Sukses

Peringatan Konten!!

Artikel ini tidak disarankan untuk Anda yang masih berusia di bawah

18 Tahun

LanjutkanStop di Sini

Kilas Balik 'Kegilaan' Praktik Seksual pada Zaman Romawi Kuno

Sejak pendirian Roma pada 753 SM, urusan seks telah menduduki tempat penting yang tak terpisahkan dalam aspek politik dan sejarah Romawi.

Liputan6.com, London - Peninggalan bangsa Romawi Kuno tertera dalam naskah-naskah, grafiti purba, karya-karya seni, dan ukiran-ukiran. Semua itu seakan menjadi semacam catatan petualangan masyarakat, termasuk untuk urusan seks.

Penulis Paul Chrystal, melalui buku 'In Bed with The Romans', menelusuri peninggalan-peninggalan itu dan menuangkan temuannya dalam sebuah buku untuk menjelaskan cinta dan pernikahan, peran istri dalam keluarga, agama, dan di ranjang.

Lebih jauh lagi, seperti dikutip dari History Plus pada Selasa (25/7/2016), terkuaklah kisah-kisah obat seksual, homoseksualitas, pornografi dan pederasti pada masa Romawi Kuno.

Seperti halnya masyarakat masa kini, tentu saja bangsa Romawi dan Latin memiliki kehidupan seks, sebagaimana dipaparkan oleh ahli sejarah Romawi bernama Titus Livius Patavinus.

Bahkan, sejak pendirian Roma pada 753 SM, urusan seks telah menduduki tempat penting yang tak terpisahkan dalam aspek politik dan sejarah Romawi.

Sejak awal, seks telah dikaitkan dengan perkembangan negeri Romawi. Diawali dengan peristiwa pemerkosaan wanita-wanita Sabine pada 750 SM. Peristiwa ini menjadi contoh pembentukan suatu bangsa karena Romawi kekurangan wanita-wanita subur.

Tak lama kemudian, seks berperan dalam penggulingan monarki tirani dan pembentukan republik, kemudian dalam pemulihan republik yang sangat penting dalam demokrasi Romawi.

Dalam masa peralihan menjadi republik, Lucretia yang santun melakukan bunuh diri pada 510 SM setelah diperkosa oleh Sextus Tarquinius, putra dari Lucius Tarquinius Superbus (kaisar terakhir Romawi).

Lucretia dan Tarquinius. Sejak awal, seks telah dikaitkan dengan perkembangan konstitusional negeri Romawi. Diawali dengan peristiwa pemerkosaan kaum wanita Sabine. (Sumber Akademie der Bildenden Künste, Wina, Austria))

Dalam masa pemulihan, Verginia yang masih perawan ditikam hingga meninggal pada 449 SM oleh ayahnya sendiri untuk menepis malu karena pencemaran oleh Appius Claudius, salah seorang komandan decemviri (unit pasukan 10 orang).

Penjagaan kesucian—dikenal dengan istilah pudicitia—merenggut nyawa Lucretia dan Verginia. Demikianlah pentingnya pudicitia dalam nilai-nilai, sejarah, dan masyarakat Romawi.

Bahkan ahli sejarah Titus Livius Patavinus yang disebut sebelum ini membumbui kisah wanita-wanita legendaris di masa lalu sebagai panutan seksual yang layak diteladani kaum wanita sesudahnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kewajiban

Tentu saja seks bagi kebanyakan warga Romawi menjadi hal yang menyenangkan, tapi sekaligus kewajiban. Bisa dibilang, lebih sebagai kenikmatan bagi kaum pria tapi lebih sebagai kewajiban bagi kaum wanita.

Kaum pria pamer kelelakian atau kekuatan seksual mereka, sedangkan kaum wanita wajib pasrah melalui serangkaian kelahiran anak seakan seperti pabrik bayi, terutama bayi lelaki yang dipandang sebagai garis keturunan keluarga sekaligus sebagai tenaga di pertempuran ataupun pertanian.

Sebaliknya, bayi perempuan dianggap membebani dan tidak banyak memberi andil kepada pemasukan keluarga. Apalagi, di suatu hari kelak, keturunan perempuan mensyaratkan mahar yang mahal.

Pernikahan pun berat sebelah. Menurut kaum pria, kaum wanita yang menikah tidak usah berharap akan kenikmatan atau kesenangan, karena mereka hanya bertugas memberikan keturunan.

Bukan hanya itu. Istri yang diam, penurut, dan tunduk diharapkan pura-pura tidak tahu tentang kenakalan seksual suaminya, sedangkan suaminya bebas berselingkuh sesukanya asalkan wanita simpanannya tidak dinikahi, atau, jika berselingkuh dengan bocah lelaki, bocah itu berusia cukup.

Rumah bordil, pelacur, dan wanita-wanita penari dianggap boleh-boleh saja. Atau bahkan keberadaan pria-pria yang lebih tua, asalkan suaminyalah yang melakukan penetrasi. Sikap pasif dan menerima penetrasi dipandang sebagai tugas kaum wanita sehingga pria yang pasrah dianggap kurang berdaya.

