Sukses

Inflasi Global Bergejolak, Indonesia Harus Waspada

Pemerintah dinilai perlu mewaspadai imbas distrupsi logistik perdagangan global terhadap peningkatan inflasi.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dinilai perlu mewaspadai imbas distrupsi logistik perdagangan global terhadap peningkatan inflasi. Hal ini disebabkan oleh terganggunya pasokan logistik disaat tumbuhnya permintaan setelah pandemi mereda.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Mardani H. Maming.

Namun Maming menjelaskan bahwa inflasi Indonesia masih berada di tingkat yang rendah, Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa per Agustus 2021 inflasi berada di 1,59 persen, angka terendah juga terjadi pada Juni 2021 yakni 1,33 persen.

"Menurut saya, kita perlu mengendalikan inflasi sesuai kebutuhan. Saya rasa upaya pemerintah untuk mendorong inflasi ke angka 3 persen pada 2022 merupakan langkah tepat. Pertumbuhan ekonomi harus disertai dengan kenaikan inflasi yang sesuai. Kita harus yakin pertumbuhan ekonomi di tahun 2022 tumbuh maksimal, jika situasi pandemi bisa terkontrol," ujar Maming, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (3/12/2021).

Meskipun begitu, Maming mewanti-wanti agar kenaikan inflasi harus berasal dari naiknya permintaan. Pemerintah harus menghindari kenaikan inflasi dari tekanan produksi atau distribusi, yakni cost-push inflation.

Cost-push inflation merupakan inflasi yang didorong naiknya biaya produksi di sisi produsen, sehingga ikut mendorong inflasi di sisi konsumen dan bukan karena naiknya permintaan. Artinya inflasi ini justru akan menurunkan daya beli masyarakat.

"Jika angka inflasi 3 persen pada 2022 tercapai tapi merupakan cost-push inflation, Indonesia justru akan menghadapi masalah baru. Pertumbuhan ekonomi pun dikhawatirkan tidak terjadi, atau tercapai dengan kondisi tidak sehat, bagi pengusaha muda pun akan sulit mengembangkan usaha. Kami di HIPMI terus menggelorakan semangat entrepreneurship, kita dorong terciptanya pelaku usaha baru," ucapnya.

Menurut mantan Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan itu, untuk mencegah hal itu BI harus mampu berkolaborasi dengan pemerintah, khususnya kementerian-kementerian terkait. Upaya menjaga inflasi dari sisi moneter dinilai tidak akan cukup jika cost-push inflation terjadi.

"HIPMI menyoroti masih tingginya ego sektoral kementerian-kementerian di Indonesia, sehingga perlu upaya ekstra untuk memastikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi terjadi dengan sehat. Kami menilai bahwa BI dan pemerintah harus memiliki komitmen yang sama untuk menjaga perekonomian dengan baik," ungkapnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pengetatan Moneter

Kebijakan moneter jika tidak dikonversi menjadi aktivitas ekonomi, Ia menambahkan, justru akan memicu matinya roda pereknomian. Oleh karenanya, harus disertai dengan aktivitas ekonominya, seperti menciptakan pabrik baru, agar terjadi demand pull inflation.

"Kenaikan inflasi tersebut akan mendorong untuk melakukan pengetatan moneter. Hal inilah yang harus diwaspadai karena akan berimplikasi secara global, termasuk di negara-negara berkembang," tutur CEO PT Maming Enam Sembilan Group yang membawahi 56 entitas anak perusahaan itu.

Sekedar diketahui, tekanan inflasi global (imported inflation) menjadi salah satu risiko yang akan muncul pada 2022. Demand akan naik seiring aktivitas ekonomi global mulai bergerak, tapi terjadi kelangkaan barang-barang pabrikan.

Lonjakan inflasi yang terjadi di tingkat global saat ini terjadi karena adanya disrupsi dari sisi produksi dan suplai komoditas yang diikuti dengan peningkatan harga. Hal ini dikhawatirkan akan berimplikasi pada upaya pemulihan ekonomi yang tengah dilakukan banyak negara.

Risiko-risiko lainnya yang perlu diwaspadai adalah pandemi Covid-19 sering kembali merebaknya varian Omicron di berbagai negara, volatilitas harga komoditas, implikasi kenaikan suku bunga di negara maju terutama AS, rebalancing ekonomi Tiongkok, serta disrupsi rantai pasok dan dinamika geopolitik.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.