Sukses

First Republic Bank Bangkrut, Krisis Perbankan AS Diprediksi Belum Berakhir

Setelah disita Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), First Republic Bank dijual oleh JPMorgan Chase. Pengamat menilai, pengambilalihan itu bukan akhir krisis perbankan AS.

Liputan6.com, New York - First Republic yang memasuki kebangkrutan dalam enam minggu dan disita oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) pada Senin pagi, 1 Mei 2023. First Republic Bank pun diambil alih oleh JPMorgan Chase.

Ini adalah pemberi pinjaman ketiga AS yang alami kegagalan dalam dua bulan, demikian dikutip dari CNN, ditulis Rabu (3/5/2023). Ini kegagalan bank terbesar setelah Washington Mutual pada 2008.

Gejolak perbankan yang dimulai dengan Silicon Valley Bank (SVB) pada Maret 2023 memicu kepanikan di antara deposan dan investor yang memiliki kesamaan yang nyata dan dirasakan dengan SVB.

First Republic hanya sedikit lebih besar dari SVB dan melayani nasabah yang kaya raya, segera memiliki target.

Lalu apa yang membuat First Republic dan SVB bangkrut?

First Republic dan Silicon Valley Bank berkantor pusat di Bay Area melayani pelanggan elit bisnis dan individu yang memiliki saldo kas besar. Dalam dua kasus, bank memiliki proporsi simpanan yang sangat besar di atas USD 250.000 atau sekitar Rp 3,6 miliar (asumsi kurs Rp 14.689 per dolar AS) yang dicakup oleh FDIC.

“Para deposan ini sangat rentan terhadap pemicu. Mereka canggih, mereka tahu memiliki pilihan lain, dan mereka memiliki mekanisme untuk memindahkan uang dengan cepat,” ujar Profesor Hukum di Boston College, Patricia McCoy dikutip dari CNN.

Risiko First Republic Bank

Basis deposan yang sangat fluktuatif itu menghadirkan risiko bagi investor. Ketika First Republic merilis laba kuartal I 2023 pada Senin, 1 Mei 2023 disertai dengan panggilan investor yang sangat singkat di mana pemimpin perusahaan tidak mengambil pertanyaan dari investor dan media.

Bank mengungkapkan kehilangan lebih dari 40 persen dari simpanannya. Hal itu setara USD 100 miliar. Rilis kinerja tersebut mengirim saham First Republic Bank anjlok ke level terendah baru.

Bank-bank besar yakni JPMorgan Chase dan Bank of America telah diversifikasi basis deposan mereka untuk memasukkan lebih banyak. McCoy menyebutnya sebagai “sticky deposits”. Dengan kata lain, orang biasa yang memiliki dana kurang dari USD 250.000 di bank dan tidak akan secepat itu melarikan diri.

Sekitar dua pertiga dari simpanan di First Republic tidak diasuransikan. Itu jauh lebih sedikit dari pada 94 persen tidak diasuransikan yang dimiliki Silicon Valley Bank, tetapi First Republic juga memiliki rasio pinjaman ke deposit 111 persen pada akhir tahun lalu, menurut S&P Global. Yang berarti ia telah meminjamkan lebih banyak uang daripada ada di deposito.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pengamat Sebut Bukan Akhir Krisis Perbankan

Di sisi lain, pasar tampaknya jika tidak senang, setidaknya tidak sepenuhnya ketakutan oleh resolusi First Republic. Saham First Republic Bank turun, tetapi hanya sedikit. Berita First Republic hanya salah satu dari banyak peristiwa yang diawasi ketat yang akan bebani investor pekan ini.

CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon menuturkan, kalau penjualan sebagai penanda krisis. “Tidak ada bola kristal yang sempurna, tapi, menurut saya sistem perbankan sangat stabil. Bagian dari krisis ini sudah berakhir,” ujar Jamie Dimon.

Namun, tak semua pihak setuju dengan optimisme itu. Profesor Hukum dan Pakar Keuangan Publik Cornell University, Robert Hockett menuturkan, pengambilalihan tersebut bukan akhir dari krisis perbankan.

“Berlawanan dengan prediksi wall street yang optimisme dan prediksi Washington yang dibuat selama akhir pekan, ini bukan akhir dari krisis perbankan pada Maret, ini masih permulaan,” tutur Hockett.

Ia menuturkan, penjualan ke JPMorgan hanya membuat JPMorgan makin besar dan kekuatan bank wall street terbesar semakin terkonsentrasi. Dampaknya adalah tergerusnya industri perbankan regional.

3 dari 3 halaman

Usulan Pengamat

Hockett dan yang lainnya berpendapat kalau sudah waktunya menghapus atau setidaknya mencabut batas USD 250.000 pada asuransi simpanan. Hal itu dinilai dapat hentikan kepanikan yang menyebabkan deposan melarikan diri.

Gagasan itu mendapatkan dorongan ekstra pada Senin, 1 Mei 2023 ketika FDIC merilis laporan yang menganjurkan peningkatan batas asuransi simpanan untuk rekening pembayaran bisnis. Anggota Parlemen di Washington DC dilaporkan sedang dalam pembicaraan untuk setidaknya sementara memperluas batas atas FDIC.

Sementara jumlah USD 250.000 adalah jumlah yang banyak untuk orang biasa, rekening yang membuat bankir gelisah adalah milik bisnis, yang memiliki seperti penggajian dan biaya operasional lainnya dengan mudah melebihi jumlah itu.

Adapun beban First Republic adalah sangat berkaitan dengan ketergantungannya pada klien kaya. “Ketakutan saya adalah jika kita tidak melakukan ini dengan sangat cepat yang akan kita lihat adalah bank-bank Jamie Dimon melahap sisa industri perbankan regional,” dan itu akhirnya akan membawa semacam nasionalisasi bank, sistem perbankan,” ujar dia.

Ia menambahkan,tidak mungkin dapat membiayai produksi dan startup serta usaha kecil di setiap wilayah negara jika satu-satunya bank yang dimiliki adalah beberapa bank raksas di wall street dan San Francisco.

Menghilangkan batasan akan haruskan bank untuk membayar lebih banyak ke dana asuransi simpanan meski dia membayangkan sistem berjenjang di mana bank besar yang mengambil risiko lebih tinggi membayar premi lebih tinggi. “Anda dapat menganggap asuransi simpanan federal sedikit mirip senjata nuklir. Kamu hanya memilikinya sehingga kami tidak perlu menggunakannya,” tutur dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini