Sukses

Mutasi Corona COVID-19 Ubah Virus Jadi Jinak? Ini Kata Ilmuwan

Beredar kabar bahwa Virus SARS-Cov-2 yang menyebar di Beijing baru-baru ini diduga varian baru hasil mutasi.

, Jakarta - Beredar kabar bahwa Virus SARS-Cov-2 yang menyebar di Beijing baru-baru ini diduga varian baru hasil mutasi. Virus Corona jenis baru itu dilaporkan sedikit berbeda dari virus awal yang menyebar di Wuhan.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh pakar epidemiologi dari Komisi Kesehatan Nasional China, Zeng Guang, seperti dikutip Global Times.

Klaster Virus Corona COVID-19 terbaru adalah pasar bahan makanan Xifandi di Beijing. Di pasar ini dilakukan pengolahan ikan salmon impor. Dari mana salmon berasal, sejauh ini belum jelas. China mengimpor ikan salmon dari sejumlah negara, antara lain Norwegia, Chile, Australia, Kanada, dan Kepulauan Faroe.

Pemerintah di Beijing dengan cepat menutup pasar Xifandi dan beberapa blok permukiman di selatan ibu kota China itu. Sekitar 10.000 pedagang dan pekerja di pasar tersebut kini akan dites secepatnya untuk melacak infeksi SARS-Cov-2.

“Hasil pelacakan akan dibandingkan dengan analisis dari negara lain, untuk bisa melacak garis asal-usul Virus Corona COVID-19 bersangkutan,“ ujar pejabat kesehatan di Beijing, seperti dikutip dari DW Indonesia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Apakah Mutasi Virus Berbahaya?

Virus lazimnya selalu melakukan mutasi. Karena untuk berkembang biak, virus harus mencari sel inang, dan terus-menerus melakukan adaptasi dengan cara melakukan mutasi.

Ini tidak berarti virusnya akan makin berbahaya atau sebaliknya. Yang lebih penting adalah terus memonitor jalur evolusi mutasinya agar bisa mengembangkan vaksin Corona atau obatnya, ujar para ilmuwan.

Virus Corona yang kini kembali menyerang China baru-baru ini, juga menunjukkan melakukan mutasi, dengan gejala lebih lambat dibanding gejala yang dipicu virus asal dari Wuhan. Jadi, tidak ada alasan panik di China. Sejumlah mutasi virus terbukti dapat melemahkan serangannya dan tidak lagi mematikan. 

Christian Drosten, pakar virologi Jerman dari rumah sakit Charité di Berlin dalam podcast-nya untuk stasiun penyiaran NDR juga melihat mutasi virus itu secara positif. "Karena dengan begitu virus bisa melakukan reproduksi lebih baik di ruang hidung," ujarnya.

Jika mutasi virus terutama menyerang bagian hidung, virus akan bisa berkembang biak lebih bagus dan akan membuat epidemi Virus Corona COVID-19 menjadi lebih ringan. "Virusnya tetap bisa menyerang selaput lendir di paru-paru, tapi efeknya orang hanya merasakan seperti flu biasa saja," ujar pakar virologi Jerman itu.

Lewat mutasi, Virus Corona COVID-19 juga bisa makin lemah dan menghilang. Misalnya Virus Corona COVID-19 SARS yang mewabah tahun 2002 dan menghilang tahun 2004. Walau begitu SARS-Cov-2, harus tetap diwaspadai, karena tidak ada yang tahu pasti, berapa lama waktu yang diperlukan untuk prosesnya hingga virusnya jadi jinak.

 

3 dari 3 halaman

Mutasi Corona Tingkatkan Kemampuan Infeksi

Sementara, hasil riset terbaru Scripps Research lembaga riset biomedik dan biokimia kenamaan AS yang dirilis belum lama ini menunjukkan, adanya mutasi yang meningkatkan secara signifikan kemampuan Virus Corona COVID-19 jenis baru itu untuk menginfeksi sel inang. 

Hasil penelitian ini bisa menjelaskan, mengapa virus SARS Cov-2 di beberapa bagian dunia menginfeksi sangat banyak pasien dan membuat ambruknya sistem kesehatan. Virus yang diduga mengalami mutasi yang menyerang Italia, Spanyol, dan AS khususnya New York terbukti menyebar dengan cepat dalam skala besar.

Mutasi yang diberi nama D614G, meningkatkan jumlah "duri" pada Virus Corona COVID-19 SARS Cov-2 yang membuat kenampakannya khas bagai bola penuh duri. Duri-duri inilah yang membuat virusnya memiliki kemampuan mengikat dan menginfeksi sel inang.

“Jumlah atau densitas dari duri fungsional pada Virus Corona COVID-19, menjadi empat sampai lima kali lebih banyak akibat mutasi,“ kata Hyeryun Choe, salah satu peneliti dan penulis senior riset tersebut. 

Para peneliti menyebutkan, sejauh ini belum jelas, apakah mutasi tersebut berdampak pada makin parahnya gejala pada orang yang terinfeksi atau meningkatkan kasus kematian. Disebutkan, untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut termasuk uji coba laboratorium.  

Riset dari Scripps itu saat ini sedang menjalani peer review, yakni kajian independen dari pakar dalam bidang ilmunya, untuk menjamin kualitas dan kredibilitas riset.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.