Sukses

Gaya Preppy, Ketika Gen Z Justru Populerkan Pakaian Orang Tua

Popularitas tampilan preppy bahkan disebut mengancam menggulingkan streetwear yang mendominasi gaya anak muda selama satu dekade terakhir

Liputan6.com, Jakarta - Sepatu loafer, blazer, argyle, dan kemeja rugby sekilas mungkin terdengar seperti isi lemari para boomer. Tapi mengingat tren mode yang pada dasarnya berputar, sederet item ini justru diprediksi bakal jadi pilihan Generasi Z.

Tampilan preppy, melansir Guardian, Sabtu, 28 Agustus 2021, bahkan mengancam menggulingkan streetwear yang mendominasi gaya anak muda selama satu dekade terakhir. Situs penjualan kembali barang mewah The Real Real melaporkan bahwa penelusuran untuk merek Vetements dan Yeezy masing-masing turun 24 dan 25 persen.

Sementara penelusuran untuk merek pakaian rapi klasik Ralph Lauren naik 238 persen. Depop, aplikasi belanja sosial yang berbasis di London, mencatat peningkatan 57 persen dalam pencarian untuk "prep" atau "preppy" sejak Juni, dengan pencarian untuk Ralph Lauren naik 29 persen.

"Seiring tampilan streetwear 'klasik' dengan hoodie dan kaus grafis jadi begitu mainstream, ada kontradiksi di kalangan usia ini untuk bergaya lebih formal agar menonjol," kata peneliti tren budaya senior Depop, Michael Ford. "Sekarang Anda mungkin akan lebih biasa melihat Gen Z atau milenial dengan setelan jas yang dirancang dengan baik daripada tato di wajah mereka."

Preppy style nyatanya telah eksis sejak lebih dari 100 tahun lalu dan dilekatkan dengan mahasiswa perguruan tinggi Ivy League di Amerika Serikat. Tampilan ini mulai populer pada tahun 1960-an dan mencapai puncaknya pada awal 1980-an ketika buku terlaris Lisa Birnbach The Official Preppy Handbook memperkenalkan gaya hidup dan estetika untuk khalayak lebih luas.

Tahun ini, gaya preppy kembali menaiki tangga popularitas. Video Tik Tok dengan tagar #oldmonyeyaesthetic telah ditonton 33 juta kali,dengan favorit item meliputi rok lipit, argyle, dan kotak-kotak yang mendominasi. Namun, beberapa pembuat konten menyebut tren ini bermasalah karena dikaitkan dengan kelas penguasa kulit putih yang memiliki hak istimewa. 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dorongan Tren Preppy

Dorongan tren tampilan preppy juga tidak lepas dari berbagai tontonan rilisan tahun ini. Gossip Girl, yang berlatar di sebuah sekolah swasta di Manhattan, telah diluncurkan kembali untuk Gen Z. Karakter utamanya mengenakan blazer dan busana beraksen kotak-kotak.

Sementara, seri ketiga Sex Education akan hadir di Netflix bulan depan, dan menghadirkan gaya preppy khas Inggris. Kolaborasi dengan H&M, busananya termasuk staples preppy. Mereka telah dikerjakan ulang dalam siluet Gen Z dengan cropped polo shirt, celana kotak-kotak, dan rompi sweater longline yang jadi sorotan.

Berbicara tentang Gen Z dan pilihan busana, Vox mencatat bahwa mereka "tidak tahu dunia tanpa industri fast fashion." Pasalnya, mereka dilahirkan pada masa kejayaan industri mode tersebut. Dari tahun 2000 hingga 2014, harga rata-rata pakaian mengalami penurunan meski terjadi inflasi.

Kaum muda dikondisikan untuk menerima harga rendah sebagai norma. Beberapa bahkan mengandalkan biaya terjangkau ini untuk mengakses pakaian trendi.

3 dari 4 halaman

Tuntutan Lebih Berkelanjutan

Namun demikian, riset pemasaran dan survei telah menemukan bahwa sebagian besar konsumen muda justru peduli pada unsur keberlanjutan. Mereka adalah pengunjung dan pembeli barang bekas. Gen Z menginginkan komitmen serupa dari perusahaan tempat mereka membeli barang dan tidak takut menuntutnya.

Ini telah memicu narasi berulang bahwa gaya hidup ramah lingkungan Gen Z telah "membunuh" atau secara signifikan memperlambat ekspansi global fast fashion. Yang perlu digarisbawahi, ini adalah bagian dari industri berusia berabad-abad yang telah menyesuaikan diri dengan laju pertumbuhannya.

Pengecer besar berinvestasi dalam teknologi berkelanjutan untuk meningkatkan portofolio bisnis mereka. Sederet merek berjanji untuk lebih berkelanjutan dan banyak akal dalam kampanye publik. Namun, mereka tidak berjanji untuk memproduksi lebih sedikit.

Bahkan jika bahan dan tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi fesyen sedikit lebih baik, itu tidak banyak mengimbangi siklus konsumsi pakaian Gen Z. Kenyataannya, cengkeraman perusahaan mode cepat sulit dilepaskan, bahkan untuk generasi yang sangat sadar akan implikasi lingkungannya.

4 dari 4 halaman

Infografis Cara Kelola Masker COVID-19 Bekas Pakai

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.