Sukses

Ada Ikan Buatan Laboratorium Pertama di Eropa, Seperti Apa?

Sebuah perusahaan di Jerman mencoba untuk mengatasi ketidakseimbangan antara permintaan masyarakat akan makanan laut dan ketersediaan makanan laut dari lautan dengan memproduksi ikan melalui budidaya.

Liputan6.com, Hamburg - Sebuah tim produksi makanan tengah bersiap untuk memproduksi gelombang pertama ikan buatan laboratorium di Eropa, tepatnya di kantor-kantor dekat utara Sungai Elbe Hamburg dan kantor lain di bawah kantor pusat Carlsberg Jerman.

Seperti dilansir dari The Guardian, Kamis (23/5/2024), di ruangan perusahaan Bluu Seafood penuh dengan orang-orang sibuk berjas lab, barisan beaker berukuran lebar, dan peralatan yang biasanya dilihat dalam film fiksi ilmiah, terlihat sebuah tangki 50 liter bioreaktor berisi sesuatu terlihat seperti minuman energi berwarna merah seperti warna buah ceri.

Cairan tersebut yang dikenal sebagai growth medium atau medium pertumbuhan kaya akan gula, mineral, asam amino, dan protein yang dirancang untuk memberikan dorongan yang diperlukan untuk sel-sel ikan yang ditambahkan ke dalamnya agar dapat berkembang berlipat ganda.

Tujuannya adalah suatu hari nanti produk yang dihasilkan akan dijual kepada pembeli, yang akan menjadi ikan sesungguhnya bukan pengganti berbasis tanaman sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan, karena tidak memerlukan pengurasan laut yang berlebihan.

"Dengan ikan yang dibudidayakan, Anda juga dapat mempertahankan manfaat gizi yang sama, seperti omega, tetapi tanpa kemungkinan alergen, mikroplastik, atau pencemaran lainnya," ungkap Seren Kell, manajer sains dan teknologi di Good Food Institute (GFI).

Ikan yang tumbuh di bioreaktor kemudian dicampur dengan bahan berbasis tanaman untuk membuat bakso ikan dan olahan ikan breaded fingers.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Singapura Sebagai Tujuan Pertama

Pada tahap awal ini, tujuan pertama perusahaan untuk produk ikan ini bukanlah restoran lokal tetapi untuk Singapura, sebuah negara di mana daging yang dibudidayakan sudah begitu terkenal sehingga bisa menjadi bahan obrolan dengan sopir taksi, kata pendiri Bluu Seafood dan ahli biologi kelautan, Sebastian Rakers.

"Ketika kami memberi tahu sopir taksi bahwa kami sedang membuat ikan yang dibudidayakan, ia berkata 'Saya tahu itu, itu adalah masa depan. Banyak koki ingin menaruh ikan-ikan itu di menu di sini," jelas Rakers.

Singapura bertekad untuk mengurangi ketergantungannya pada impor makanan. Ikan dan daging yang dibudidayakan di laboratorium merupakan bagian dari strategi nasional untuk memproduksi 30% makanan negara secara lokal dan berkelanjutan pada tahun 2030. Rencana tersebut "ada di mulut semua orang," ungkap Rakers.

Adapun ayam yang dibudidayakan di laboratorium sudah dapat ditemukan dalam jumlah terbatas di menu restoran di Singapura dan Amerika, dengan jenis daging lain yang diperkirakan bakal segera tersedia. Namun, sementara tren menunjukkan banyak orang beralih dari daging, manfaat kesehatan yang dirasakan dari ikan bisa menjadi keunggulan bagi produsen ikan yang dibudidayakan di laboratorium.

"Ikan memiliki banyak manfaat kesehatan," ungkap Kell.

"Tetapi ada kesadaran yang semakin meningkat mengenai produk-produk laut yang tidak berkelanjutan. Di Uni Eropa, tentu ada pertanyaan mengenai penurunan stok ikan, dan produk-produk laut yang dibudidayakan dapat diuntungkan dari hal tersebut,"

3 dari 4 halaman

Budidaya Ikan Ternyata Lebih Rumit

Sebuah laporan terbaru dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan, ada kesenjangan sebesar 28 juta ton antara seberapa banyak produk perikanan yang diinginkan oleh masyarakat dan apa yang dapat dipasok.

Salah satu tanda pencarian serius akan sumber produksi alternatif, tambah Kell, adalah sebuah proyek riset besar-besaran dari Uni Eropa yang disebut Feasts, yang didanai oleh program Horizon, yang mencakup penelitian ikan yang dibudidayakan dalam penawaran pendanaan terbarunya sebesar €7 juta (Rp122 miliar).

Jenis produk yang dibudidayakan di laboratorium juga akan memengaruhi, dengan jenis seperti bakso ikan, fish fingers, atau nuget menjadi pilihan yang lebih baik untuk mencapai pasar massal, kata Hanna Tuomisto, seorang profesor sistem pangan berkelanjutan di Universitas Helsinki dan Insitut Sumber Daya Alam Finlandia, yang mempelajari pertanian seluler.

Karena campuran sel-selnya, potongan daging dan ikan yang dibudidayakan di laboratorium secara keseluruhan lebih kompleks dan oleh karena itu lebih mahal untuk diproduksi.

"Sebuah nuget ayam, dengan sel-sel yang tidak terdiferensiasi, lebih mudah diproduksi daripada proses yang lebih rumit dan memakan waktu untuk memproduksi potongan daging atau ikan yang dibudidayakan secara keseluruhan yang membutuhkan sel-sel otot dan lemal," kata Tuomisto.

