Sukses

Goro-Goro: Mahabarata 2, Kritik Menggelitik Teater Koma Lewat Kisah Padi

Goro-Goro: Mahabarata 2 menjadi produksi Teater Koma ke-158. Penonton dimanjakan dengan visual yang menawan. Tapi, apakah kritikannya masih relevan?

Liputan6.com, Jakarta - Teater Koma kembali pentas. Masih setia dengan isu sosial, lakon yang diangkat bertajuk Goro-Goro Mahabarata 2. Yang duduk di kursi sutradara sekaligus penulis naskah juga nama yang sama, Nano Riantiarno.

Kisah yang diangkat dalam produksi ke-158 itu adalah tentang padi. Tanaman yang menjadi sumber makanan pokok nyaris semua orang Indonesia itu diolah menjadi bahan kritik sosial yang menggelitik. Liputan6.com berkesempatan menyaksikan penampilan para aktor Teater Koma pada Rabu malam, 24 Juli 2019.

Misalnya saja saat Togog berunding dengan Prabu Bukbangkalan, raja raksasa dari Kerajaan Sonyantaka. Kala itu, anak buah raja yang merupakan para prajurit raksasa wanita mengadu makin sulit mendapatkan makanan.

Mereka harus mengejar buruan makin dalam ke hutan. Itu berarti waktu yang dibutuhkan untuk bisa makan semakin panjang.

Sang raja putar akal demi menenangkan anak buahnya yang kelaparan. Ia mendengar ada tanaman yang bisa mengenyangkan di Kerajaan Medangkamulyan. Para bawahannya yang mendengar itu kemudian mendesak raja mereka agar segera menyerang negeri tetangga.

Namun, Bukbangkalan tak ingin buru-buru. Ia lalu meminta nasihat Togog. Pihak yang dimintai nasihat menjelaskan, tanaman yang dimaksud bernama padi. Itu diturunkan sebagai berkah dari kahyangan untuk masyarakat Medangkamulyan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Mau Instan Saja

Mendengar informasi itu, Bukbangkalan naik darah. Ia merasa didiskriminasi karena tak mendapat berkah tersebut. Togog segera menenangkan dengan mengatakan akan meminta benih padi agar bisa ditanam di tanah Sonyantaka.

Solusi yang ditawarkan malah membuat Bukbangkalan makin murka. Ia merasa dirinya lebih tinggi hingga tak pantas meminta pada Medangkamulyan.

"Minta? Memang Kami peminta-minta?" serunya sambil terus dipanasi oleh anak buahnya.

Togog berusaha meyakinkan. Ia menyatakan padi akan menghasilkan bila dipelihara dengan penuh cinta. Semua itu butuh proses panjang agar bisa menghasilkan secara berkelanjutan.

Tapi, nasihat Togog dianggap angin lalu. Bukbangkalan justru semakin mantap untuk segera menyerang negeri tetangga setelah anak buah Togog, Bilung, ikut bersuara. Bak penjilat, ia memuji ide sang raja.

Bukbangkalan yakin bisa menang karena ia punya prajurit puluhan ribu. Mereka terbukti terlatih pula. Otaknya tak memikirkan efek jangka panjang, yang penting bisa cepat menghasilkan. Tinggallah Togog gigit jari.

3 dari 3 halaman

Dimanjakan Artistik

Itu baru cerita satu babak saja. Masih banyak babak lainnya yang sarat kritik sosial menggelitik. Termasuk di dalamnya saat Punakawan menyindir rakyat yang kerjanya mengeluh dan memprotes penguasa walau si penguasa sudah bekerja keras.

Dalam bawah sadar, penonton pun tahu dukungan mengarah pada siapa. Isu yang masih hot, walau sebenarnya telah lewat karena ketegangan politik sudah mereda saat pentas berlangsung.

Di luar narasi, penonton dimanjakan dengan penampilan artistik panggung. Tata cahaya, multimedia, permainan grafis yang digawangi Idries Pulungan, Deray Setyadi, dan Deden Bulqini itu sangat mendukung terbangunnya suasana.

Contohnya saat Dewi Srinandi beradegan terbang. Latar pun seketika menampilkan gambar langit yang dipenuhi awan putih. Dalam adegan berbeda, latar menampilkan gambar taman yang diperindah dengan air terjun. Meski tahu hanya grafik, tetap saja terkesan nyata.

Tak hanya panggung, penampilan para pemain juga atraktif. Kostum yang dikenakan tokoh Batara Guru paling tak terlupakan. Diperankan oleh aktor Slamet Rahardjo, tokoh itu digambarkan bertangan empat dengan kostum keemasan lengkap dengan jubah menjuntai hingga ke lantai.

Gebrakan lainnya adalah menggunakan lampu warna-warni melengkapi busana. Dengan begitu, meski ceritanya soal kerajaan zaman lampau, kesannya modern tetap terasa.

Riasan para pemain juga terlihat atraktif. Mampu menonjolkan beragam karakter yang dimainkan.

Pentas Goro-Goro: Mahabarata 2 ini masih berlangsung setiap hari hingga 4 Agustus 2019, setiap pukul 19.30 WIB, kecuali Minggu, 28 Juli 2019, dan 4 Agustus 2019, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Bravo Teater Koma!

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.