Sukses

Kasus Siswi TK di Mojokerto Diperkosa 3 Anak SD, Dampak Lain Ketika Edukasi Seks Dianggap Tabu

Adanya kasus 3 anak SD perkosa siswi TK di Mojokerto bukti edukasi seks adalah hal tabu harus dihapuskan

Liputan6.com, Jakarta - Kasus siswi TK di Mojokerto, Jawa Timur, yang diperkosa tiga anak SD berumur delapan tahun menimbulkan tanya.

Apakah tindak pemerkosaan terhadap siswi TK yang dilakukan anak usia segitu didasari nafsu layaknya orang dewasa?

Hal ini pun dijawab kriminolog sekaligus pemerhati anak dan keluarga, Haniva Hasna. Menurut dia di fase enam hingga 11 tahun, anak sudah memahami kenikmatan ketika organ intimnya mendapat rangsangan.

Bila tidak disertai dengan edukasi seks yang baik, kriminolog yang akrab disapa Iva ini, mengatakan, anak pun akan salah persepsi.

"Masalahnya saat ini adalah, orangtua merasa bahwa usia SD belum waktunya mendapatkan edukasi seksual. Tetapi karena anak-anak sudah memegang gadget, mereka sudah mendapatkan informasi tentang seksualitas dari internet dan berbagi informasi berbau seks antar teman," kata Iva kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks pada Minggu (22/1).

"Coba bayangkan, berapa lama anak menggunakan gawainya, apa saja yang sudah mereka dapatkan, siapa saja temannya, apa saja yang ditonton temannya sehingga ditularkan kepada teman yang lain," dia melanjutkan.

Informasi tentang pornografi saat ini sangat mudah tersebar serta sangat mudah untuk diakses.

Berbeda dengan zaman dahulu yang harus membeli buku atau majalah tertentu untuk menikmati bacaan atau gambar dewasa.

Dulu, perlu ada upaya, ada keberanian, ada niat bahkan ada biaya yang harus dikeluarkan, kesulitan melakukan penyimpanan, serta ada risiko rasa malu ketika ketahuan.

"Kalau sekarang, semua menjadi mudah. Anak-anak tinggal klik, semua terbuka.” Hal ini menjadi pendukung terjadinya kekerasan seksual di kalangan anak-anak," katanya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kurangnya Kedekatan dengan Keluarga

Iva, menjelaskan, faktor paling dominan yang membuat anak-anak berani melakukan tindakan menyimpang adalah kurangnya kedekatan dengan keluarga.

Orangtua tidak berhasil menyampaikan nilai dan norma sehingga anak-anak tidak paham bahwa perilaku mereka adalah sebuah penyimpangan.

"Komunikasi yang tidak baik juga menjadi pemicu perilaku menyimpang karena tidak ada kedekatan dan keterbukaan antara anak dan orangtua," katanya.

Padahal, keluarga adalah rem bagi anak dalam melakukan perilaku menyimpang. Ketika attachment atau keterikatan antara anak dan orangtua tidak ada, tidak ada lagi alasan yang membuat anak merasa tidak pantas melakukan penyimpangan.

3 dari 4 halaman

Peran Keluarga

Maka dari itu, keluarga memiliki peran besar dalam mendidik anak agar terhindar dari tindakan menyimpang. Beberapa hal yang bisa dilakukan keluarga adalah:

- Menjalin kedekatan, ketika kebutuhan kasih sayang terpenuhi, anak merasa disayang sehingga tidak menyalurkan kebutuhannya dengan perilaku negatif.

- Edukasi seksual, tujuannya adalah agar anak memahami batasan-batasan privasi mengenai tubuhnya sendiri maupun tubuh orang lain.

Pendidikan seks pada anak juga diperlukan agar anak bisa memahami dampak yang terjadi jika ia melewati batasan-batasan tersebut.

- Pantau penggunaan gawai atau ponsel pintar, perhatikan apa saja yang ditonton atau dimainkan, serta seberapa lama penggunaannya. Bantu manajemen waktu antara penggunaan gawai dan interaksi dengan lingkungan sekitar.

- Perhatikan peer group anak, apakah memberikan pengaruh positif atau negatif.

- Latih untuk melindungi diri dan berani menolak atas sikap yang tidak pantas baik yang dilakukan oleh orang terdekat maupun orang asing.

4 dari 4 halaman

Dampak Negatif Kekerasan Seksual pada Anak

Berbagai upaya pencegahan harus dilakukan mengingat dampak kekerasan seksual sangat serius.

Banyak dampak berbahaya yang ditimbulkan dari pelecehan seksual pada anak, yaitu dapat berpengaruh pada psikologis, fisik, dan sosialnya, antara lain:

- Anak menjadi pribadi yang tertutup dan tidak percaya diri

- Timbul perasaan bersalah, stres, bahkan depresi

- Timbul ketakutan atau fobia tertentu

- Mengidap gangguan traumatik pasca kejadian (PTSD)

- Susah makan dan tidur, mendapat mimpi buruk

- Terjangkit penyakit menular seksual

- Disfungsi seksual

- Tidak bersosialisasi dengan lingkungan luar

- Mudah merasa takut dan cemas berlebihan

- Prestasi akademik menjadi rendah dan masih banyak lagi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.