termasuk membeli karya akhir sebagai syarat kelulusan seperti skripsi, tesis, atau disertasi. Semua bisa dibeli.

Kenyataan inilah yang mengusik tim Sigi SCTV untuk menelisik jual beli skripsi di Yogyakarta. Sebagai kota pelajar, Yogya memang menjadi pasar terbesar para pedagang skripsi. Jumlah mahasiswa di Kota Gudeg ini mencapai ratusan ribu. Di luar tiga perguruan tinggi negeri yang bercokol di kota ini, ada 113 perguruan tinggi swasta dengan 772 program studi. Hasilnya mengagetkan. Tim Sigi menemukan sentra khusus penjualan karya akhir mahasiswa di Pasar Bringharjo.

Karya ilmiah itu dipajang bercampur buku sekolah atau buku mahasiswa. Shopping, begitu masyarakat setempat menyebut transaksi jual beli skripsi. Tinggal sebut jurusan dan strata pendidikan, maka penjual segera menyodorkan katalog. Daftar koleksi mereka, cukup lengkap. Nyaris semua strata dan program jurusan bisa ditemukan. Cuma paling apes, karya akhir yang didapat bisa jadi sudah dijiplak berkali-kali.

Soal harga, tak perlu khawatir. Karya ilmiah di Bringharjo lumayan murah. Dengan uang Rp 60 ribu, skripsi yang dicari bisa dibawa pulang. Sementara tesis dipatok Rp 150 ribu dan Rp 500 ribu untuk disertasi. Namun tak jarang, judul dalam katalog tak berada di pasar buku itu. Para penjual biasa menyimpan skripsi, tesis, atau disertasi di rumah.

Untuk melihat koleksi yang lebih lengkap, tim Sigi mendatangi rumah seorang penjual karya ilmiah di daerah Banguntapan, Bantul. Di tempat itu, ratusan karya akhir mahasiswa dari berbagai strata menumpuk dengan rapi. Semua masih utuh lengkap dengan jilid dan sampul aslinya. Tanpa proses yang berbelit-belit, kopi disertasi keluaran Universitas Gadjah Mada Tahun 2000 pun berpindah tangan.

Usut punya usut, sang pedagang--sebut saja Marni--mengaku memulai bisnis ini sejak 1995. Dagangan skripsinya laris manis bak kacang goreng. Bahkan langganan Marni tak terbatas hanya di Yogyakarta. "Pesan lewas SMS [pesan pendek], tinggal tambah ongkos kirim," ujar Marni dengan enteng.

Rental pengetikan komputer di daerah Yogya pun ketiban rezeki. Mahasiswa yang malas mengetik ulang kopi skripsi yang dibelinya memilih untuk menyerahkannya ke jasa pengetikan. Saking malasnya, para mahasiswa instan ini terkadang hanya mengubah nama, lokasi, dan waktu penelitian.

Tak jarang pula, penjual skripsi memasang iklan melalui spanduk atau pamflet. Layaknya bisnis legal, mereka siap menjadi konsultan pembuatan tugas akhir. Biro-biro jasa ini bahkan melibatkan dosen. Soal harga, semua bisa dinegosiasikan. Tarif pembuatan tesis hingga rampung dipatok Rp 3,5 juta sampai Rp 6 juta. Layaknya transaksi bisnis, ada kontrak yang harus ditandatangani termasuk pembayaran yang bisa diangsur.

Tak hanya di Yogya, bisnis tugas akhir juga terjadi di kota lain. Di Jakarta misalnya, penjual skripsi dengan mudah dijumpai di kawasan Kwitang, Senen, Jakarta Pusat. Harganya pun lebih murah dengan kisaran Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu tergantung jenis penelitian dan tanggal kelulusan sarjana pemiliknya. Lain Jakarta lain pula di Bogor, Jawa Barat. Di Kota Hujan ini sebuah skripsi dihargai Rp 1,5 juta sampai Rp 3 juta. Sedangkan tesis, mencapai Rp 6 juta.

Jika skripsi plagiat ini sudah begitu menjamur, lalu di mana peran dosen pembimbing? Kalau sudah begini, ujungnya lagi-lagi masalah klasik, soal kesejahteraan yang membuat para dosen mengasong alias ngajar sana-sini sehingga tak lagi memperhatikan kualitas akademik. Kesempatan ini lantas dimanfaatkan mahasiswa yang mencari jalan pintas. "Karena dosennya tidak kontrol, bablas," ungkap seorang sosiolog, Heru Nugroho.

Kelemahan kontrol ini diakui pengelola UGM. Kampus sebesar itu pun pernah terkena kasus disertasi plagiat. Budi Prasetyo, Direktur Administrasi Akademik UGM mengungkapkan kasus tersebut terjadi di akhir tahun 2000. Setelah melalui perdebatan panjang, sarjana tersebut dicabut kelulusannya. Namun sayang, sanksi akademis tak sampai menyentuh dosen pembimbingnya.

Hal senada diungkapkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Satryo Soemantri Brodjonegoro. Ia menilai kasus jual beli skripsi terjadi karena dosen kurang ketat mengawasi mahasiswa bimbingannya. "Mungkin masalah waktu. Sibuk cari uang," tambah Satryo. Idealnya, satu dosen maksimal membimbing lima mahasiswa. Namun yang terjadi, seorang dosen bisa membimbing 10 sampai dengan 40 orang.

Bisnis jual-menjual, praktik jiplak-menjiplak skripsi sepertinya sudah umum di mana-mana. Dengan sedikit akal bulus plus fulus, mahasiswa malas akhirnya lulus. Lantas bagaimana nasib dunia pendidikan Tanah Air? Jika sudah begini, masih pantaskah mahasiswa disebut kaum intelektual?.

Kerja. Itulah ujung yang dicari sebagian besar mahasiswa. Jika sudah sampai di titik ini, ijazah, gelar, atau titel sarjana banyak berbicara. Tak heran, banyak mahasiswa menghalalkan segala cara untuk merengkuhnya. Lalu bagaimana dengan skripsi sebagai karya otentik intelektualitas sarjana? Tak usah terlalu dipikirkan. Toh pada saat wawancara kerja kelak, tak ada yang peduli meski skripsi itu dibeli di emper jalan.(TOZ/Tim Sigi SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.