Sukses

Mengenal Metode Rukyatul Hilal yang Digunakan NU untuk Menentukan 1 Syawal atau Idul Fitri

Mengenal Metode Rukyatul Hilal yang Digunakan NU untuk Menentukan 1 Syawal atau Idul Fitri

Liputan6.com, Jakarta - Menjelang Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, atau awal bulan Hijriyah lainnya, masyarakat Indonesia kerap disuguhi perbedaan hari dan tanggalnya.

Pun dengan Hari Raya Idul Fitri 1444 H ini. Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri jatuh pada Jumat, 21 April 2023. Muhammadiyah menentukan awal bulan dengan metode hisab.

Sementara, pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU) belum menentukan lantaran mesti menunggu rukyatul hilal. Setelah rukyatul hilal, baru kemudian pemerintah dan sejumlah pihak lainnya melakukan sidang isbat untuk menentukan 1 Syawal.

Mengutip penjelasan Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Pengajar Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo, sejak dulu NU menetapkan bahwa awal bulan hijriah, termasuk Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha ditentukan dengan metode rukyatul hilal.

Merujuk Almaghfurlah KH A. Ghazalie Masroeri, bukan berarti NU tidak melakukan hisab. NU juga melakukan metode hisab, tetapi bukan keputusan akhir. Karena menurut KH Ghazalie Masroeri, metode hisab hanya bersifat prediktif.

"Penentuan awal bulan Hijriyyah yang dipedomani Nahdlatul Ulama (termasuk di dalamnya penentuan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri/Idul Adha) adalah berdasarkan rukyah hilal sebagai ibadah yang bersifat fardhu kifayah. Merujuk keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU dan Muktamar NU sejak 1954 hingga 2021 Miladiyah," demikian dikutip dari Seputar Penentuan Idul Fitri 1444 H dalam Pandangan Nahdlatul Ulama yang dikeluarkan Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU), seperti dikutip NU Online, Selasa (18/4/2023).

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

4 Ketentuan Metode Rukyatul Hilal

Ada empat ketentuan yang NU terapkan dalam menggunakan metode rukyatul hilal. Sebagai berikut.

1. Jika hilal di bawah ufuk

Jika hilal masih di bawah ufuk atau minus di bawah 0 derajat, maka rukyah tidak lagi berlaku fardu kifayah. Hal ini mengingat hilal tidak mungkin dapat dilihat karena posisinya berada di bawah ufuk. Dengan begitu, secara otomatis berlaku istikmal, yaitu bulan sebelumnya digenapkan menjadi 30 hari.

"Apabila hilal berada di bawah ufuk berdasarkan minimal lima metode falak yang qath’iy, maka rukyah hilal tidak bersifat fardhu kifayah dan keputusannya adalah istikmal," tulis poin pertama (a) dalam Seputar Penentuan Idul Fitri 1444 H.

2. Jika hilal teramati

Jika hilal dapat teramati dengan posisinya yang sudah mencapai kriteria imkan rukyah (visibilitas hilal, kemungkinan hilal bisa teramati) yang dipedomani oleh NU, maka kesaksian perukyat tersebut dapat diterima. Dengan begitu, bulan berlaku isbat. Artinya, bulan hanya berumur 29 hari dan esoknya sudah mulai bulan baru.

"Apabila hilal terukyah bil fi’li dan posisinya telah melebihi kriteria imkan rukyah Nahdlatul Ulama berdasarkan minimal lima metode falak yang qath’iy, maka kesaksian diterima dan berlaku isbat," lanjut poin kedua (b).

3 dari 3 halaman

3. Jika hilal melebihi kriteria imkan rukyah

Jika hilal telah melebihi kriteria imkan rukyah yang dipedomani NU, tetapi hilal tidak teramati di seluruh titik di Indonesia, maka berlaku istikmal. "Serupa dengan butir (b) di atas namun apabila hilal tidak terukyah bil fi’li maka berlaku istikmal," lanjut poin ketiga (c).

4. Jika hilal sudah tinggi

Jika hilal sudah sangat tinggi, tetapi tidak teramati, secara hukum mestinya istikmal. Namun, jika berlaku istikmal akan berpotensi mengakibatkan umur bulan berikutnya hanya 28 hari. Karenanya, jika terjadi kondisi demikian, maka berlaku peniadaan istikmal, meskipun hilal tidak terlihat.

"Apabila posisi hilal telah demikian tinggi berdasarkan minimal lima metode falak yang qath’iy, tetapi tidak terukyah, sedangkan bulan Hijriah berikutnya berpotensi terpotong menjadi tinggal 28 hari apabila terjadi istikmal, maka berlaku nafyul ikmal (diabaikannya istikmal),"

lanjut poin keempat (d). Adapun kriteria imkan rukyah NU yang dipedomani pada saat ini adalah 3 derajat untuk tinggi hilal mar’ie dan 6,4 derajat untuk elongasi hilal hakiki yang berlaku wilayatul hukmi (wilayah hukum) Indonesia.

"Kriteria imkan rukyah Nahdlatul Ulama yang dipedomani Nahdlatul Ulama pada saat ini: tinggi hilal mar’ie minimal 3 derajat dan elongasi hilal haqiqy minimal 6,4 derajat yang berlaku wilayatul hukmi Indonesia," demikian bunyi penjelasan itu. (Sumber: nu.or.id)

Tim Rembulan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.