Sukses

Mengenal Ki Hadjar Dewantara, Sosok Penting di Balik Hari Pendidikan Nasional

Ki Hadjar Dewantara memiliki pengaruh penting di dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Tepat hari ini, Kamis (2/5/2019), menjadi hari penting bagi dunia pendidikan Indonesia. Masyarakat Tanah Air hari ini memperingatinya sebagai Hari Pendidikan Nasional, yakni hari untuk memperingati kelahiran tokoh pelopor pendidikan di Indonesia.

Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei ini bertepatan dengan hari lahir Bapak Pendidikan Nasional di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Ia adalah seorang pahlawan nasional yang berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu.

Kebijakan yang ditentang adalah kebijakan tentang pendidikan yang hanya bisa dirasakan oleh anak-anak kelahiran Belanda atau anak-anak dari golongan berada saja. Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah saat itu membuat ia diasingkan ke Belanda.

Setelah kembali ke Indonesia, ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang dikenal dengan nama Taman Siswa. Selain mendirikan Taman Siswa, masih banyak kontribusi Ki Hadjar Dewantara dalam ranah pendidikan di Indonesia.

Berikut adalah pemaparan singkat untuk mengenal sosok pahlawan nasional, Ki Hadjar Dewantara lebih dalam.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Profil Ki Hadjar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, sekarang lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Ia merupakan seorang aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia di zaman penjajahan Belanda.

Ki Hadjar Dewantara lahir di Pakualaman pada tanggal 2 Mei 1889, dan meninggal di Jogjakarta, 26 April 1959, di umur 69 tahun. Sekarang, tanggal kelahiran beliau diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional di Indonesia.

Saat masih muda, ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School) atau sekolah dasar pada zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia. Ia juga sempat melanjutkan pendidikan ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), yaitu sekolah pendidikan dokter di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda, tetapi tidak sampai lulus lantaran sakit.

Ki Hadjar Dewantara bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik di Indonesia, yaitu Boedi Oetomo dan Insulinde.

Tulisan Ki Hadjar Dewantara yang paling terkenal saat itu adalah, "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga." Namun, kolom Ki Hadjar Dewantara yang paling terkenal adalah "Als ik een Nederlander was" diterjemahkan menjadi, "Seandainya Aku Seorang Belanda."

Tulisan tersebut dimuat dalam surat kabar De Expres pada 13 Juli 1913, surat kabar tersebut berada di bawah pimpinan Ernest Douwes Dekker.

Akibat tulisannya tersebut, ia pun ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Namun kedua rekannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, melakukan protes atas pengasingan tersebut. Pada akhirnya, mereka bertiga pun diasingkan ke Belanda, dan ketiga tokoh ini kemudian dikenal sebagai "Tiga Serangkai."

3 dari 4 halaman

Masa Pengasingan

Di dalam masa pengasingannya, Ki Hadjar Dewantara aktif bersosialisai di dalam organisasi pelajar asal Indonesia, yaitu Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).

Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Indonesisch Pers-bureau, atau kantor berita Indonesia. Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya untuk memajukan pendidikan masyarakat Indonesia.

Ia pun berhasil mendapatkan sebuah ijazah pendidikan bergengsi di Belanda, yang dikenal dengan nama Europeesche Akta. Ijazah itulah yang kemudian dapat membantunya mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Indonesia.

Saat ia berusia 40 tahun, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara dan tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal tersebut bertujuan agar ia dapat secara bebas dekat dengan rakyatnya.

4 dari 4 halaman

Taman Siswa

Ki Hadjar Dewantara kembali ke Indonesia pada September 1919, ia kemudian bergabung sebagai guru ke dalam sekolah binaan milik saudaranya. Seiring berjalannya waktu, pengalaman mengajar tersebut pun ia gunakan untuk mengembangkan konsep metode pengajaran baru bagi sekolah yang ia dirikan.

Sekolah yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah National Onderwijs Institut Taman Siswa atau lebih dikenal dengan Taman Siswa. Sekolah ini didirikan pada 3 Juli tahun 1922 di Jogjakarta.

Prinsip dasar yang ada dalam sekolah Taman Siswa dikenal sebagai Patrap Triloka. Prinsip ini kemudian digunakan sebagai pedoman bagi para guru.

Patrap Triloka memiliki unsur-unsur penting di dalamnya. Unsur penting berbahasa Jawa yang ada dalam Patrap Triloka adalah, "ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani" yang memiliki arti "di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan".

Hingga saat ini Patrap Triloka digunakan sebagai panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Ki Hadjar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957, ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah Mada.

Atas semua jasanya dalam dunia pendidikan, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).

Ia meninggal dunia di Jogjakarta, 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.

Reporter:

Rahma Wulan Mei Anjaeni

Universitas Pendidikan Indonesia

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.