Sukses

Diplomat Portugal Desak Dunia Beri Beasiswa untuk Pengungsi

Dalam sebuah konferensi pendidikan tinggi, terungkap bahwa hanya satu persen dari 65 juta pengungsi di dunia yang punya gelar universitas.

Liputan6.com, Hobart - Pada Konferensi Pendidikan Tinggi Internasional Australia di Hobart, Tasmania, yang diikuti peserta dari 30 negara, terungkap sebuah fakta mengejutkan. Dalam pertemuan itu diketahui bahwa hanya satu persen dari 65 juta pengungsi di dunia yang memiliki gelar dari universitas.

Diplomat asal Portugal, Helena Barroco, mengatakan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk memberi lebih banyak pengungsi kesempatan pendidikan.

"Pendidikan tinggi adalah kunci untuk melatih pemimpin dari generasi di masa mendatang, siapa yang akan membangun kembali negara," kata Barroco.

"Jika tidak, jika Anda tidak berinvestasi pada kaum muda pada masa krisis, siapa yang akan membangun kembali negara-negara yang dilanda perang?" imbuh dia.

Di Australia, sebanyak 17 persen warga Australia dilaporkan memiliki gelar sarjana pada 2016. Menurut perkiraan, di seluruh dunia mereka yang memiliki gelar sarjana pada 2011 sebesar 6,7 persen hampir 7 miliar orang.

Dikutip dari Australia Plus, Sabtu (14/10/2017), Helena Barroco memimpin sebuah program di Portugal yang memberikan kesempatan kepada 150 mahasiswa di Suriah mendapatkan beasiswa di luar negeri untuk menyelesaikan studinya.

Dia juga mengatakan bahwa ada banyak orang di seluruh dunia yang membutuhkan bantuan serupa. Organisasinya telah memulai sebuah gerakan global untuk mengajukan beasiswa darurat dihadirkan oleh universitas.

"Jika Anda berpikir bahwa di seluruh dunia ada 230 juta mahasiswa, jika Anda bertanya kepada mereka saat mereka mendaftar di universitas untuk berkontribusi dengan menyumbangkan satu pound atau satu dollar (sekitar Rp 10 ribu) saja, Anda dapat menyediakan dana untuk beasiswa guna mendukung para pengungsi," kata Barroco.

Di Australia, para pengungsi atau pencari suaka memiliki pengalaman yang sangat berbeda dalam mengakses universitas.

Arif Hazara, 22, melarikan diri dari perang di Afghanistan dan tiba di Australia dengan kapal pada tahun 2011 untuk mencari kesempatan perlindungan dan kesempatan belajar.

"Saya memutuskan bahwa alih-alih dipengaruhi oleh keadaan yang tidak dapat saya kendalikan, saya harus mengalihkan perhatian dan saya mulai belajar bahasa Inggris," kata Hazara.

Hazara mendapatkan status pengungsi dan visa perlindungan yang memberinya akses ke dana bantuan Persemakmuran. Saat ini ia telah menyelesaikan gelarnya di bidang akuntansi dan mulai bekerja penuh waktu.

"Kami berasal dari latar belakang pengungsi, tapi itu tidak benar-benar menentukan siapa kita," kata Hazara.

"Hanya saja kami harus menghadapi keadaan, yang telah menyebabkan kami meninggalkan negara kami dan datang ke Australia atau pergi ke negara lain.

"Kami memiliki aspirasi seperti yang lainnya," imbuh dia.

Namun, ambisi para pengungsi lainnya yang mencari suaka di Australia telah tertahan oleh status visa mereka.

Karen Dunwoodie adalah seorang mahasiswa PhD di Monash University yang bekerja dengan Dewan Pengungsi Australia untuk membantu orang mengakses pendidikan.

Dia mengatakan bahwa orang-orang yang memiliki visa perlindungan sementara hanya bisa belajar jika mereka membayar biaya pendidikan dengan tarif yang sama sebagaimana pelajar internasional.

Dunwoodie mengatakan, saat ini negara-negara bagian di Australia berusaha mengisi sejumlah kesenjangan dan pihak universitas juga menawarkan beasiswa.

Seorang juru bicara untuk Menteri Imigrasi Australia, Peter Dutton, mengatakan bahwa pembayar pajak Australia telah mendanai 1,9 miliar dolar Australia per tahun untuk para pengungsi.

"Pada saat yang sama, kita termasuk negara-negara yang paling murah hati di dunia dalam program pengungsian dan bantuan kita," kata mereka.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini