Sukses

Saat Negara Lain Bertarung dengan Inflasi, China Justru Dihantui Risiko Deflasi Dampak Kebijakan Ketat Covid-19

China dihantui peningkatan risiko deflasi, karena menyusutnya permintaan di bawah krisis properti dan pembatasan Covid-19 yang berkepanjangan.

Liputan6.com, Jakarta - China menghadapi peningkatan risiko deflasi karena menyusutnya permintaan dampak krisis properti dan pembatasan Covid-19 yang berkepanjangan. Ancaman deflasi ini berkebalikan dengan beberapa negara maju yang justru menghadapi inflasi tinggi.

Indeks yang disusun oleh China Beige Book International (CBBI) mengungkapkan bahwa sejumlah perusahaan di China melaporkan pertumbuhan harga jual terlemah sejak kuartal terakhir 2020 dalam tiga bulan hingga September.

Penurunan itu terjadi meski upah dan biaya input sedikit meningkat dari kuartal sebelumnya.

CBBI mensurvei 4.354 perusahaan selama periode tersebut.

"Sementara hampir seluruh dunia panik atas lonjakan inflasi, risiko deflasi membayangi China, berkat dampak loyonya permintaan karena kebijakan nol-Covid-19," kata kepala eksekutif CBBI Leland Miller, dikutip dari The Straits Times, Kamis (29/9/2022). 

Sebagian besar tekanan deflasi sejauh ini berasal dari industri properti, menurut laporan CBBI, yang mencatat bahwa industri ritel dan jasa masing-masing mengalami percepatan harga pada kuartal ketiga.

Selain industri properti, tekanan deflasi diperparah dengan lockdown di daerah-daerah seperti Shanghai dan provinsi Jilin, yang membatasi aktivitas awal tahun, dan kota-kota lain salah satunya Chengdu yang baru-baru ini memberlakukan lockdown.

Indeks harga konsumen utama China naik 2,5 persen pada Agustus 2022 karena harga daging babi terus naik dan harga BBM yang masih tinggi.

Namun laju kenaikan melambat dari bulan sebelumnya, dan inflasi inti, yang tidak termasuk harga pangan dan energi, tidak berubah dari angka 0,8 persen bulan lalu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kekhawatiran pada Industri Manufaktur di China

Survei CBBI juga memberikan gambaran yang mengkhawatirkan bagi industri manufaktur di China.

Indikator termasuk margin keuntungan dan harga jual pada kuartal ketiga memburuk, baik dibandingkan dengan periode April-Juni maupun dengan kuartal ketiga 2021.

Sementara itu, sektor ritel dan jasa menunjukkan pemulihan pada indikator-indikator tersebut dari kuartal kedua, meskipun tetap di bawah level 2021.

Aktivitas pinjaman korporasi, sementara itu, terus menurun pada kuartal ketiga, menunjukkan pelonggaran kebijakan moneter People's Bank of China' belum berdampak signifikan terhadap perusahaan di China.

"Perusahaan tidak ingin merencanakan masa depan jika mereka tidak mengetahui masa depan. Dan untuk mengetahui masa depan, kebijakan nol-Covid-19 perlu dicabut terlebih dahulu," kata Miller.

3 dari 3 halaman

Covid-19 Tekan Ekonomi, Orang Kaya China Mulai Jual Tas Hermes hingga Jam Rolex

Sejumlah orang kaya di China mulai menjual barang mewah mereka, di antaranya tas Hermes hingga jam tangan Rolex, untuk memperbesar simpanan uang tunai di tengah ketidakpastian ekonomi, ketika negara itu masih memberlakukan kebijakan nol-Covid-19.

Namun, situasi ini menjadi keuntungan bagi Zhu Tainiqi, pendiri toko barang mewah bekas ZZER yang berbasis di Shanghai, yang sekarang mencari ruang toko untuk memperluas bisnisnya.

Mantan pemodal ventura melihat lonjakan orang yang ingin menjual tas Hermes Birkin atau jam tangan Rolex mereka untuk mengumpulkan uang, serta lonjakan minat dari pembeli yang memperketat ikat pinggang.

"Semakin banyak orang sekarang sadar bahwa mereka dapat menjual barang-barang mewah untuk sejumlah uang dan pihak pembeli memperhatikan bahwa mereka bisa menjualnya dengan nilai besar," kata Zhu, dikutip dari Channel News Asia, Rabu (28/9/2022). 

"Mereka berpikir, 'Mengapa tidak mencoba menjualnya?," lanjut dia.

Dia mengatakan jumlah pengirim ZZER, atau orang yang menitipkan penjualan barang mereka, telah melonjak 40 persen sejauh ini pada tahun 2022 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Platform tersebut bahkan sudah memiliki 12 juta member penjual dan mengharapkan untuk menjual 5 juta barang mewah tahun ini.

Pasar barang mewah bekas China diperkirakan akan tumbuh hingga sebesar USD 30 miliar pada 2025 mendatang dari USD 8 miliar pada 2020, menurut perkiraan konsultan iResearch akhir tahun lalu.

"Saya pikir karena minat di China ... benar-benar dapat menggerakkan jarum untuk beberapa merek berpikir tentang bagaimana mereka akan menangani (penjualan kembali) ini, dan peran apa yang akan mereka mainkan dalam keseluruhan proses," kata Iris Chan, partner dan kepala pengembangan klien di konsultan Digital Luxury Group.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.