Sukses

Mengelola Sampah Itu Mahal, tapi Mengapa Kita Enggan Bayar Lebih?

Setiap individu pasti menghasilkan sampah, tapi kebanyakan dari kita tidak mau bertanggung jawab.

Liputan6.com, Jakarta - Mengelola sampah membutuhkan usaha dan modal yang tak sedikit. Investasinya bisa mencapai ratusan miliar. Tak heran bila seorang pengusaha daur ulang sampah menyebut mengurusi sampah itu mahal.

"Ngurusin sampah itu mahal. Investasinya bisa sampai Rp600 miliar, gimana mau untung?" kata Yanto Widodo, Dewan Direktur Namasindo Plas, dalam rangkaian Program Pelatihan Jurnalis dan Mahasiswa dalam Pengelolaan Sampah dan Ekonomi Sirkular, Kamis, 8 Juli 2021.

Perusahaan yang dipimpinnya bergerak di bidang daur ulang sampah botol PET, selain juga memproduksi galon dan tutup botol kemasan. Ia merintisnya sejak 2007 lalu bersama Danone Aqua. Menurut Yanto, investasi terbesar adalah infrastruktur. Mesin-mesin untuk mencacah, memilah, dan mengolah botol PET bekas masih harus didatangkan dari luar negeri, khususnya Eropa.

Modal terbesar lainnya adalah penyediaan bahan baku. Meski sampah botol PET banyak dihasilkan di Indonesia, tak semua layak untuk didaur ulang sebagai botol kemasan air minum.

Data KLHK menyebut sekitar empat juta ton sampah botol plastik tercecer di lingkungan karena tidak dikelola dengan baik. Botol bekas yang tersedia banyak yang tercampur dengan sampah lain, terutama sampah organik. Kualitasnya turun drastis kalau sudah demikian.

Mau tak mau, ia menyiapkan rantai pasok mandiri. Ia menggandeng para pemulung yang kini jumlahnya mencapai 20 ribu orang untuk terlibat dalam penyediaan bahan baku. Botol plastik bekas yang disetor, dihargai lebih tinggi dari kompetitor. Hal itu untuk memastikan agar sampah botol sebagai bahan baku dijual ke pabriknya.

"Namanya pemulung, beda Rp100--Rp200 saja mereka sudah mau berikan ke kita," ujar Yanto.

Loyalitas para pemulung juga dibangun dengan menyediakan benefit lain. Masih bersama perusahaan air itu, para pemulung yang disebut sebagai pelestari itu diberi kesempatan mendapatkan BPJS Kesehatan, fasilitas negara yang selama ini sulit dijangkau. Mereka juga diajari keterampilan mengelola keuangan agar pendapatan mereka bisa membantu meningkatkan kesejahteraan.

Tapi, semua itu belum cukup untuk membuat bisnis daur ulang sampah menguntungkan. Banyak hal yang harus dibenahi, baik dari sisi dukungan pemerintah maupun peran serta masyarakat luas. Apa saja?

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Masih Anggap Sepele

Menurut Yanto, edukasi tentang sampah kepada masyarakat masih minim. Banyak individu tidak paham pentingnya memilah sampah dari rumah. Padahal, setiap individu wajib bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya sendiri.

"Di luar negeri, masyarakatnya support penggunaan bahan daur ulang. Orang Indonesia malah takut sakit perut, padahal ngolah bahan daur ulang jadi kemasan food grade itu kan lewati tahapan yang ketat," sambung dia.

Belum lagi paradigma pengolahan sampah kebanyakan orang Indonesia yang masih linear, yakni beli-pakai-buang. Padahal, konsep ekonomi maju yang berkembang saat ini adalah ekonomi sirkular yang meniru cara alam mendaur ulang sumber daya yang ada.

Menurut Emenda Sembiring, ahli lingkungan dari Faktultas Teknologi Lingkungan ITB, hal itu dipengaruhi pola pikir lama, yakni menganggap semua sampah negatif sehingga harus langsung dibuang dengan cara secepat mungkin. Padahal, ilmu dan teknologi sudah berkembang sedemikian rupa sehingga sampah sebenarnya bisa dimanfaatkan kembali.

