Sukses

Negara Berpendapatan Rendah Berpotensi Kehilangan Nutrisi Seafood Akibat Perubahan Iklim, Indonesia Terancam?

Penelitian terbaru ungkap negara-negara berpenghasilan rendah bisa mengalami penurunan hingga 30 persen dalam ketersediaan nutrisi dari makanan laut akibat perubahan iklim.

Liputan6.com, Jakarta - Menurut penelitian terbaru dari University of British Columbia, negara-negara berpenghasilan rendah bisa mengalami penurunan hingga 30 persen dalam ketersediaan nutrisi dari makanan laut akibat perubahan iklim di akhir abad ini.

Melansir dari Phys.org, Minggu (26/11/2023), hasil penelitian yang terbit di jurnal Nature Climate Change ini menunjukkan bahwa dalam skenario emisi karbon tinggi dan upaya mitigasi rendah. Penurunan ini dapat berkurang menjadi sekitar 10 persen jika dunia mampu mencapai target Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 hingga 2 derajat Celsius.

Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa target ini masih sulit untuk dicapai.

"Negara-negara berpendapatan rendah dan wilayah selatan, di mana makanan laut merupakan makanan utama dan berpotensi membantu mengatasi kekurangan gizi, merupakan negara yang paling terkena dampak perubahan iklim," ujar penulis pertama penelitian Dr. William Cheung, profesor dan direktur dari UBC Institute for the Oceans and Fisheries (IOF).

Dr. Cheung mengungkapkan bahwa bagi banyak orang, makanan laut adalah sumber nutrisi yang tak tergantikan dan terjangkau.

Para peneliti memeriksa data sejarah sektor perikanan dan budidaya makanan laut, termasuk informasi dari Sea Around Us yang dikelola oleh University of British Columbia. Tujuannya adalah untuk menilai seberapa banyak nutrisi penting yang diperoleh dari aktivitas tersebut di masa lalu, dan menggunakan model iklim prediktif untuk meramalkan ke depan.

Mereka terfokus pada empat jenis nutrisi yang ditemukan melimpah dalam makanan laut dan memiliki peran krusial dalam kesehatan manusia, yaitu kalsium, zat besi, protein, dan asam lemak omega-3, yang tidak dapat ditemukan dalam sumber makanan lain.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah nutrisi tersebut mencapai titik tertingginya pada tahun 1990-an dan tetap stabil hingga tahun 2010-an, meskipun ada peningkatan dari budidaya makanan laut dan juga dari penangkapan ikan invertebrata seperti udang dan tiram.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Proyeksi Penurunan Nutrisi Penting dari Hasil Tangkapan Laut

Pada masa mendatang, diperkirakan bahwa ketersediaan keempat nutrisi ini dari hasil tangkapan akan mengalami penurunan. Kalsium adalah yang paling terkena dampaknya, dengan perkiraan penurunan antara 15 hingga 40 persen pada tahun 2100, tergantung pada tingkat emisi.

Omega-3 juga akan mengalami penurunan sekitar 5 hingga 25 persen. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh berkurangnya populasi ikan pelagis yang bisa ditangkap.

"Ikan pelagis kecil sangat kaya akan kalsium sehingga di wilayah di mana masyarakatnya memiliki intoleransi terhadap susu atau di mana makanan hewani lainnya, seperti daging dan susu, jauh lebih mahal, ikan merupakan makanan utama masyarakat," ujar penulis senior yang juga profesor di Lancaster University, Dr. Christina Hicks.

"Di banyak belahan dunia, khususnya negara-negara berpenghasilan rendah di daerah tropis, ikan memasok nutrisi yang tidak tersedia dalam makanan masyarakat," tambah Dr. Hicks.

Meskipun diperkirakan bahwa budidaya makanan laut akan memberikan lebih banyak nutrisi di masa depan dibandingkan dengan masa kini, para peneliti memproyeksikan bahwa peningkatan ini tidak akan mampu mengimbangi kerugian akibat penangkapan ikan.

Dalam skenario emisi tinggi, peningkatan ketersediaan nutrisi dari budidaya makanan laut sebelum tahun 2050 kemungkinan akan hilang pada tahun 2100.

"Alasan utama terjadinya hal ini adalah perubahan iklim, yang juga merupakan ancaman signifikan terhadap budidaya makanan laut, sehingga menyebabkan defisit nutrisi semakin besar," kata co-author Dr. Muhammed Oyinlola, seorang rekan pascadoktoral di Departemen Zoologi UBC dan Institut National de la Recherche Scientifique.

Menurut Dr. Oyinlola, budidaya makanan laut saja tidak dapat memberikan solusi komprehensif terhadap permasalahan kompleks tersebut.

3 dari 4 halaman

Perbedaan Signifikan antara Negara-Negara Berpendapatan Rendah Tropis dan Non-Tropis

Ketersediaan keempat nutrisi yang berasal dari perairan tropis negara-negara berpendapatan rendah, seperti Indonesia, Kepulauan Solomon, dan Sierra Leone, diproyeksikan akan turun tajam menjelang akhir abad ini jika tingkat emisi gas rumah kaca tetap tinggi.

Penurunan tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan yang hampir tidak terlihat di perairan non-tropis dengan pendapatan lebih tinggi, seperti Kanada, Amerika Serikat, dan Inggris.

Secara keseluruhan, para peneliti memperkirakan bahwa ketersediaan nutrisi dari makanan laut akan berkurang sekitar 4-7 persen setiap kali suhu naik satu derajat Celsius. Namun, untuk negara-negara berpendapatan rendah di wilayah tropis, seperti Nigeria, Sierra Leone, dan Kepulauan Solomon, penurunan yang diproyeksikan ini dua hingga tiga kali lipat dari rata-rata global, yakni sekitar 10-12 persen per satuan kenaikan suhu.

"Penelitian ini menyoroti dampak dari setiap kenaikan suhu," ungkap Dr. William Cheung. "Semakin kita dapat mengurangi pemanasan global, semakin sedikit risiko yang dihadapi oleh kehidupan laut dan manusia."

4 dari 4 halaman

Optimalkan Pemanfaatan Ikan Gizi Berkualitas

Beberapa varietas ikan, seperti teri dan ikan haring, kaya akan nutrisi penting. Namun, seringkali ikan-ikan tersebut dimanfaatkan untuk dijadikan makanan ikan atau diambil minyaknya karena nutrisi tersebut juga mempercepat pertumbuhan ikan.

Selain itu, banyak negara hanya menggunakan bagian-bagian tertentu dari ikan untuk dijual.

Para ahli menekankan potensi untuk meningkatkan sumber nutrisi dari hasil laut dengan mengoptimalkan pemanfaatan ikan berkualitas gizi untuk konsumsi manusia. Salah satu cara yang dicontohkan adalah mengurangi pemborosan dalam produksi dan konsumsi perikanan dengan memanfaatkan seluruh bagian ikan, termasuk kepala dan sirip.

"Ke depannya, pasokan seafood harus mempertimbangkan keamanan nutrisi bagi kelompok yang rentan, bukan hanya manfaat ekonomi," ungkap Dr. William Cheung. "Namun, ada batasan seberapa efektif intervensi ini, maka penting untuk membatasi pemanasan global sebanyak mungkin."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.