Sukses

Kepulauan Solomon dan China Sahkan Hubungan Diplomatik

China dan Kepulauan Solomon menandatangani perjanjian untuk menjalin hubungan diplomatik, setelah negara pulau Pasifik itu mengalihkan hubungannya dengan Taiwan.

Liputan6.com, Beijing - China dan Kepulauan Solomon, pada 21 September 2019, menandatangani perjanjian untuk menjalin hubungan diplomatik, setelah negara pulau Pasifik itu mengalihkan hubungannya dengan Taiwan.

Diplomat tinggi pemerintahan China, Penasihat Negara Wang Yi, menandatangani perjanjian itu dengan Menteri Luar Negeri Kepulauan Solomon Jemermiah Manele di sebuah wisma pemerintah di Beijing di depan para wartawan.

Selain dengan Kepulauan Solomon, pekan ini China juga membuka hubungan diplomatik dengan bekas sekutu Taiwan, Kiribati. Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri terisolasi lagi di tengah-tengah tekanan dari Beijing.

"Saat ini hanya sangat sedikit negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan China," kata Wang kepada wartawan setelah penandatanganan perjanjian tersebut sementara Menlu Manele berdiri di sampingnya.

"Kami yakin bahwa di negara-negara itu semakin banyak orang dengan visi yang akan bergerak maju dan suara mereka bagi keadilan dan sesuai dengan tren sejarah akan didengar," lanjut Wang seperti dikutip dari Antara, Minggu (22/9/2019).

Keputusan Kepulauan Solomon dan Kiribati untuk memutus hubungan dengan Taipe menjadi pukulan bagi Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, yang berusaha mencalonkan kembali pada pemilihan presiden Januari. Sejak ia berkuasa tahun 2016, tujuh sekutunya mengalihkan hubungan diplomatik dengan China.

Soal langkah Solomon yang kini telah memutuskan hubungan diplomatik, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengatakan: "Selama beberapa tahun terakhir, China terus menggunakan tekanan keuangan dan politik untuk menekan ruang internasional Taiwan," kata Tsai.

Ia menyebut langkah China sebagai "tantangan yang kurang ajar dan merugikan tatanan internasional."

"Saya ingin menekankan bahwa Taiwan tidak akan melakukan diplomasi dolar dengan China untuk memenuhi permintaan yang tidak masuk akal," katanya.

Menteri luar negeri Taiwan, Joseph Wu, mengatakan Taipei akan segera menutup kedutaan besarnya di Kepulauan Solomon dan menarik kembali diplomatnya.

"Pemerintah China sengaja menyerang Taiwan sebelum pemilihan presiden dan legislatif kami, jelas bertujuan untuk mencampuri pemilihan," kata Wu.

"Pemerintah mengecam keras hal ini dan mendesak para pihak (negara tersisa) untuk memegang kedaulatannya dan nilai kebebasan dan demokrasi."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sekilas Konflik China - Taiwan

Taiwan mendeklarasikan diri sebagai negara berdaulat dengan pemerintahan sendiri yang terlepas dari Beijing. Hal ini memiliki embrio sejak perang saudara antara Partai Kuomintang dengan Partai Komunis China antara 1927 - 1949.

Kuomintang kalah, melarikan diri ke Pulau Formosa yang terpisah dari China daratan pada sebuah selat. Kala itu, Kuomintang masih mendeklarasikan diri sebagai pemimpin sah seluruh wilayah Tiongkok.

Urgensi perang terbuka dengan Partai Komunis China semakin meluntur pada tahun-tahun berikutnya, hingga akhirnya Kuomintang membentuk pemerintahan negara Republik China (RoC) atau Taiwan dewasa ini.

Sementara Partai Komunis China yang keluar sebagai pemenang dalam perang, memerintah Tiongkok daratan dengan beribukota di Beijing --atau yang kita kenal sebagai Republik Rakyat China (PRC).

Akan tetapi, kedua belah pihak saling melempar penolakan eksistensi masing-masing sebagai pemerintahan seluruh wilayah Tiongkok, dan, tensi antara kedua negara masih terjadi hingga saat ini.

Di sisi lain, mayoritas komunitas internasional, bahkan PBB, mengakui China sebagai entitas negara berdaulat dengan sistem "one country, two system" --dengan Hong Kong dan Makau adalah "two system" dalam konsep tersebut.

Sementara Taiwan, tidak demikian --di mana mayoritas komunitas internasional tidak mengakui Negeri Formosa sebagai sebuah negara yang berdaulat penuh.

Komunitas internasional pun hanya bisa memilih satu, antara China dan Taiwan. Mengakui salah satu dari mereka, berarti mengacuhkan (klaim) kedaulatan atas yang lainnya.

Namun, sejumlah negara anggota PBB, termasuk Indonesia, memiliki "hubungan diplomatik non-formal" dengan Taiwan serta mendirikan kantor representasi de facto (kantor ekonomi dan dagang) di masing-masing negara.

Mereka pun bertahan pada status quo hubungan yang saat ini ada (pengakuan penuh pada China dan hubungan non-formal dengan Taiwan), serta berusaha untuk tak mencampuri perselisihan Taipei-Beijing.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.