Sukses

3 TPA di Pulau Jawa Jadi Lokasi Pelepas Emisi Metana Menurut Satelit Baru NASA

Satelit baru NASA ini pada dasarnya mendeteksi pelepasan metana dan kardon dioksida dari negara-negara di dunia.

Liputan6.com, Jakarta - Menggunakan data dari instrumen rancangan Laboratorium Propulsi Jet NASA di California Selatan, Amerika Serikat (AS), lembaga nirlaba Carbon Mapper merilis deteksi titik pelepasan metana dan karbon dioksida pertama dari satelit Tanager-1. Di antaranya, terdapat tiga titik di Indonesia, yang seluruhnya berada di Pulau Jawa.

Melansir data.carbonmapper.org, Senin (14/10/2024), pertama, ada dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga di Bogor, Jawa Barat, yang angkanya 1.200 kilogram metana per jam. Kemudian, dari TPA Rawa Kucing di Tangerang, Banten, terdeteksi pelepasan 590 kilogram metana per jam.

Terakhir, ada TPA Cilowong di Serang, Banten, yang angka tidak terdeteksi, namun tercatat adanya plume emisi. Angka tersebut diperoleh per 7 November 2023, menurut lembaga nonprofit tersebut.

Secara khusus, ulasan di situs web NASA menyoroti menyoroti gumpalan metana di Pakistan dan Texas, serta gumpalan karbon dioksida di Afrika Selatan. "Data ini berkontribusi pada tujuan Carbon Mapper untuk mengidentifikasi dan mengukur emisi titik sumber gas rumah kaca pada skala global dan menjadikan informasi tersebut dapat diakses dan ditindaklanjuti," sebut mereka.

Didukung oleh Carbon Mapper dan dibangun Planet Labs PBC, satelit Tanager-1 diluncurkan dari Pangkalan Angkatan Luar Angkasa Vandenberg di California pada 16 Agustus 2024. Satelit itu telah mengumpulkan data untuk memverifikasi bahwa spektrometer citranya, yang didasarkan pada teknologi yang dikembangkan di NASA JPL, berfungsi dengan baik.

 

2 dari 4 halaman

Mengatasi Emisi Gas Rumah Kaca

Baik Planet Labs PBC maupun JPL merupakan anggota Carbon Mapper Coalition yang didanai filantropi. "Citra gas rumah kaca pertama dari Tanager-1 sangat menarik dan merupakan tanda yang meyakinkan akan hal-hal yang akan datang," kata James Graf, direktur Ilmu Bumi dan Teknologi di JPL.

"Satelit tersebut berperan penting dalam mendeteksi dan mengukur emisi metana dan karbon dioksida. Misi tersebut merupakan langkah maju yang besar dalam mengatasi emisi gas rumah kaca," ia menyambung.

Data yang digunakan untuk menghasilkan citra emisi Pakistan dikumpulkan di atas kota Karachi pada 19 September 2024, dan menunjukkan gumpalan metana sepanjang sekitar empat kilometer yang berasal dari tempat pembuangan sampah. Perkiraan awal Carbon Mapper tentang laju emisi sumber adalah lebih dari 1,2 ribu kilogram metana yang dilepaskan per jam.

Gambar yang dikumpulkan pada hari yang sama di Kendal, Afrika Selatan, menampilkan gumpalan karbon dioksida sepanjang hampir tiga kilometer yang berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Perkiraan awal Carbon Mapper tentang laju emisi sumber adalah sekitar 600 ribu kilogram karbon dioksida per jam.

3 dari 4 halaman

Perkiraan Pelepasan Metana dan Karbon Dioksida

Gambar citra Texas, yang dikumpulkan pada 24 September 2024, memperlihatkan gumpalan metana di sebelah selatan kota Midland, di Cekungan Permian, salah satu ladang minyak terbesar di dunia. Perkiraan awal Carbon Mapper tentang laju emisi sumber adalah hampir 400 kilogram metana per jam.

Pada tahun 1980-an, JPL membantu memelopori pengembangan spektrometer pencitraan dengan Airborne Visible/Infrared Imaging Spectrometer (AVIRIS). Lalu pada tahun 2022, NASA memasang spektrometer pencitraan Earth Surface Mineral Dust Source Investigation (EMIT), yang dikembangkan di JPL, di Stasiun Luar Angkasa Internasional.

Sebagai turunan dari instrumen tersebut, spektrometer pencitraan di Tanager-1 dapat mengukur ratusan panjang gelombang cahaya yang dipantulkan dari permukaan Bumi. Setiap senyawa kimia di darat dan di atmosfer memantulkan dan menyerap berbagai kombinasi panjang gelombang, yang memberinya "sidik jari spektral" yang dapat diidentifikasi para peneliti.

Menggunakan pendekatan ini, Tanager-1 akan membantu para peneliti mendeteksi dan mengukur emisi hingga ke tingkat fasilitas. Setelah beroperasi penuh, satelit tersebut akan memindai sekitar 300 ribu kilometer persegi permukaan Bumi per hari.

4 dari 4 halaman

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah

Bulan lalu, sebanyak dua ribu ton sampah dari TPA Rawa Kucing diklaim akan dikelola jadi tenaga listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS) ini bakal jadi pasokan Jawa dan Bali hingga 40 megawatt.

"Program kerja sama seperti ini memang sudah lama dirintis, mulai hari ini diresmikan untuk dimulai. Harapannya kerja sama ini lancar, sebab kita lihat sekarang, sudah parah kondisi sampah ini, di mana-mana sudah krisis sampah, kita harap bisa membantu mengatasinya," ujar Direktur Utama PT Oligo Infrastruktur Indonesia Agung Dipo, Senin, 2 September 2024, lapor kanal News Liputan6.com.

Diketahui, sampah yang masuk ke TPA Rawa Kucing per harinya bisa mencapai 1.800 hingga 1.900 ton per hari. Direktur PT Oligo Infrastruktur Indonesia Bobby Roning menjelaskan, pada tahap awal, pihaknya akan melakukan penataan di TPA Rawa Kucing, lalu melakukan pemilahan sampah.

"Sampah akan di-treatment dulu di sini, setelahnya kita mobilitas ke Jatiuwung, karena di sini enggak bisa bangun pabrik. Alasannya, dekat bandara, sementara untuk membangun pembangkit ada aturan ketinggian bangunan yang lumayan dan itu sesuai dengan aturan," papar Bobby.

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah ini rencananya akan berdiri sekitar tahun 2026 hingga 2027 di kawasan Jatiuwung. Bobby mengatakan, dengan masa kontrak operasional hingga 25 tahun ke depan, fasilitas itu akan dihibahkan ke Pemkot Tangerang.