Sukses

Kisah Romantis Sultan Riau Hadiahkan Pulau Penyengat untuk Istrinya

Salah satu kisah yang melegenda adalah bahwa Pulau Penyengat merupakan hadiah pernikahan dari Sultan Mahmud kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah pada tahun 1805

Liputan6.com, Jakarta - Budaya Melayu begitu berpengaruh dalam khazanah budaya di Indonesia. Bahkan, bahasa Indonesia yang digunakan saat ini adalah rumpun bahasa Melayu, sebagaimana digunakan di negeri jiran, Malaysia, Singapura, sejumlah negara lain di Asean.

Sejarah budaya Melayu tak lepas dari salah satu pulau di Indonesia, yaitu Pulau Penyengat. Pulau Penyengat berada di Provinsi Kepulauan Riau.

Nama Penyengat tentu tidak asing apabila mengingat sejarah kejayaan Melayu-Riau dahulu. Dalam cerita lokal, Penyengat berawal dari kisah seorang pelaut yang disengat lebah pada saat mengambil air di pulau ini sehingga disebutlah Pulau Penyengat.

Orang Belanda sendiri menjuluki pulau ini sebagai Pulau Indera dan Pulau Mars sehingga Pulau Penyengat dikenal juga sebagai Penyengat Inderasakti.

Salah satu kisah yang melegenda adalah bahwa Pulau Penyengat merupakan hadiah pernikahan dari Sultan Mahmud kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah pada tahun 1805. Pada masa Sultan Mahmud mulailah dibangun permukiman yang berada di pulau ini.

Sebelum diberikan sebagai hadiah, Sultan Mahmud sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV membangun beberapa benteng diantaranya ialah Benteng Bukit Kursi untuk melindungi dari serangan Belanda. Tentunya pemberian pulau ini sebagai hadiah menarik perhatian sehingga Yang Dipertuan Muda Jaafar (1806-1832) memindahkan tempat kedudukannya di Ulu Riau (Pulau Bintan) ke Penyengat, sedangkan Sultan Mahmud pindah ke Daik-Lingga.

Pemindahan pusat kekuasaan ke Penyengat tentu tidak terlepas dari posisi geografisnya di jalur perdagangan. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi pertahanan yang cukup kuat untuk menghadapi musuh yang ingin menguasai Pulau Penyengat.

Selain itu didirikan pulau masjid raya di pulau tersebut. Kini masjid tersebut dikenal dengan nama Masjid Raya Sultan Riau. Konon, masjid ini dibuat dari putih telur.

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Masjid Dibangun dari Putih Telur, Mitos atau Fakta?

Kemegahan Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat menyimpan sejuta cerita dan sejarah kejayaan di masa lalu. Menurut catatan Raja Hamzah Yunus, sejarawan Pulau Penyengat, masjid pertama kali terbuat dari kayu.

"Pada masa itu, Raja Jakfar Yang Dipertuan Muda VI diperintahkan untuk menjadi Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat awalnya di Pulau Bayan pindah ke Pulau Penyengat untuk membantu adiknya yaitu Raja Hamidah. Pada masa Raja Jakfar itulah dilakukan perluasan karena (penduduk) semakin banyak," kata Nurfatilla, interpreter Pokdarwis di Pulau Penyengat, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu.

 Sementara masjid beton yang saat ini berdiri kokoh dan terselip kisah tersendiri. Pada masa Yang Dipertuan Muda VII yaitu Raja Abdurrahman tepat pada 1 Syawal 1832, Raja Abdul Rahman mengumumkan mengajak seluruh masyarakat untuk saling bergotong royong membangun masjid.

"Raja Abdurrahman ikut turun dalam pembangunan masjid. Ada berita beredar, masjid dari putih telur. Pada masa pembangunan tidak ada perencanaan untuk penggunaan putih telur," lanjut Tilla, begitu ia akrab disapa.

Lewat cerita yang berkembang di masyarakat, banyak penduduk dari luar dan dalam Pulau Penyengat yang menyumbangkan telur untuk makan para pekerja.

"Saking banyak, jadi pekerja India yang didatangkan dari Singapura mereka bilang kalau di tempat (mereka) putih telur bisa dijadikan bahan perekat bangunan jadi berkembang seperti itu," ungkap Tilla.

 

Di dalam kompleks Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat juga terdapat dua balai yang biasanya digunakan sebagai tempat bermusyawarah. Ada pula dua bangunan lain.

"Kita menyebutnya rumah sotoh atau rumah terbuka fungsinya sebagai tempat belajar masyarakat. Pihak kerajaan mendatangkan syekh, ustad untuk mengajarkan kepada masyarakat. Di sebelah itu untuk peristirahatan sementara para musafir," katanya.

Selain itu, ada pula tempat wudhu wanita yang oleh warga sekitar disebut sebagai kulah atau kolam kecil. Dahulu, saat wudhu langsung mengambil air dari kolam tersebut.

"Kulah ini dalam agama Islam, Rasulullah pernah bersabda, jikalau air terdapat dua kulah berarti tidak mengandung najis. Maksudnya, apabila terkena najis itu kalau dua kulah dia tidak akan mengubah karakter air baik warna, bau, dan rasa. Menurut ahli fikih, dua kulah itu sama dengan 270 liter air," terangnya.

Tim Rembulan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.