Sukses

2 Masalah Kesehatan Mental yang Paling Banyak Dialami Gen Z

Kesehatan mental menjadi isu yang mulai dapat porsi perhatian lebih kalangan Gen Z.

Liputan6.com, Jakarta - Masalah kesehatan mental mulai dapat porsi lebih di kalangan Gen Z. Indikasinya terlihat dari aktifnya mereka mencari bantuan profesional saat merasa sudah tak tahan. Hal itu disampaikan oleh Karina Negara, chief physchologist dan cofounder KALM, platform penyedia layanan konsultasi psikologi online.

"Karena mereka (Gen Z) dapat support dari masyarakat. Sekarang informasi jaga kesehatan mental udah lebih banyak. Di zaman milenial awal, orangtua mereka mana ada anjuran merawat kesehatan mental," ujarnya beralasan kepada Liputan6.com, ditemui di sela-sela acara Maybelline Brave Together di UI Depok, Jumat, 28 Oktober 2022.

Kaum Gen Z, terutama yang berusia menjelang 20an atau 20an awal, disebutnya kini lebih nyaman mencari pertolongan. Meski begitu, masih ada yang malu karena stigma konsultasi psikologi kerap dikaitkan dengan 'sakit jiwa'.

"Tapi at least, dia konsul. Aku menganjurkan yang masih ragu karena terbelenggu stigma, do it anyway. Kan privat," sambungnya.

Dari sederet masalah yang dikeluhkan oleh para klien dari kalangan Gen Z, ada dua faktor pemicu utama. Karina menyebut masalah keluarga, khususnya terkait relasi antara anak dan orangtua, sebagai masalah pertama. "Entah itu susah komunikasi sama mama papanya, atau dituntut sesuatu yang membuat tertekan," imbuhnya.

Kedua adalah kecemasan akan masa depan. Manurut Karina, banyak Gen Z yang berpikir berlebihan tentang masa depan mereka. Literasi keuangan yang semakin merata, misalnya, bisa memicu mereka menetapkan target tertentu untuk dikejar pada usia tertentu. Padahal, itu bukan hal yang prioritas.

"Bukan enggak boleh memikirkan masa depan, tapi juga jangan overthinking. Hari ini memikirkan 10 tahun lagi, buat apa? Cemas itu wajar, asal kadarnya tepat," imbuh perempuan yang berpraktik sebagai psikolog klinis itu.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Masa 2 S

Merujuk pada teori psikologi, Karina mengatakan bahwa masa peralihan dari remaja ke dewasa muda adalah saat penting untuk mencari jati diri. Ia menyebutnya sebagai masa bereksplorasi yang bisa ditanggapi dengan dua S, yakni seru dan seram.

"Memang serem hadepin masa depan yang tidak pasti, yang blur... Tapi, jangan lupa ini saatnya eksplorasi diri. Ini aku cocok enggak ya. Daripada galau, selama sehat dan tidak merugikan siapa-siapa, coba aja," ujarnya di hadapan mahasiswa UI.

Ia menyadari bahwa banyak orang yang lebih mudah mengenali orang lain daripada dirinya sendiri. Ia pun berbagi tips untuk menemukan identitas sendiri.

"Orang lain gampang, tapi sama diri sendiri susah banget. Padahal, tanyain aja ke diri sendiri pertanyaan yang sama seperti kita mau kenal sama orang lain... Dimulai dari yang cetek-cetek dulu, seperti makanan favorit, minuman favorit," ia menjelaskan.

Selama masa eksplorasi berlangsung, perubahan juga akan terjadi. Ia mengingatkan bahwa hal itu normal bila memicu tekanan pada diri sendiri. "Perubahan bisa positif, bisa negatif.  Either way bisa menimbulkan tekanan dan berujung stres. Intinya, enggak apa-apa kalau berubah, terus stres, lalu capek. Itu wajar dan normal," ujarnya.

 

3 dari 4 halaman

Merawat Kesehatan Mental

Karena itu, ia mengingatkan pentingnya merawat kesehatan mental. Ada lima hal yang bisa dilakukan yang dirangkumnya sebagai BRAVE.

B diterjemahkan sebagai bangun kebiasaan positif. Bentuknya macam-macam sesuai kebutuhan jiwa dan raga. "Yang pasti orang butuh tidur, makan sehat, dan olahraga. Tinggal dibangun kebiasaannya," ujar Karina.

R diartikan sebagai rencanakan waktu istirahat. Ia mengingatkan bahwa tidur bukanlah pilihan, bukan pula reward karena badan memang tidak diciptakan untuk kurang tidur.

"Aku boleh tidur kalau sudah selesain tiga bab, misalnya. Itu bahaya karena mikir (tidur) itu enggak wajib. Rencanakan tidur jangan ngasal dan kurang," sambungnya.

A adalah afirmasi diri. Walau sebenarnya setiap individu berharap mendapat afirmasi dari orang lain, hal itu tidak bisa jadi pegangan. Afirmasi yang paling efektif adalah oleh diri sendiri. Di sini, ia meminta agar afirmasi diberikan secara realistis.

"Misalnya, abis gagal. Aku barusan gagal tapi bisa coba lagi. Enggak usah yang muluk-muluk. Enggak usah yang sempurna, karena tidak ada seorang pun yang sempurna," kata dia.

 

 

 

4 dari 4 halaman

2 Tips Lainnya

V adalah validasi emosi. Karina menyebut tidak semua terlahir mampu memvalidasi emosinya. "Idealnya, orangtua kita nunjukin cara memvalidasinya, tapi kan tidak semua begitu."

Cara termudah adalah dengan menggunakan format 'aku merasa...karena/tentang...' Validasi ini membuat seseorang bertambah kuat karena mampu mengakui perasaannya yang sebenarnya sambil mencari cara untuk memperbaiki situasi.

Terakhir adalah E, yakni ekspresikan kebaikan. Kesehatan mental itu, sambung dia, bisa dibangun dengan terhubung pada orang lain. Bentuknya bisa menolong orang, bersedekah, atau lainnya.

"Trust me, it's work. Tentunya ekspresikan kebaikannya dengan tulus ya. Kalau pura-pura ya dampaknya sebaliknya, fake," ucapnya.

Kalau pun seseorang memerlukan bantuan profesional, mereka bisa memanfaatkan layanan konsultasi yang lebih terjangkau, bahkan gratis melalui aplikasi dengan kode promo BRAVE 33-33-33-33. Pengguna tidak harus bertemu muka dengan konselornya, tetapi bisa berkonsultasi via chat.

"Chat konseling bikin orang yang tuna rungu ataupun tuna wicara bisa lebih mendapat akses. Tapi, bisa hybrid juga. Beberapa klienku ada yang hybrid. Dia bisa face to face, tapi selama menunggu jadwal itu, dia masih bisa chat aku," ia menjelaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.