Sukses

Miliarder Elon Musk Harus Hati-hati, Deretan Eks Karyawannya Siap Salip Kesuksesan Tesla

Sedikitnya ada lima mantan karyawan Tesla yang sekarang sudah menjangkau bisnis baru yang juga sedang tumbuh pesat.

Liputan6.com, Jakarta Sebagian besar orang pasti tahu tentang Tesla, perusahaan kendaraan listrik yang dibangun miliarder atau orang terkaya Elon Musk.

Demikian pula, mungkin sebagian hanya mengenal PayPal hanya sebagai perusahaan perintis pembayaran elektronik terkemuka dunia.

Tapi siapa sangka, jika dilacak, mantan pekerja lawas PayPal justru kini merupakan pendiri sejumlah perusahaan teknologi mapan, seperti LinkedIn, Tesla, Yelp hingga Youtube dan banyak lagi.

Belakangan muncul istilah 'PayPal Mafia', untuk merujuk pada jaringan mantan karyawan periode awal PayPal yang kini sudah sukses dengan perusahan barunya. Sebenarnya fenomena serupa bukan hanya terjadi di PayPal, tapi juga terjadi di Tesla.

Seiring bertumbuhnya Tesla sebagai perusahaan raksasa yang memimpin produksi kendaraan listrik, perusahaan besutan Elon Musk ini telah melahirkan jaringan mantan karyawan yang tersebar di berbagai perusahaan baru yang kebanyakan juga bergerak pada industri kendaraan listrik.

Dikutip dari Forbes, Rabu (24/2/2021), sedikitnya ada lima mantan karyawan Tesla yang sekarang sudah menjangkau bisnis baru yang juga sedang tumbuh pesat.

Jika dihitung, bisnis kelima mantan karyawan miliarder Musk ini diperkirakan memiliki kapitalisasi hingga USD 30 miliar setara Rp 423 triliun.

Meski nilai tersebut masih jauh untuk menandingi kapitalisasi Tesla USD 780 miliar setara Rp 11 ribu triliun. perusahaan-perusahaan tersebut memiliki proyeksi cerah di masa depan. Bukan hanya sebagai pendukung, bahkan bisa menjadi saingan Tesla.

Siapa saja mereka? berikut adalah lima mantan karyawan Elon Musk yang kini sukses dengan perusahannya sendiri.

1. Sterling Anderson

Anderson merupakan co-founder dan Chief Product Officer (CPO) dari Aurora Inovation, perusahaan teknologi kendaraan otonom di Amerika Serikat.

Ia sempat bergabung dengan Tesla pada tahun 2013 untuk membantu pengembangan teknologi kendaraan tanpa awak.

Setelah sempat terlibat dalam peluncuran Tesla Model X, Anderson keluar tiga tahun kemudian. Ia kemudian membuat perusahaan produsen mobil tanpa awak, Aurora bersama ilmuwan lainnya, yaitu mantan penanggung jawab proyek mobil otonom Google, Chris Urmson dan peneliti Artificial Intelegance (AI) Universitas Carnegie Mellon, Drew Bagnell.

Aurora kini berkembang sangat cepat, valuasinya telah menyentuh USD 10 miliar setara Rp 141 triliun. Setelah mengakuisisi unit kendaraan otonom milik Uber, Aurora juga telah menjalin kemitraan dengan produsen truk Paccar dan Toyota.

Dikutip dari TechCrunch.com, Toyota dan Aurora bakal melakukan uji coba pertama mobil jenis minibus tanpa awak yang dinamai Sienna pada akhir tahun ini. Dengan pertumbuhan ini, membuka peluang Aurora untuk tampil sebagai pemain utama produsen kendaraan teknologi canggih tanpa awak di dunia.

 

Saksikan Video Ini

2 dari 3 halaman

2. Gene Berdichevsky

Berdichevsky merupakan salah satu karyawan pertama Musk. Ia bergabung dengan Tesla pada tahun 2004 sebagai insinyur untuk pengembangan baterai untuk mobil listrik pertama mereka, Roadster. Ia kemudian keluar dua tahun pasca Roadster resmi diluncurkan.

Setelah hengkang, Berdichevsky fokus pada pengembangan batu baterai berbahan lithium seperti yang dibuat Tesla namun dengan efisiensi lebih baik. Barulah pada tahun 2011 ia mendirikan perusahaannya sendiri, Sila Nanotechnology.

Produsen batu baterai yang berbasis di California ini baru saja mengumumkan telah mengumpulkan USD 930 juta setara Rp 13 triliun dana segar yang akan dipakai untuk membangun pabrik baru di Amerika Utara.

Pabrik baru tersebut diprediksi mampu memproduksi bahan anoda untuk 100 GWh baterai setiap tahunnya, cukup untuk 1 juta kendaraan listrik.