"Teknologi sekarang sebenarnya sudah advance. Walaupun secara objektif tidak ada yang totally seratus persen ramah lingkungan, tapi dampaknya bisa ditekan menjadi yang paling minimal," kata dia.

Kalau pun sudah paham, masih ada tantangan psikologi yang harus dibenahi. Wakil Kepala Departement Teknik Sipil UI, Cindy Rianti Priadi menerangkan, banyak individu yang tidak ingin mengambil tanggung jawab atas sampah yang diproduksinya. Hal itu bisa dilihat dari malasnya warga memilah sampah dan minimnya biaya retribusi yang bersedia dikeluarkan per rumah tangga.

"Setiap rumah itu rata-rata hanya bayar Rp50 ribu. Yang udah kaya saja bayar paling tinggi hanya Rp100 ribu. Yang tertindas itu akhirnya tukang angkut sampah, padahal pekerjaannya lumayan berat," ucap Cindy. Ditambah, alokasi anggaran pemerintah terkait penanganan sampah mendapat jatah kecil dan tidak seragam.

Pendapat itu diamini oleh Karyanto Wibowo, Sustainability Development Diretor Danone Indonesia. Ia menyebut meski kesadaran masyarakat terkait lingkungan cukup tinggi, eksekusinya masih jadi tantangan. Masyarakat masih andalkan pemerintah atau produsen untuk mengatasi masalah ini.

"Tapi, sudah ada perkembangan untuk buat mereka lebih dari sekadar aware, tapi lebih aware to consider," ujarnya.

 

3 dari 4 halaman

Jebakan Harga Murah

Di sisi lain, dukungan pemerintah terhadap penerapan gaya hidup ramah lingkungan masih setengah hati. Perangkat hukum yang ada belum dibarengi insentif yang realistis dan penegakan hukum yang tegas. Salah satunya soal pajak. 

"Perusahaan kita bayar PPN 10 persen, padahal kita beli ke pemulung enggak pake pajak. NPWP saja mereka enggak punya. Kita malah urusin lingkungan di negara kita, harusnya kan dikurangi pajaknya," sahut Yanto.

Sementara, apresiasi yang diberikan pemerintah terhadap perusahaan yang peduli terhadap lingkungan masih sebatas award. Dampaknya tidak besar terhadap pengurangan biaya operasional dibandingkan bila pemerintah memberikan insentif keuangan atau kebijakan yang mempermudah akses terhadap bahan baku dan aktivitas yang mendukung industri hijau.

"Kami sadar membuat undang-undang seperti itu tidak gampang, tapi tantangan membuat ekosistem agar bahan baku tersedia secara kontinu juga butuh dukungan nyata. Kami butuh policy yang kondusif, beyond dari penghargaan, yang lebih membumi dan membuat industri tumbuh dan berkembang," imbuh Karyanto.

Ia juga menyinggung soal penegakan hukum yang lebih tegas. Selama ini ia menilai pemerintah tidak membedakan perlakuan kepada perusahaan yang bertanggung jawab dan tidak bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya. Bahkan, perusahaan yang mencemari lingkungan tetap bisa beroperasi tanpa ada sanksi yang jelas.

Padahal, pemerintah bisa membantu membuat ekosistem yang lebih baik. Founder Waste4Change, Bijaksana Junerosano mengusulkan agar ada labeling khusus sebagai pembeda produk yang dijual sudah penuhi asas ramah lingkungan dan yang tidak. Dengan demikian, persaingan bisa dibuat seimbang.

"Konsumen cenderung pilih harga murah, itu naluriah. Enggak bisa dihindari. Tapi, kita harus edukasi bahwasanya memilih yang harganya lebih mahal, dampaknya positif untuk banyak hal," kata Sano. 

"Labeling jadi salah satu yang penting, dan ini peran pemerintah. Penegakan hukum juga jadi penting. Jangan sampai yang berbuat tidak baik dibiarkan, itu hanya akan membuat persaingan tidak fair," ia menambahkan.

4 dari 4 halaman

Timbulan Sampah Sebelum dan Sesudah Pandemi

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.