Sukses

Kemenkes Sebut 2 Kelompok Masyarakat Ini Paling Sensitif Terpapar Polusi Udara

Terdapat dua kelompok masyarakat yang paling sensitif terpapar polusi udara.

Liputan6.com, Jakarta - Paparan polusi udara di Jakarta dan sekitarnya yang belakangan ini memburuk dapat membuat siapa saja terganggu kesehatannya. Permasalahan kesehatan seperti gejala batuk dan sesak napas juga mulai banyak dikeluhkan warga.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) Mohammad Syahril mengungkapkan, ada dua kelompok masyarakat yang paling sensitif terdampak polusi udara, yakni mereka yang mempunyai riwayat penyakit tertentu.

"Nah, memang yang terbanyak itu saluran napas. Karena dia diisap kan ya. Ini berbahaya, satu bagi orang sensitif. Yaitu pertama, orang yang asma," ungkap Syahril saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Selasa, 15 Agustus 2023.

"Dia orang sensitif kan ya, kena debu dikit, panas dingin itu sangat cepat terjadi dialami mereka semua."

Punya Riwayat Pernapasan Kronik

Kelompok masyarakat selanjutnya adalah mereka yang mempunyai riwayat pernapasan kronik.

"Kedua, gangguan pada orang-orang yang punya riwayat pernapasan kronik ya yang disebut dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik atau PPOK," terang Syahril.

"PPOK itu sehari-hari aja udah susah napas karena keterbatasan, apalagi kena polusi udara."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Termasuk Penyakit Respirasi Penyebab Kematian

Polusi udara menjadi masalah lingkungan yang berdampak pada kesehatan manusia. Sebab, ada sejumlah penyakit respirasi yang diakibatkan polusi udara dengan prevalensi tinggi.

Berdasarkan data Global Burden Diseases 2019 Diseases and Injuries Collaborators, ada 5 penyakit respirasi penyebab kematian tertinggi di dunia, yakni Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), pneumonia, kanker paru, tuberkulosis, dan asma.

Dari data tersebut menunjukkan, PPOK memiliki jumlah 209 kejadian dengan 3,2 juta kematian, pneumonia 6.300 kejadian dengan 2,6 juta kematian, kanker paru 29 kejadian dengan 1,8 juta kematian.

Kemudian tuberkulosis (TB) 109 kejadian dengan 1,2 juta kematian, dan asma 477 kejadian dengan 455.000 kematian.

3 dari 4 halaman

Asma dan PPOK di Indonesia

Di Indonesia, dari 10 penyakit dengan kasus terbanyak per 100.000 penduduk, 4 di antaranya merupakan penyakit respirasi.

Merujuk data Kementerian Kesehatan RI per April 2023, PPOK ada 145 kejadian dengan 78,3 ribu kematian, kanker paru 18 kejadian dengan 28,6 ribu kematian, pneumonia 5.900 kejadian dengan 52,5 ribu kematian, dan asma 504 kejadian dengan 27,6 ribu kematian.

Tak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, penyakit respirasi juga memberikan tekanan pada anggaran BPJS Kesehatan untuk menanggung biaya pengobatan penyakit akibat polusi udara.

Faktor risiko polusi udara terhadap penyakit respirasi ini pun cukup tinggi. PPOK memiliki risiko 36,6 persen, pneumonia 32 persen, asma 27,95 persen, kanker paru 12,5 persen, dan tuberkulosis 12,2 persen.

4 dari 4 halaman

Polusi Udara Sebabkan Kematian

Guru Besar FKUI sekaligus Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Tjandra Yoga Aditama menuliskan bahaya polusi udara yang dapat berujung kematian.

"Organisasi Kesehatan Dunia WHO menyampaikan data sebelum era COVID-19, yaitu di tahun 2019, polusi udara berhubungan dengan 6,7 kematian di tahun 2019 di dunia," tulis Tjandra melalui pesan singkat kepada Health Liputan6.com, Rabu (16/8/2023).

"Dari 6,7 juta itu, polusi udara ambien (luar ruangan/outdoor) diperkirakan oleh WHO menyebabkan 4,2 juta kematian pada 2019, dan sisanya karena polusi udara dalam ruangan (indoor)."

WHO secara tegas menyebutkan, bahwa air pollution is one of the greatest environmental risk to health.

"Dengan menurunkan kadar polusi udara maka negara-negara di dunia (termasuk Indonesia tentunya) akan dapat menurunkan beban penyakit (burden of disease) dari penyakit-penyakit stroke, gangguan jantung, kanker paru serta penyakit paru dan pernapasan akut dan kronik," jelas Tjandra.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.