Seiring tumbuh pesatnya industri batu baterai untuk kendaraan listrik, kini Sila Nano telah ikut tumbuh dengan valuasi diperkirakan mencapai USD 3,3 miliar setara Rp 46 triliun.

Berdichevsky juga telah membawa perusahaannya menjalin kemitraan dengan beberpa perusahaan otomotif raksasa, seperti BMW dan Amperex Technology Limited (ATL) asal Jepang.

3. Henrik Fisker

Fisker pernah bekerja untuk Tesla pada tahun 2007 sebagai konsultan desain Tesla Model S. Meski begitu, setahun berselang Musk mengajukan gugatan atas Fisker atas pelanggaran kontrak dan tuduhan Fisker sebagai mata-mata untuk melihat sisi dalam produksi Tesla. Namun Musk kalah dalam gugatan tersebut.

Sekitar satu dekade yang lalu, desainer otomotif yang juga pernah bekerja dengan BMW dan Aston Martin ini kemudian mendirikan Fisker Automotive. Perusahaan kendaraan listriknya sendiri yang bertujuan untuk menyaingi Tesla milik Musk.

Setelah sempat merilis mobil model plug-in dan dipakai sejumlah tokoh terkenal seperti Leonardo DiCaprio, Justin Bieber hingga Wapres Al Gore, pada tahun 2013 Fisker Automotive mengumumkan bangkrut.

Kini Fisker kembali dengan perusahaan barunya bernama Fisker Inc. Rencananya Fisker akan merilis model Ocean, SUV bertenaga baterai yang akan dipasarkan mulai tahun depan. Fisker menggandeng perusahaan teknologi asal Kanada, Magna International untuk memproduksi seri tersebut.

Sebelumnya Fisker juga telah go publik untuk mendapat pendaan dengan skema SPAC tahun lalu. Perusahaan ini berhasil meraup dana segar USD 1 miliar setara lebih dari Rp 14 triliun untuk biaya pengembangan produksi dan perusahaan telah memiliki kapitalisasi USD 4 miliar setara Rp 56 triliun.

 

3 dari 3 halaman

4. Peter Rawlinsen

Rawlinsen sudah khatam betul industri otomotif, ia adalah veteran dari perusahaan otomotif Jaguar dan Lotus. Kiprahnya di Tesla dimulai pada tahun 2009 dan setahun kemudian diberi tanggung jawab sebagai kepala teknisi untuk mulai merakit Tesla Model S.

Setelah proyek tersebut rilis pada tahun 2012, di tahun yang sama Rawlinsen memutuskan keluar dari Tesla. Bukan hanya karena ia harus kembali ke Inggris merawat ibunya yang sakit, diduga ia juga tidak sejalan dengan Musk saat merumuskan rencana peluncuran Tesla Model X.

Kini Rawlinsen bergabung dengan Lucid Motors sebagai CEO. Perusahaan teknologi yang berbasis di Newark, California ini menjadi salah satu rival Tesla di industri kendaraan listrik. Sebagian besar saham perusahaan ini merupalan milik lembaga investasi asal Arab Saudi yang menyuntikkan dana sekitar USD 1,3 miliar setara Rp 18,5 triliun.

Seiring terus bertumbuhnya bisnis Lucid, perusahaan ini baru saja mengumumkan akan go publik dengan skema SPAC. Rencananya IPO ini akan menggandeng perusahaan SPAC milik miliuner Michael Klein dengan nilai pendanaan USD 24 miliar setara Rp 340 triliun.

5. JB Straubel

Seperti Musk, Straubel merupakan salah satu pendiri Tesla yang memegang jabatan sebagai Chief Technology Officer (CTO) hingga tahun 2019. Setelah hengkang dari Tesla, Straubel mendirikan startupnya sendiri yang bergerak di bidang daur ulang baterai, terutama bekas kendaraan listrik.

Pada putaran pendaan periode September 2020, perusahaan yang berbasis di Carson City, Nevada ini berhasil mengumpulkan dana segar senilai USD 40 juta setara Rp 576 miliar yang sebagian besar dari Panasonic dan Amazon.

Seperti tujuannya membangun Tesla, Straubel mendirikan perusahaan rintisannya ini dalam rangka mengatasi masalah perubahan iklim. Sekalipun kendaraan listrik dianggap lebih ramah lingkungan, masalah baru justru muncul dari sisa limbah baterai yang mengandung bahan kimia berbahaya. Pengelolaan untuk jenis sampah itu pun memerlukan penanganan khusus.

Sekalipun telah minggat dari Tesla, Straubel diketahui masih mempertahankan sebagian sahamnya di Tesla, yang menyumbang sebagian besar kekayaannya. Selain itu, ia juga direkrut sebagai komisaris di Quantumspace, perusahaan produsen bateri kendaraan listrik yang didanai Bill Gates dan Volkswagen.

Reporter: Abdul Azis Said