Sukses

Mandatory Spending Hilang di UU Kesehatan Baru, Menkes Budi: Spending Besar Tak Jamin Makin Sehat

RUU Kesehatan sah jadi Undang-Undang Kesehatan baru. Sejumlah pihak masih tidak setuju dengan besaran anggaran kesehatan atau mandatory spending yang tidak dicantumkan lagi batas standarnya dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru.

Liputan6.com, Jakarta Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) disahkan menjadi Undang-Undang Kesehatan hari ini, Selasa, 11 Juli 2023. Ini artinya mandatory spending atau besaran anggaran kesehatan sebesar 10 persen dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan resmi hilang.

Sejumlah pihak masih tidak setuju dengan besaran anggaran kesehatan yang tidak dicantumkan lagi batas standarnya.

Menanggapi hal ini, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa seharusnya tidak memfokuskan diri pada mandatory spending. Sebaliknya, yang perlu menjadi perhatian adalah fokus ke hasil (output). 

“Fokusnya jangan ke spending, fokusnya harus ke program, ke hasilnya. Jangan ke input, tapi ke output, itu yang ingin kita didik ke masyarakat,” terang Budi Gunadi usai Rapat Paripurna di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa, 11 Juli 2023.

Fokus terhadap output ini, Budi Gunadi melihat besaran anggaran kesehatan terhadap rata-rata usia hidup di beberapa negara di dunia. 

“Kita mempelajari di seluruh dunia mengenai spending kesehatan. Negara paling besar spending-nya tuh Amerika. Kenapa orang spend buat kesehatan? Ingin sehat, kenapa ingin sehat?” jelas Budi Gunadi.

“Karena enggak mau meninggalnya cepat. Di Amerika rata-rata usia hidup 80 tahun. Jadi rata-rata usia hidup itu dipakai sebagai patokan.”

Selanjutnya, bandingkan dengan Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang termasuk tinggi rata-rata usia hidupnya 80-an tahun. Spending ketiga ini justru di bawah Amerika. 

“Apa yang kita pelajari dari situ? Satu, besarnya spending tidak menentukan kualitas dari outcome (dampak/manfaat),” terang Budi Gunadi.

“Tidak ada data yang membuktikan semakin besar spending, derajat kesehatannya makin baik.” 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tidak Transparan

Kedua, ini membuktikan sistem kesehatan di seluruh negara, menurut Budi Gunadi yang mengutip pernyataan seorang ahli, bahwa mandatory spending itu sangat tidak transparan. 

“Orang misalnya disunat di Puskesmas, biayanya berapa? Dia sudah ke RSUD berapa kali? Kita enggak tahu,” jelas Menkes.

“Dia disunat di RS Vertikal Kemenkes berapa kali, kita enggak bisa jawab. Jadi berbeda dengan banyak industri lain, sektor lain, di kesehatan tidak begitu. Akibatnya terjadi seperti tadi, orang yang spend 10 ribu dollar, outcomenya sama dengan yang spend 2000 dollar."

 

3 dari 3 halaman

Forum Guru Besar: Ini Tidak Sesuai dengan Amanah Abuja Declaration WHO

Persoalan mandatory spending juga disorot Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP). Sejumlah guru besar melayangkan petisi pengesahan RUU Kesehatan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPR RI Puan Maharani.

Pemerintah beranggapan, penghapusan bertujuan agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, tetapi berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah. Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal.

Namun, FGBLP mengatakan penghilangan pasal justru tidak sesuai dengan amanah Abuja Declaration WHO.

"Hilangnya pasal terkait mandatory spending yang tidak sesuai dengan amanah Abuja Declaration WHO dan TAP MP RI X/MPR/2001," kata perwakilan FGBLP Laila Nuranna Soedirman.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.