Keuntungan yang jelas dalam mengirimkan ikan yang diproduksi ke pasar dibandingkan dengan daging adalah celah harga yang potensialnya sempit antara produk yang dibudidayakan di laboratorium dan produk aslinya.

"Jika tujuan utamanya adalah mencocokkan harga produk hewan konvensional, maka celahnya lebih sempit misalnya untuk tuna dan salom (daripada ayam yang dibudidayakan)," kata Kell.'

Tahun lalu, sebuah menu yang memungkinkan para pelanggan mencoba ayam yang dibudidayakan di laboratorium di restoran Tiongkok Chilcano di Washington DC dibanderol dengan harga €70 (Rp1,2 juta), dibandingkan dengan ayam utuh organk panggan ala Peru seharga $44 (Rp755.000).

Di supermarket AS, satu pon ayam tradisional akan dikenakan biaya sekitar $4 (Rp65.000). Bluu Seafood memperkirakan satu porsi bakso ikannya akan berharga sekitar $20 (Rp325.000) di restoran, dibandingkan dengan $15 (Rp243.000) untuk versi biasa.

Celah harga bahkan lebih sempit untuk potongan salmon utuh, kata Justin Kolbeck, CEO dan salah satu pendiri Wildtype, produsen ikan budidaya yang berharap segera mendapatkan persetujuan penjualan dari otoritas regulasi AS.

“Salmon setidaknya seharga $10 (Rp162.550) [per pon] dan harga untuk salmon premium bisa melebihi $80 (Rp1,3 juta). Itu salah satu alasan saya pikir ekonomi berbeda untuk ikan yang dibudidayakan," ia menolak untuk memberikan detail tentang kemungkinan harga produknya.

4 dari 4 halaman

Minat Masyarakat dan Prospek Masa Depan

Salah satu faktor krusial dalam kesuksesan ikan yang dibudidayakan adalah minat masyarakat terhadapnya. 

Sebuah survei yang tidak ilmiah di sekitar Bluu Seafood di Hamburg menunjukkan bahwa tidak semua orang minat, meskipun sebagian besar bersikap positif terhadap produk ini.

"Ya, saya akan mencobanya, setidaknya sekali," kata seorang wanita berusia 20-an. Namun, lainnya mengatakan bahwa ia "tidak akan membayar ikan yang dibudidayakan di laboratorium jika harganya setengah harga," ia mengungkapkan kekhawatiran, yang mungkin tidak dapat diatasi bagi beberapa orang, yaitu sifat relatif yang belum diuji dari produk berbasis sel.

Sebuah studi konsumen yang lebih tepat pada taun 2023 di Jepang, konsumen produk laut terbesar kelima di dunia, menemukan sekitar 88% responden yang tidak bersedia membayar harga lebih tinggi untuk produk laut berbasis sel. 12% lainnya mengatakan mereka akan bersedia membayar lebih, dan 8% dari mereka mengatakan "akan membayar harga yang jauh lebih tinggi."

Mereka akan segera memiliki kesempatan untuk membuat pilihan tersebut dengan satu perusahaan yang berjanji akan mulai menjual belut yang dibudidayakan di laboratorium di Jepang pada tahun 2026.

Studi yang sama menemukan bahwa kesediaan untuk membayar lebih ditentukan oleh pemahaman atau tidak, tentang makanan yang dibudidayakan di laboratorium. Mereka yang sudah mengetahui makanan laut berbasis sel "lebih dari 14 kali lebih mungkin setuju untuk membayar harga lebih tinggi," ungkap studi tersebut.

Rakers mempertimbangkan kesadaran konsumen ketika ia memutuskan untuk meluncurkan produknya di Singapura, "Bagus untuk memiliki produk Anda di tempat di mana orang memahaminya, di mana orang siap membeli," katanya.

Namun, mungkin hanya kebaruan yang membuat orang bersedia mengeluarkan uang mereka pada awalnya. Seperti yang dikatakan Prof Tuomisto, "Saya mungkin akan membayar apa pun hanya untuk mencobanya."

Prospek produk bahwa suatu hari akan mengalahkan daging budidaya lainnya ke rak-rak supermarket itu tidak mustahil, kata Rakers, tetapi bukan karena alasan bahwa itu lebih baik untuk lautan, populasi ikan, dan bebas kontaminan.

"Hingga 70% jaringan yang hilang dapat sepenuhnya diregenerasi." Ikan-ikan itu bahkan bisa menumbuhkan organ dalam, katanya. Untuk dapat sepenuhnya meregenerasi, ikan perlu mereproduksi dan merekrut sel dengan cepat untuk menutupi luka. 

"Itu merupakan keuntungan nyata bagi kami. Berarti kita bisa mendapatkan lebih banyak sel yang diaktifkan lebih cepat. Kami berpikir kita bisa mencapai tingkat produksi sel ikan secara industri pada tahun 2026 dan 2027."

Karena sel yang diproduksi Rakers dan timnya akan dicampur dengan bumbu dan protein nabati lainnya untuk membuat olahan-olahan ikan, hasil volume makanan akan lebih tinggi daripada output sel.

Tetapi Rakers mengatakan tujuannya adalah untuk menjaga rasio sel ikan sebanyak mungkin, "Semakin kami menambah daging ikan yang dibudidayakan, semakin bersih daftar bahan kami. Ini bukan seperti ikan dari tanaman, di mana Anda harus mereplika ikan. Ini ikan sesungguhnya."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini