Sukses

Perang Ukraina Rusia Picu Gangguan Kesehatan Mental pada Anak

Perang Ukraina dan Rusia memicu gangguan kesehatan mental pada anak-anak yang terdampak.

Liputan6.com, Jakarta Perang Ukraina dan Rusia memicu gangguan kesehatan mental pada anak-anak yang terdampak.

Hal ini disampaikan Direktur Desa Anak SOS di Ukraina Serhii Lukashov. Menurutnya, perang memiliki konsekuensi besar pada anak karena bisa menyebabkan trauma berkepanjangan. Anak-anak korban perang pun kemungkinan tumbuh menjadi generasi trauma.

“Warisan perang ini akan menjadi generasi yang trauma,” tulis Serhii Lukashov, mengutip Al Jazeera, Rabu(13/4/2022).

“Dampak kesehatan mental ini kemungkinan akan memiliki konsekuensi selama bertahun-tahun yang akan datang,” tambahnya.

Selama perang, berbagai ancaman datang terus-menerus. Ini disertai penembakan, kehilangan orang yang dicintai, kekhawatiran untuk mengakses makanan, air minum bersih, perawatan kesehatan, dan rincian rutinitas anak-anak pun berubah total.

Gangguan stres pasca-trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD) dan depresi adalah gangguan kesehatan mental yang paling umum setelah perang – baik untuk orang dewasa maupun anak-anak.

Sementara insiden gangguan ini sulit untuk diperkirakan, sebagian besar penelitian telah menemukan tingkat gangguan yang meningkat secara signifikan dibandingkan dengan populasi kontrol.

Misalnya, penelitian sebelumnya terhadap anak-anak pengungsi yang baru tiba menunjukkan tingkat kecemasan dari 49 persen menjadi 69 persen. Ini disertai prevalensi meningkat secara dramatis jika setidaknya satu orangtua telah disiksa atau jika sudah dipisahkan dari keluarga.

PTSD dapat terjadi pada anak-anak bahkan setelah satu peristiwa traumatis. Risikonya semakin meningkat jika ada trauma yang berulang atau berkepanjangan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kehilangan Barang Favorit

Perang tidak hanya memisahkan anak dari orang yang dicintai dan rutinitas sehari-hari. Namun, banyak juga yang harus meninggalkan rumah mereka dalam waktu singkat dan meninggalkan barang berharga mereka. Seperti selimut atau mainan favorit.

Anak-anak sering mencari hal-hal ini ketika mereka perlu merasa aman. Selama perang dengan berbagai tekanan yang ada, anak-anak membutuhkan barang-barang favorit tersebut lebih dari biasanya.

Namun, kondisi yang kacau dan pergerakan yang harus cepat membuat mereka tak memiliki waktu untuk membawa setra barang-barang tersebut. Pengeboman dan serangan lainnya kemungkinan juga sudah melenyapkan barang berharga tersebut.

Bagi banyak anak Ukraina, meninggalkan rumah mereka juga berarti meninggalkan negara mereka. Anak-anak terlantar, terutama pengungsi, lebih rentan mengalami masalah psikologis. Mereka juga menghadapi faktor risiko tambahan dan dapat terkena berbagai bentuk eksploitasi.

Penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak sangat sensitif terhadap akumulasi stres. Pada kenyataannya, ada banyak bukti terkait hubungan dosis-respons antara jumlah stressor yang dialami oleh anak-anak dan hasil kesehatan mental mereka.

3 dari 4 halaman

Tiga Kontributor Akumulasi Stres

Bagi pengungsi anak, akumulasi stres umumnya berasal dari tiga kontributor utama yakni:

-Di negara asal mereka, banyak yang telah menyaksikan atau mengalami secara langsung kekerasan, penyiksaan dan kehilangan keluarga dan teman.

-Perjalanan ke negara perlindungan yang penuh rintangan juga bisa menjadi pemicu stres lebih lanjut. Anak-anak pengungsi mungkin mengalami perpisahan dari orangtua mereka, baik karena kecelakaan atau sebagai strategi untuk memastikan keselamatan mereka.

-Tahap terakhir untuk menemukan kelonggaran di negara lain dapat menjadi waktu yang lebih sulit karena banyak yang harus membuktikan klaim suaka mereka dan juga mencoba untuk berintegrasi ke dalam masyarakat baru. Adaptasi terkadang menjadi hal sulit bagi anak-anak.

Periode ini semakin disebut sebagai periode "trauma sekunder" untuk menyoroti masalah yang dihadapi. Saat tiba, seorang anak pengungsi perlu menetap di sekolah baru dan menemukan kelompok sebaya.

“Anak-anak mungkin harus mengambil peran orang dewasa sebelum waktunya, misalnya, sebagai penghubung bahasa yang vital dengan dunia luar.”

4 dari 4 halaman

Efek Trauma

Untuk anak-anak, efek merugikan dari trauma perang tidak terbatas pada diagnosis kesehatan mental tertentu, tetapi juga mencakup serangkaian hasil perkembangan yang luas dan beragam.

Ini dapat berdampak dan membahayakan hubungan, kinerja sekolah, dan kepuasan hidup secara umum. Hal ini diperparah oleh fakta bahwa konflik kekerasan seringkali menghancurkan atau merusak sekolah dan sistem pendidikan secara signifikan.

Tanpa struktur yang ditawarkan oleh sekolah, anak-anak akan membutuhkan orang dewasa dalam hidup mereka untuk menyediakan ini.

“Kami telah melihat video anak-anak Ukraina di bunker bawah tanah di mana orang dewasa memfasilitasi pelajaran dan waktu bermain yang ditentukan.”

Pengaruh perang pada kesehatan mental anak akan sangat bergantung pada dukungan yang mereka terima dari pengasuh mereka. Tapi ini juga menjadi sulit selama masa perang karena keterikatan normal seringkali terganggu.

Beberapa anak dapat kehilangan pengasuh mereka. Pasalnya, para pengasuh juga terdampak oleh perang. Bisa saja pengasuh mereka sendiri terlalu tertekan atau cemas dan terlalu sibuk melindungi atau menemukan penghidupan bagi keluarga mereka sendiri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.