Sukses

Dunia Hadapi Ancaman Krisis Pangan, Apa Penyebabnya?

Kenaikan harga pangan terjadi sebagai akibat dari naiknya harga pupuk. Kondisi ini terjadi setelah rantai pasok terganggu akibat perang antara Ukraina dan Rusia.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan kepada seluruh jajarannya untuk bersiap menghadapi krisis pangan. Hal ini sudah mulai terlihat dengan melambungnya harga beberapa komoditas pangan.

Kenaikan harga pangan terjadi sebagai akibat dari naiknya harga pupuk. Kondisi ini terjadi setelah rantai pasok terganggu akibat perang antara Ukraina dan Rusia.

"Tren kenaikan harga pangan akan berlanjut dipengaruhi tren tingginya harga pupuk, gangguan rantai pasok akibat perang di Ukraina," kata Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Selasa (21/6/2022).

Selain itu, Bhima menyebut ada banyak faktor lain kenaikan harga pangan. Mulai dari ketergantungan Indonesia terhadap produk impor, gangguan cuaca, efek pelemahan kurs rupiah hingga kendala distribusi di dalam negeri.

Rantai distribusi yang panjang juga turut menjadi faktor lain penyebab harga pangan yang tinggi. Hal ini juga diiringi dengan pengawasan dari pemerintah yang masih belum optimal.

Sehingga harga pangan juga kerap dikendalikan para tengkulak. "Faktor yang tidak kalah penting seperti masih panjangnya rantai distribusi," kata dia.

Dia mencontohkan masalah harga minyak goreng yang masih jauh dari target pemerintah. Saat ini harga minyak goreng curah bertahan di Rp 18.000 per kilogram. Sedangkan harga minyak goreng kemasan masih di atas Rp 25.000.

Sehingga kata Bhima, meskipun kasus Covid-19 semakin terkendali dan momentum pemulihan berlanjut, namun masalah kenaikan harga pangan tidak boleh dikesampingkan. Pemerintah harus bisa menjamin stabilitas harga pangan agar momentum pemulihan tidak terganggu.

"Jadi meski ekonomi mulai bergerak karena pandemi menurun dibanding puncak omicron, tapi masalah stabilitas harga dan ketersediaan pangan jadi problem yang serius," pungkasnya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Waspada Krisis Pangan Dunia

Kinerja ekspor Indonesia pada Mei 2022 turun hingga 21,29 persen (mtm) menjadi USD 21,51 miliar. Turunnya nilai tersebut sebagai akibat kebijakan pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya yang berlangsung pada 28 April-23 Mei lalu.

Pembatasan ekspor di tengah booming harga komoditas nyatanya tak hanya dilakukan Indonesia saja. Sejumlah negara juga melakukan restriksi terhadap hasil produksinya seperti Ukraina, Rusia, China hingga India. Hal ini yang kemudian menjadi ancaman krisis pangan dunia.

"Kebijakan pembatasan ekspor juga dilakukan berbagai negara hingga akhir tahun," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Setianto di Gedung BPS, Jakarta Pusat, Rabu (15/6/2022).

Dia membeberkan Ukraina melarang izin ekspor produk unggas, telur, minyak bunga matahari hingga daging sapi. Kebijakan tersebut berlaku sejak 6 Maret sampai 31 Desember 2022.

"Larangan ini berlaku hingga Desember tahun ini," kata dia.

Hal yang sama juga dilakukan Rusia. Negara yang tengah berkonflik dengan Ukraina ini melarang ekspor gandum, gandum hitam, barkey, jagung, gula dan mesin selama 14 Maret-30 Juni 2022.

Rusia juga melarang ekspor biji bunga matahari dari 1 April-31 Agustus 2022. Sebagai negara eksportir pupuk, Rusia juga tidak mengekspor seja 4 Februari hingga 31 Agustus tahun ini. Begitu juga dengan pupuk nitrogen dilarang ekspor sejak 3 November 2021 hingga 31 Desember 2022.

3 dari 3 halaman

Larangan Ekspor Pupuk China

Larangan ekspor pupuk juga dilakukan China. Negeri tirai bambu ini melarang ekspor pupuk sejak 24 September 2021 hingga 31 Desember 2022.

Sementara itu, larangan ekspor yang dilakukan India hanya pada komoditas gandum. Kebijakan pelarangan tersebut dimulai pada 13 Mei sampai 31 Desember 2022.

Setianto mengatakan berbagai kebijakan larangan ekspor tersebut akan memengaruhi neraca perdagangan Indonesia. Baik itu kinerja ekspor maupun impor komoditas.

"Ini semua akan memengaruhi neraca perdagangan kita," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.