Sukses

Berkat Karate, Meena Asadi Pengungsi Afghanistan di Indonesia Raih Love of Lives Award

The Taipei Economic and Trade Office (TETO) dan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Chou Ta-Kuan (CTK) memberi penghargaan kepada karateka sekaligus pengungsi Afghanistan di Indonesia Meena Asadi.

Liputan6.com, Jakarta - Karateka Meena Asadi mendapatkan penghargaan "Love of Lives" dari Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Chou Ta-Kuan (CTK) pada Selasa (24/1/2023).

Meena menjadi salah satu dari 22 orang yang menerima penghargaan tersebut

Tahun ini, CTK Cultural & Educational Foundation memilih 22 orang pemenang penghargaan dari jumlah total 3124 peserta yang direkomendasi dari seluruh dunia.

Penghargaan tahunan ini diselenggarakan oleh Yayasan CTK guna menghormati individu di seluruh dunia yang telah direkomendasikan berkat keberanian mereka dalam menghadapi kesulitan, rela berkorban, atasi keterbatasan, dan kontribusi mereka pada masyarakat.

Penghargaan ini merupakan kerja sama Yayasan CTK dengan Kantor Dagang dan Ekonomi Taipei atau The Taipei Economic and Trade Office (TETO).

"Meena telah memberikan contoh yang baik untuk menjalankan hidup yang terbaik," kata Kepala TETO John Chen di kantornya di Jakarta.

"Ia (Meena) mengimbau para pengungsi dari berbagai negara yang terdampar di Indonesia untuk membuang bayang-bayang pengalaman negatif dan meringankan hidup mereka melalui olahraga dan kebugaran," lanjutnya.

Meena Asadi adalah salah satu pengungsi Afghanistan di Indonesia, yang sudah tinggal selama 8 tahun di Cisarua, Bogor. Ia melatih anak-anak pengungsi di tempatnya bernaung seni bela diri karate.  

Pengungsi negara-negara konflik yang singgah di Indonesia tidak diperbolehkan bekerja dan sekolah. Meena pun memutuskan untuk mendirikan klub karate pada 2016 untuk mengisi waktu luang para anak-anak pengungsi.

Klub tersebut bernama Cisarua Refugee Shotokan Karate Club (CRSKC).

Meena menjadi pendiri sekaligus kepala pelatih. Murid-muridnya saat ini ada lebih dari 30 anak dan remaja pengungsi dari berbagai negara seperti Afghanistan, Iran, dan Pakistan.

"Sebagai seorang perempuan, seluruh hak asasi manusia saya dicabut di negara asalku. Namun, saya selalu sebisa mungkin memberikan harapan untuk orang lain," ucap Meena dalam pidato penerimaan penghargaannya.

Berkat perjuangan Meena keluar dari negaranya yang dilanda perang dan dikuasai Taliban hingga mengungsi ke Indonesia, Yayasan CTK tergugah dan ingin membantu Meena dengan cara mengumpulkan dana.

Meena mengatakan dana tersebut juga akan dipakai untuk memfasilitasi klub karatenya agar bisa lebih baik lagi. Sebab, fokus utama Meena adalah membantu anak-anak dan remaja pengungsi lain supaya bisa menikmati hidup secara lebih bahagia.

"Terima kasih untuk Yayasan CTK karena sudah menganggap saya layak atas penghargaan ini. Saya mempersembahkan ini untuk semua perempuan di Afghanistan," tutup Meena dalam pidatonya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tentang Yayasan CTK

Yayasan CTK adalah yayasan yang didirikan oleh orang tua Chou Ta-Kuan, yakni Chou Chin-Hua dan Guo Ying-Lan. Yayasan tersebut sudah berdiri sejak 1997.

Nama Yayasan CTK berasal dari Chou Ta-Kuan, seorang anak kecil yang meninggal akibat kanker di usia kesepuluh. Ta-Kuan membuat banyak puisi, salah satu puisi terkenalnya adalah "I Still Have One Leg" yang memberi pesan kuat mengenai keberanian dalam menghadapi segala tantangan di dunia.

