Sukses

BPKN: Produsen dan Distributor Obat Sirup Harus Ganti Rugi Korban Gagal Ginjal Akut

Selain himbauan untuk masyarakat berhenti membeli dan mengkonsumsi, pemerintah juga harus memastikan seluruh apotik untuk benar-benar menyetop penjualan obat sirup kepada masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Terdapat 241 anak terkena Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal/Acute Kidney Injury (AKI) di Indonesia dengan 133 kematian atau 55 persen dari kasus. Kasus gagal ginjal akut ini ditemukan di 22 provinsi di Indonesia.

Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)  M Mufti Mubarok mengatakan, meski pemerintah telah melarang peredaran obat sirup yang mengandung cemaran Etilen glikol dan Dietilen Glikol (DEG). BPKN juga memperhatikan secara serius terkait tanggung jawab pelaku usaha selaku produsen dan distributor.

Menurutnya, kerugian masyarakat yang telah membeli dan mengkonsumsi apalagi yang menjadi korban harus tetap mendapatkan pertanggungjawaban.

"Baik dari pihak terkait mulai dari produksi hingga ketika obat tersebut diizinkan untuk dijual dan dikonsumsi masyarakat baik yang termasuk obat bebas maupun yang harus melalui resep dokter," jelas dia dalam keterangan tertulis, Sabtu (22/10/2022).

Mufti menambahkan agar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kedepan harus lebih ketat lakukan pengawasan peredaran obat. Tindakan itu dinilai perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari 131 anak yang dilaporkan alami gangguan ginjal akut misterius di 14 provinsi Indonesia.

Mufti Mubarok juga mengatakan, selain himbauan untuk masyarakat berhenti membeli dan mengkonsumsi, pemerintah juga harus memastikan seluruh apotik untuk benar-benar menyetop penjualan obat sirup kepada masyarakat.

"Pembiayaan bagi korban yang saat ini dirawat maupun yang meninggal agar menjadi tanggungjawab pemerintah atau jika telah dapat diidentifikasi secara pasti, maka pihak pelaku usaha juga harus bertanggungjawab," tutup Mufti.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Menkes: 241 Kasus Gangguan Ginjal Akut pada Anak, 133 Meninggal Dunia

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa dari data yang dilaporkan sudah ada 241 kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal atau acute kidney injury (AKI) di Indonesia. Angka kematian pada kasus ini lebih dari setengahnya.

"Sampai sekarang sudah mengidentifikasi ada 241 kasus gangguan ginjal progresif atipikal di 22 provinsi," kata Budi pada konferensi pers pada 21 Oktober 2022 sore hari.

"Dengan 133 kematian atau 55 persen dari kasus yang ada," lanjut Budi.

Budi menerangkan bahwa kasus gangguan ginjal akut pada anak sebenarnya tiap bulan memang ada sekitar 1-2 kasus per bulan. Namun, pada bulan Agustus 2022 menunjukkan tren kenaikan. Di bulan tersebut ada 36 anak yang dilaporkan mengalami gangguan ginjal akut.

Lalu, pada September kasus bertambah 76. Lalu di bulan ini sudah ada 110 lagi tambahan kasus gangguan ginjal akut.

Dari 241 kasus, penyakit ini paling banyak menyerang anak usia 1-5 tahun yakni 153 kasus.

"Kejadian ini paling banyak menyerang balita, di bawah lima tahun," kata Budi lagi.

Berikut rincian jumlah kasus berdasarkan umur:

- Di bawah 1 tahun: 26 kasus

- 1- 5 tahun: 153 kasus

- 6-10 tahun: 37 kasus

- 11-18 tahun: 25 kasus

 

3 dari 3 halaman

Perburukan Terjadi Cepat Sekali

Pada 241 kasus, perburukan terjadi cepat sekali. Sebagian dari anak-anak mengalami demam, mual, muntah, infeksi saluran pernapasan atas, diare, nyeri bagian perut, dehidrasi dan pendarahan. Kemudian anak tersebut mengalami penurunan jumlah urine bahkan hingga tidak bisa pipis sama sekali.

"Di bulan Agustus-September kita lihat yang masuk rumah sakit cepat sekali kondisinya memburuk.  Sesudah lima hari (sakit), urine menurun secara drastis. Sehingga 55 persen meninggal dunia," kata Budi lagi.

Penyebab kenaikan kasus gangguan ginjal akut pada anak kemudian segera ditindaklanjuti dengan penelitian oleh Kementerian Kesehatan pada September 2022. Salah satu temuan yang ada, bahwa kasus ini tidak terkait dengan COVID-19 dan vaksin COVID-19.

"Apa karena COVID-19? Sesudah kita lihat ternyata yang memiliki antibodi (COVID-19) sangat sedikit sekali. Lalu, apa karena vaksin? Di bawah lima tahun kan enggak divaksin, jadi bukan karena vaksin COVID-19," lanjut Budi.

Kemudian, dilakukan juga pemeriksaan patologi untuk mencari tahu apakah kondisi tersebut disebabkan oleh bakteri atau virus. Ternyata tidak juga. "Ternyata kecil sekali patogen pada pasien-pasien yang terkena."

Pemerintah pun terus mencari tahu penyebabnya hingga kini. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.