Sukses

Mal Mau Terima Lapak UKM Kalau Bisa Datangkan Pengunjung

APPBI mengungkapkan tidak mudah bagi UKM untuk masuk ke pusat perbelanjaan premium di Jakarta. UKM harus punya konsep menarik.

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengungkapkan tidak mudah bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk masuk ke pusat perbelanjaan premium di Jakarta. UKM harus menonjolkan konsep menarik yang mampu mengundang minat orang supaya berkunjung ke mal tersebut.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) APPBI, Handaka Santosa, menilai konsep yang jelas dan terarah diperlukan bagi tenant atau UKM bukan di bidang fashion saja, tapi juga makanan dan minuman serta lainnya.

"Setiap mal pasti ada Komite yang akan meminta konsep dari tenant yang mau masuk di mal kelas premium. Nanti mereka bakal mendiskusikan layak masuk atau tidak karena tujuan pusat belanja di bangun bukan saja untuk komersil, tapi juga memanggil orang datang tidak (ke mal)," jelasnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Minggu (11/8/2013).

Dia menceritakan masa-masa keemasan produk Bread Talk dan J.Co di Indonesia. Handaka mengatakan, seluruh mal dan pusat belanja lain berebut agar kedua merek ini masuk menjadi tenant mereka.

"Semua mal mengundang mereka (Bread Talk dan J.Co). Tidak bayar pun oke, karena mereka bisa mengundang tamu. Hal ini yang membuat bisnis pusat perbelanjaan jadi lebih bagus," ungkap Handaka.

Menurutnya, APPBI tidak bisa sembarangan untuk mengisi pusat perbelanjaan, khususnya mal dengan seluruh UKM maupun tenant lain.

"Dalam pengelolaan pusat belanja ada dua teori, pertama harus tahu segmennya di mana dan kedua kombinasi dari segmen ini terhadap produk pelengkap," katanya.

Mal, lanjut Handaka, harus bisa menjadi one stop shopping. Maka itu di dalam pusat belanja kelas menengah dan atas harus ditata sedemikian rupa sehingga tidak dapat seluruhnya masuk menjadi tenant layaknya pasar.

"Misalnya di sebuah mal, minimal harus ada money changer-nya satu outlet, tenant yang menawarkan produk handycraft satu outlet, dan sebagainya. Jadi mau tidak mau harus diseleksi karena tidak bisa semuanya diisi kayak pasar," tukasnya.

Sebelumnya, Pemilik perusahaan sepatu batik berlabel La Spina, Lianna Gunawan mengeluhkan sulitnya membuka outlet sepatu di pusat perbelanjaan modern di Jakarta. Selama ini pengelola mal lebih mengutamakan perusahaan yang memasarkan merek-merek luar negeri untuk menempati etalase pusat perbelanjaannya.

"Impian saya punya beberapa butik atau outlet di pusat perbelanjaan. Tapi pengelola mal lebih memprioritaskan merek-merek asing, jadi mentoknya disini kami harus bersaing dengan mereka (produk luar negeri)," tandas dia.

Ironisnya, Lianna mengaku, pengelola mal justru memberikan lapak atau tempat usaha yang lokasinya kurang bagus, bahkan dilirik oleh pengunjung bagi UKM.

"Kami (pelaku UKM) jadi prioritas kesekian, malah dikasih lokasi usaha yang kurang bagus. UKM masih dianggap sebelah mata dan kondisi ini sangat menyedihkan. Padahal kami punya produk bagus yang sudah teruji pemasarannya, seharusnya diberi kemudahan," keluh dia. (Fik/Igw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini