Sukses

Korea Utara Kritik Rencana Denuklirisasi PBB, Sebut Berhak Punya Senjata Nuklir

Kementerian luar negeri Korea Utara pada Minggu (14 Agustus) mengkritik komentar Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa baru-baru ini.

Liputan6.com, Pyongyang - Kementerian luar negeri Korea Utara pada Minggu (14 Agustus) mengkritik komentar Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa baru-baru ini tentang dukungannya terhadap denuklirisasi total Korea Utara, menyebut pernyataan itu tidak memiliki ketidakberpihakan dan keadilan.

Kantor berita negara Korea Utara KCNA merilis pernyataan dari kementerian luar negeri setelah kepala PBB Antonio Guterres pada hari Jumat mengatakan dia sepenuhnya mendukung upaya untuk sepenuhnya mendeuklirisasi Korea Utara ketika dia bertemu dengan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol, demikian seperti dikutip dari Channelnewsasia, Minggu (14/8/2022).

"Saya tidak bisa tidak mengungkapkan penyesalan mendalam atas pernyataan sekretaris jenderal PBB yang sangat tidak memiliki ketidakberpihakan dan keadilan dan bertentangan dengan kewajiban tugasnya, yang ditentukan dalam Piagam PBB, sehubungan dengan masalah semenanjung Korea," ungkap Kim Son Gyong, wakil menteri untuk organisasi internasional kementerian luar negeri Korea Utara dalam sebuah pernyataan.

Kim menambahkan bahwa sekretaris jenderal PBB seharusnya tidak meminta atau menerima perintah dari pemerintah negara tertentu tetapi menahan diri untuk tidak melakukan tindakan apa pun yang dapat merusak posisinya sebagai pejabat internasional yang hanya bertanggung jawab kepada PBB.

Kim mengatakan "denuklirisasi yang lengkap, dapat diverifikasi, dan tidak dapat diubah" (CVID) oleh Korea Utara adalah "pelanggaran terhadap kedaulatan DPRK," merujuk pada Korea Utara dengan inisial nama resminya, Republik Rakyat Demokratik Korea.

"Ini menuntut perlucutan senjata sepihak, dan Sekretaris Jenderal Guterres mungkin tahu betul bahwa DPRK telah sepenuhnya menolaknya tanpa toleransi apa pun," kata Kim, menambahkan bahwa Guterres harus berhati-hati ketika mengucapkan "kata-kata berbahaya" di tengah situasi yang sangat akut di semenanjung Korea.

Korea Utara telah menguji coba rekor jumlah rudal tahun ini, dan para pejabat di Seoul dan Washington mengatakan bahwa pihaknya tampaknya sedang bersiap untuk menguji senjata nuklir untuk pertama kalinya sejak 2017, di tengah pembicaraan denuklirisasi yang terhenti.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

PBB Dukung Perlucutan Senjata Nuklir Korea Utara Secara Tuntas

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres bertemu dengan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol pada Jumat dan menyampaikan dukungan terhadap denuklirisasi Korea Utara yang tuntas, solid dan dapat diverifikasi, kata sejumlah pejabat.

Guterres, yang melakukan kunjungan dua hari ke Seoul, bertemu dengan Yoon saat makan siang di kantor presiden di Seoul.

Yoon menyambut Guterres dan mengaku menantikan pemikiran sang sekjen mengenai cara mengatasi tantangan yang dihadapi dunia.

Lewat seorang penerjemah, Guterres mengatakan bahwa ia berterima kasih kepada Korsel karena telah menjadi negara acuan dalam kinerja PBB dan terutama dalam upaya menjaga perdamaian di seluruh negara.

Ia juga menyanjung respek Korsel terhadap HAM dan kontribusinya terhadap masyarakat internasional di sektor pembangunan ekonomi sosial dan perubahan iklim.

Guterres menyampaikan dukungan penuh PBB terhadap denuklirisasi Korea Utara mengatakan bahwa pelucutan nuklir tersebut adalah tujuan penting dalam mencapai keamanan, perdamaian dan stabilitas di kawasan.

 

3 dari 3 halaman

Korea Utara Alami Krisis Pupuk

Pada kabar lain, tentara Korea Utara di unit militer tingkat rendah memiliki misi baru yang tidak biasa dan tidak sepenuhnya disambut baik.

Mereka mengumpulkan rumput selama istirahat pelatihan musim panas untuk menghasilkan kompos untuk kebutuhan pertanian, kata sumber di dalam negeri.

Negara kategori miskin dan terisolasi itu menderita kekurangan kronis pupuk berbasis kimia selama musim tanam musim panas.

Situasi ini semakin memburuk sejak 2020 karena penutupan perbatasan dengan China yang memutus perdagangan selama pandemi virus corona, seperti dikutip dari laman RFG.org, Jumat (12/8/2022).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.