Dengan demikian, seks sesama jenis pada masa Romawi Kuno dianggap boleh-boleh saja bagi seorang pria, asal memenuhi syaratnya. Tapi, hubungan seks sesama jenis pada wanita dianggap menjijikkan. Seks 'lesbian' kerap dianggap melibatkan penetrasi, yang dianggap sebagai tugas pria.

Wanita-wanita pelaku lesbian—baik yang melakukan penetrasi maupun penerimanya—menjadi celaan. Terjemahan 'lesbian' dalam bahasa Latin berarti "wanita-wanita yang saling bergesekan".

3 dari 4 halaman

Perubahan Pandangan

Di masa akhir Republik, seks tidak sah dan di luar pernikahan dipandang merusak dan merebak. Kaisar Augustus—kaisar yang pertama—mengamati hal ini dan ia mencoba mengembalikan sistem nilai kekeluargaan pada masa lalu melalui legislasi terkait pernikahan, perceraian, dan peningkatan angka kelahiran. Tapi legislasi itu banyak yang tidak berhasil.

Namun demikian, kegiatan seksual Augustus tenggelam oleh keberandalan Julia, putrinya. Julia disebut-sebut mencemari podium yang sama dengan tempat ayahnya mengumumkan legislasi moralistik. Bagi Julia, siapapun boleh mencicipi dirinya, kecuali kalau ia hamil.

Sang ayah akhirnya mengusir putrinya ke pulau Pandataria yang terpencil (dan tanpa pria), di lepas pantai Campania.

Cross-dressing

Dalam beberapa hal, Julia menetapkan tolok ukur seksual di awal dekade kekaisaran. Beberapa tahun sebelumnya Julius Caesar memperkenalkan cross-dressing ketika, pada usia 20 tahun, ia hidup sebagai wanita di sekeliling Raja Nicomedes IV dan bahkan dijuluki 'Ratu Bithynia'.

Kaisar Tiberius berpakaian sebagai wanita dalam pesta pora di Capri, dan Kaisar Caligula terkadang tampil di acara resmi berpakaian sebagai Venus.

Kaisar Nero menyesal karena menendang Poppaea Sabina, istrinya yang sedang hamil, hingga meninggal. Ia mencari-cari wanita yang mirip almarhumah dan malah bertemu dengan seorang pria muda bernama Sporus. Pesuruh Nero mengkebiri mantan budak itu dan merekapun menikah.

Sporus bergabung dengan Nero yang seranjang dengan Pythagoras salah satu budak merdeka lain yang dinikahi Nero. Pythagoras ini memainkan peran sebagai suami dalam hubungan 3 serangkai mereka, sedangkan Sporus mengambil peran sebagai istri Nero. Nero bahkan tercatat menyenangi hubungan sedarah (incest) dengan ibunya, Agrippina.

4 dari 4 halaman

Rumah Bordil

Mari menyimak Messalina, istri kaisar Claudius. Wanita ini kerap menyelinap pergi dari ranjang ketika Claudius sedang tidur dan pergi mengunjungi rumah bordil yang pengap dengan nama samaran 'Lycisca'.

Penulis Pliny berkisah tentang orgi keblinger oleh Messalina, yaitu ketika ia menantang pelacur berpengalaman untuk melakukan marathon seks selama 24 jam. Ia menang setelah melakukannya dengan 25 pria, kira-kira 1 klien per jam.

Lebih luas lagi, pujangga bernama Ovid yakin bahwa beberapa wanita kalangan elite senang 'main agak kasar', seperti dibeberkan juga oleh Petronius dalam novelnya, Satyiricon.

Di dalamnya, diceritakan tentang sejumlah wanita kalangan atas yang 'doyan' dengan pria-pria dari kalangan lebih rendah, misalnya para penari pria, kuli sampah, dan para gladiator.

Seks juga melumuri kehidupan singkat kaisar Elagabalus (203 – 222 M) yang dikenal pemberontak karena bimbang soal gendernya. Tapi selera humornya boleh juga, demikian menurut Historia Augusta, kumpulan kisah sejarah para kaisar Romawi dan kaum keturunannya (mulai dari Hadrian hingga Numerianus).

Lebih nyeleneh lagi, Elagabalus menawarkan hadiah besar kepada tabib manapun yang bisa memasangkan alat kelamin menetap padanya, yang dalam bahasa ahli sejarah Cassius Dio, “untuk membuat vagina wanita dalam tubuhnya dengan cara pengirisan."

Melesat ke tahun 525 M. Seks masih menjadi aspek utama dalam kehidupan Romawi. Theodora, istri Kaisar Justinian I, dulunya bekerja di rumah bordil Konstantinopel sebagai pelakon hiburan.

Tapi Theodora kemudian berubah menjadi wanita yang gigih mendesak reformasi sosial perlindungan wanita dari kekerasan baik fisik maupun seksual dan juga diskriminasi. Hal itu dimulainya ketika menjadi permaisuri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini