Sukses

Ekonom: Kemampuan Bayar Utang Pemerintah Tak Sebanding Penerbitannya

Utang pemerintah terus menjadi sorotan publik.

Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif Center of Economy and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang kemampuan bayar utang pemerintah tak sebanding dengan terbitnya utang baru. Ini disebabkan oleh tingginya bunga utang.

Ia memandang titik kritis dalam melihat porsi utang pemerintah adalah beban bunga utang yang mahal. Sehingga mempengaruhi kemampuan bayar pemerintah.

"Kemampuan bayar utang tidak sebanding dengan kecepatan penerbitan utang baru, dan pemanfaatan dari utang masih terjebak pada belanja yang tidak produktif. Jadi tidak hanya soal rasio utang dianggap masih aman dibawah level 60 persen, tapi bunga utang pemerintah terutama SBN itu sangat mahal," kata dia kepad Liputan6.com, Jumat (29/7/2022).

Bhima memandang ada risiko ketika tingkat suku bunga meningkat secara signifikan, maka akan berpengaruh pada bunga utang. Terlebih, menyangkut sisi utang Surat Berharga Negara (SBN) yang mendominasi utang Indonesia.

"Sekarang SBN mendominasi sampai 88,2 persen dari total utang pemerintah, sementara investor menuntut imbal hasil SBN harus tinggi yakni 7,4 persen untuk tenor 10 tahun," ujarnya.

Dengan kondisi itu, dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan terbebani untuk membayar bunga utang. Angkanya fantastis, melebihi Rp 410 triliun.

Kemudian soal kemampuan bayar bisa dicek Debt Service Ratio nya 39,2 persen dari data terakhir. Filipina dengan rating utang yang lebih baik yakni BBB+ dibanding Indonesia BBB hanya memiliki DSR 10,1 persen.

"Semakin tinggi DSR artinya kemampuan bayar utang dari penerimaan ekspor cenderung melemah," ujarnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Belanja Pegawai Tinggi

Lebih lanjut, porsi belanja pemerintah yang masih konsentrasi pada belanja barang dan pegawai menjadi masalah tersendiri. Itu memberikan kesan utang yang diambil dinilai tak produktif.

"Sementara pembiayaan utang untuk infrastruktur pun menuai masalah. Infrastruktur masif dibangun tapi biaya logistik turunnya kecil sekali masih 23,5 persen dari PDB," ungkapnya.

"Konten impor besi baja, mesin dalam proyek infrastruktur juga jadi beban terhadap transaksi berjalan. Inilah yang disebut utang tidak dilakukan secara terukur," tutur Bhima.

 

3 dari 4 halaman

Peringkat Utang RI

Lembaga Pemeringkat Japan Credit Rating Agency, Ltd. (JCR) kembali mempertahankan peringkat utang Indonesia atau Sovereign Credit Rating pada BBB+ (Investment Grade), dengan outlook stabil pada 27 Juli 2022.

Dikutip dari keterangan Bank Indonesia, Kamis (28/7/2022), keputusan ini mempertimbangkan prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat seiring permintaan domestik yang membaik, utang pemerintah yang terkendali, dan daya tahan eksternal yang didukung oleh akumulasi cadangan devisa.

JCR memperkirakan utang pemerintah akan menurun secara gradual seiring perbaikan postur fiskal yang didukung oleh peningkatan penerimaan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik dan harga komoditas yang meningkat.

Di sisi lain, JCR juga mencermati tantangan yang berasal dari ketergantungan pada komoditas sumber daya alam yang masih tinggi dan penerimaan pemerintah yang rendah.

Menanggapi keputusan JCR tersebut, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyatakan afirmasi rating Indonesia pada peringkat BBB+ dengan outlook stabil menunjukkan, pemangku kepentingan internasional tetap memiliki keyakinan yang kuat atas terjaganya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia, di tengah risiko dampak dari perlambatan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi domestik.

“Hal ini didukung oleh kredibilitas kebijakan yang tinggi serta sinergi bauran kebijakan yang kuat antara Bank Indonesia dan Pemerintah,” kata Perry.

 

4 dari 4 halaman

Cermati Perkembangan Ekonomi

Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global dan domestik, merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan stabilitas makroekonomi dan stabilitas keuangan, termasuk penyesuaian lebih lanjut stance kebijakan bila diperlukan, serta terus memperkuat sinergi dengan Pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.

Perry menjelaskan, JCR memandang momentum pemulihan ekonomi Indonesia akan berlanjut. Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh melampaui 5 persen pada 2022, terutama didukung oleh konsumsi swasta, investasi, dan ekspor, yang didorong oleh kenaikan harga komoditas.

Dari sisi fiskal, pada April 2022, Pemerintah telah menaikkan PPN sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan penerimaan dan memperbaiki postur fiskal.

“Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendukung tercapainya komitmen untuk menurunkan defisit fiskal menjadi di bawah 3 persen dari PDB pada 2023,” ujarnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.