Sukses

Data BPS: Harga Beras Sudah Melonjak Sejak Juli 2022

BPS mencatat beras masih memberikan andil inflasi di bulan November 2022 sebesar 0,37 persen.

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat beras masih memberikan andil inflasi di bulan November 2022 sebesar 0,37 persen. Berdasarkan data, kenaikan harga beras sebenarnya sudah terjadi sejak bulan Juli lalu.

Beras di bulan Juli memberikan andil inflasi 0,01 persen. Lalu andilnya naik menjadi 0,54 persen di bulan Agustus.

Pada bulan September beras memberikan andil yang tinggi terhadap kenaikan inflasi sebesar 1,44 persen. Kemudian di bulan Oktober andilnya melemah menjadi 1,13 persen.

"Beras masih mengalami inflasi, namun dari grafik yang terlihat terjadi pelemahan," kata Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa, BPS, Setianto dalam konferensi pers, Jakarta, Kamis (1/12).

Meski andil terhadap inflasi melemah di bulan November, namun harga beras masih mengalami peningkatan. BPS mencatat rata-rata harga beras Rp 11.877 per kilogram.

"Dari sisi harga kita lihat menunjukkan harga yang meningkat," kata dia.

Kenaikan harga beras dalam 4 bulan terakhir disebabkan efek musiman. Selama kurun waktu tersebut terjadi penurunan produksi beras menjelang akhir tahun.

Selain itu, kenaikan harga beras ini juga dipicu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di bulan September lalu. Sehingga tingkat inflasi beras di bulan tersebut juga menjadi yang tertinggi yaitu 1,44 persen.

"Ini memang masih mengalami inflasi namun dengan perkembangan yang semakin melemah," pungkasnya.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Mentan Klaim Produksi Beras Tahun Ini Terbesar, Masih Perlu Impor?

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo menyatakan stok beras aman sampai akhir 2022. Ia bahkan mengklaim produksi beras tahun ini jadi yang terbesar, dengan mengacu pada data milik Badan Pusat Statistik (BPS).

"Kamu lihat data BPS dong, kan kita sudah sepakat kalau semuanya menggunakan satu data milik BPS. Bahkan ini tahun lah di mana produksi beras kita terbesar, itu data BPS. Kalo enggak percaya data BPS, data siapa lagi?" sebutnya di Jakarta, Senin (28/11/2022).

Selain data BPS, ia pun mengaku mendapat laporan dari kepala daerah bahwa stok beras mencukupi. "Saya sebagai Mentan tidak hanya menunggu laporan dari atas kan, dari bawah laporan bupati oke, laporan dari gubernur juga seperti itu," imbuhnya.

Saat ditanya soal kemungkinan impor beras seperti yang digaungkan oleh Perum Bulog, Mentan enggan menjawabnya secara spesifik.

"Jangan tanya saya kalau soal itu, itu kan kebijakan. Kau kalau sudah punya baju harus beli baju lagi? Untuk apa? Kecuali kalau mau gaya," ujar dia.

Adapun mengacu pada data BPS, produksi padi di 15 provinsi pada 2022 relatif menurun bila dibandingkan dengan 2020 dan 2021. Namun, beberapa provinsi seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, dan Yogyakarta mengalami kenaikan.

3 dari 4 halaman

Keinginan Bulog

Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso pun sempat menekankan urgensi melakukan impor beras dari negara lain. Pasalnya, stok cadangan beras pemerintah (CBP) per 22 November berada di kisaran 594.856 ton, jauh di bawah target yang ditugaskan, yakni 1-1,2 juta ton sampai akhir 2022.

Terlebih menurut proyeksi sampai 31 Desember 2022, stok akhir CBP yang dikelola Bulog pun diperkirakan masih jauh dari 600 ribu ton, tepatnya 399.550 ton. Pria yang kerap disapa Buwas ini pun mengaku pusing.

"Bulog ini membiayai dirinya atas produksi dirinya sendiri. Tapi, kita melaksanakan tugas negara. Saya bilang, memang ini yang pimpin di sini walaupun dirutnya S7, udah profesor doktor berkali-kali, tetap pening," ujar Buwas dalam sesi temu bersama pemimpin redaksi media, Kamis (24/11/2022).

4 dari 4 halaman

Bulog Tak Bisa Ambill Keputusan

Menurut dia, Bulog tidak bisa mengambil keputusan sepihak untuk melakukan impor beras, karena mandat itu berada di bawah 6 menteri. "Kalau 6 menteri ini punya polanya masing-masing, dan tidak satu pada tujuannya, emang bisa kita tabrak? Enggak," tegasnya.

"Contoh saja, begitu kita mau penugasan, impor barang A, emang gampang? Birokrasi kita panjang dan lama. Karena tanda petik, begitu kita mau mengajukan birokrasi, kami bingung, berapa yang untuk saya. Karena itu sepertinya belum dianggap bisnis," bebernya.

  

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.