Orang tua Ta-Kuan pun membuat Yayasan CTK ini dan melaksanakan "Love of Lives" sebagai cara yang paling mudah dan berkelanjutan untuk memberikan layanan yang beragam kepada publik melalui wawancara, seminar, kampanye, konsultasi dan diskusi.

"Love of Lives" ini juga memberikan penghargaan sebagai bentuk apresiasi untuk orang-orang yang berjuang dengan gangguan mental, anak-anak kanker, orang-orang dengan penyakit langka dan mereka yang berjuang hidup dari dalam dan luar negeri untuk menunjukkan kepada publik akan potensi tak terbatas dalam hidup.

3 dari 4 halaman

Kisah Meena Asadi

Meena Asadi adalah atlet karate yang meninggalkan negara asalnya, Afghanistan, ketika dirinya berusia 12 tahun. 

Afghanistan dikuasai Taliban, kelompok yang dicap sebagai gerakan Islamis fundamentalis atau Islam garis keras.

Karena negaranya yang terus terpapar perang dan konflik, banyak masyarakat Afghanistan yang berakhir menjadi pengungsi di Indonesia.

Indonesia dijadikan negara singgah untuk mencapai negara tujuan mereka yang biasanya adalah negara-negara maju seperti Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Kebanyakan dari mereka tidak berhasil pindah dan akhirnya masih tinggal di Indonesia.

Meena Asadi sempat pindah ke Pakistan. Di sana ia mulai menekuni bela diri karate lebih dalam lagi. Di Pakistan, Meena berpartisipasi dalam banyak kompetisi karate dan memenangkan sebanyak 30 medali, demikian dilansir dari UNHCR, Selasa (24/1/2023).

Meena juga pernah menang tiga medali perak dalam kejuaraan South Asian Gamestahun 2010 yang digelar di Bangladesh. Pada 2012, ia kembali memenangkan dua medali sebagai satu-satunya atlet perempuan Afghanistan di Kejuaraan Karate Asia Selatan di India.

Tidak sampai setahun di Pakistan, Meena kembali di Indonesia. Ia tinggal di pondok pengungsian yang terletak di Cisarua, Bogor pada 2015. 

Terinspirasi karena melihat banyak pengungsi di sana, Meena membangun sasana karatenya untuk mengisi waktu luang sekaligus membantu anak-anak dan remaja pengungsi, khususnya perempuan, supaya memiliki keterampilan dalam membela diri dari ancaman.

 

4 dari 4 halaman

Keresahan Meena akan Atlet Perempuan di Afghanistan

Meena Asadi merasa resah dan khawatir akan karier para atlet perempuan di Afghanistan. Pasalnya, Taliban kembali menguasai negara tersebut pada 2021.

"Saya sengsara. Saya kehilangan harapan dan orang-orang di negara saya juga kehilangan harapan mereka," ucap Meena, dikutip dari Antara News.

Dalam pemerintahan Taliban, perempuan dilarang bekerja dan anak-anak perempuan tidak diperbolehkan untuk bersekolah dan berkuliah.

Perempuan harus menutupi wajah mereka dan juga harus ditemani oleh kerabat laki-laki bila ingin keluar dari rumah. Kembalinya Taliban di Afghanistan pun membuat Meena khawatir kondisi tersebut terulang lagi. 

"Semua prestasi dan nilai-nilai dihancurkan, dan ini akan menjadi momen kelam bagi masyarakat, terutama bagi perempuan dan anak perempuan," kata Meena. 

"Semuanya usai untuk atlet putri," imbuhnya.

Meski para pemimpin Taliban telah berusaha meyakinkan warga Afghanistan dan masyarakat internasional bahwa perempuan berhak mendapatkan pendidikan dan pekerjaan, Meena tetap skeptis.

"Mereka partai ekstremis, dan mereka tidak memercayai hak asasi manusia atau hak perempuan," ujarnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.