Sukses

Sederet Fakta Resesi Indonesia, Gara-Gara Orang Kaya Malas Belanja?

Indonesia resmi resesi setelah mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut.

Liputan6.com, Jakarta - Sebelumnya berbagai kalangan memprediksi Indonesia juga akan masuk ke jurang resesi akibat pandemi Covid-19. Ekonom, pelaku pasar hingga pengusaha, percaya akan prediksi tersebut. Dan akhirnya benar-benar terwujud.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2020 minus 3,49 persen. Sehingga kini Indonesia resmi resesi setelah mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut.

Lantas apa saja penyebab, respon, dan bagaimana dampak resesi terhadap masyarakat?

Lengkapnya, berikut beberapa artikel terpopuler di kanal bisnis Liputan6.com yang membahas terkait pertumbuhan ekonomi dan resesi, Jumat (6/11/2020):

1. Melebihi Prediksi Presiden

Presiden Joko Widodo atau Jokowi memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di angka minus 3 persen pada kuartal III 2020. Artinya, Indonesia akan mengalami resesi setelah pertumbuhan ekonomi terkontraksi minus 5,32 persen di kuartal II 2020.

"Kuartal ketiga ini kita juga mungkin sehari, dua hari ini akan diumumkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik), juga masih berada di angka minus. Perkiraan minus 3 naik sedikit," ujar Jokowi saat memimpin sidang kabinet paripurna dari Istana Negara Jakarta, Senin (2/11/2020).

Jokowi mengaku telah meminta Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi untuk menjaga laju investasi kuartal III 2020 agar tak minus lebih dari 5 persen. Namun, hal tersebut belum terealisasi.

2. Meski Resesi, Sri Mulyani Sebut Ekonomi Indonesia Membaik

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, capaian pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 sudah cukup baik dibandingkan posisi kuartal sebelumnya meski akhirnya membawa Indonesia ke jurang resesi. Hal ini menunjukan bahwa proses pemulihan ekonomi dan pembalikan arah dari aktivitas ekonomi nasional saat ini sedang menuju ke arah positif.

"Hal ini lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya yang minus 5,32 persen. Seluruh komponen ekonomi baik dari sisi pengeluaran mengalami peningkatan maupun dari sisi produksi," kata dia dalam konferensi pers, secara virtual di Jakarta, Kamis (5/11/2020).

Bendahara Negara itu menambahkan, perbaikan pertumbuhan ekonomi didorong oleh peran stimulus fiskal atau peran dari instrumen Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Utamanya dalam penanganan covid-19 serta program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

3. Penyaluran PEN Lambat Penyebab Pertumbuhan Ekonomi

Berbeda dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III lebih baik karena penyaluran PEN. 

Namun menurut Ekonom Abra el Talattov mengatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 minus 3,49 disebabkan efektivitas stimulus fiskal PEN tidak dieksekusi dengan cepat, sehingga kontraksi konsumsi rumah tangga tinggi.

“Kalau kita melihat dari data kuartal III itu faktor utamanya daya beli yang masih sangat lemah, konsumsi rumah tangganya terkontraksi minus 4 persen, dan kuartal II minus 5,5 persen. Jadi hanya berkurang 1,5 persen kontraksinya,” kata Abra kepada Liputan6.com, Kamis (5/11/2020).

Padahal di kuartal III pemerintah sudah jor-joran mengalokasikan stimulus fiskal. Anggarannya sudah dialokasikan cukup besar, yaitu Rp 695,20 triliun. Tapi kata Abra, stimulus tersebut tidak cukup membantu memperbaiki konsumsi rumah tangga.

“Nah ini salah satu kritik krusialnya, konsumsi rumah tangga kontraksinya masih tinggi, karena ternyata efektivitas stimulus fiskal itu tidak bisa dieksekusi dengan cepat, lantaran realisasi stimulus PEN baru 52 persen sampai 28 Oktober 2020 kemarin,” katanya.

4. Penyelamat Ekonomi Kuartal III 2020 Konsumsi Pemerintah

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, satu-satunya menjadi penopang ekonomi pada kuartal III-2020 tersebut dari sisi konsumsi pemerintah atau pengeluaran. Sementara beberapa komponen penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) lainnya masih mencatat negatif.

"Satu-satunya komponen yang tumbuh positif dan sangat tinggi adalah konsumsi pemerintah yaitu 9,76 persen," kata dia di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Kamis (5/11).

Berdasarkan data BPS, kuartal III -2020, konsumsi pemerintah tercatat tumbuh 9,76 persen. Sementara konsumsi rumah tangga minus 4,04 persen, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi minus 6,48 persen, Konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) minus 2,12 persen, ekspor minus 10,28 persen, dan impor minus 21,86 persen.

"Jadi kalau di kuartal II yang lalu konsumsi pemerintah minus 6,9 persen sekarang posisinya berbalik dan tumbuh tinggi sekali," ungkapnya.

"Konsumsi rumah tangga masih kontraksi, tapi tidak sedalam kuartal II, di mana konsumsi rumah tangga minus 4,04 persen. Seluruh komponen kontraksinya tidak sedalam kuartal II dan ini menunjukan arah pemulihan ke arah yang positif," lanjut dia.

3 dari 4 halaman

5. Pengusaha: Pertumbuhan Ekonomi Baru Bangkit di 2023

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) memperkirakan tekanan ekonomi masih berlanjut hingga tahun depan di hampir semua sektor.

“Untuk pelaku usaha, proyeksi tekanan ekonomi diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga sepanjang tahun depan di hampir semua sektor. Kami perkirakan sekitar 50 persen pelaku usaha dari berbagai sektor masih akan tertekan sepanjang tahun depan,” kata Wakil Ketua Umum KADIN Shinta Widjaja Kamdani, kepada Liputan6.com, Kamis (5/11/2020).

Dia memperkiraan angka tersebut bisa lebih tinggi bila vaksin lebih lambat ditemukan atau didistribusikan. Perkembangan mengenai vaksin ini menjadi kunci perbaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepannya.

Begitupun dengan beberapa sektor seperti penerbangan, pariwisata, dan hotel diproyeksikan tekanannya masih akan terus berlangsung melebihi tahun depan. Menurut Shinta, tahun 2023 atau 2024 baru bisa normal kembali.

“Jadi, masih berat hingga sepanjang tahun depan dan untuk pulih hingga ke level sebelum pandemi perlu proses panjang. Kondisi kita sangat jauh berbeda dengan China yang bisa keluar dari krisis dalam 1 kuartal karena supporting factor-nya tidak sama,” jelasnya.

6. Orang Kaya Malas Belanja jadi Sebab Ekonomi Kuartal III Minus Lagi

Peneliti Indef Bhima Yudhistira mengatakan, konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2020 masih minus 4,04 persen. Kondisi ini bermakna masyarakat, khususnya kalangan menengah ke atas belum percaya terhadap penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah.

"Masyarakat khususnya menengah ke atas belum percaya terhadap penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah," kata Bhima di Jakarta, Kamis, (5/11/2020).

Bhima menilai, orang kaya di Indonesia atau kalangan menengah dan atas masih diliputi kekhawatiran untuk belanja di luar rumah masih cukup tinggi. Ini membuat kelas menengah dan atas mengalihkan uang ke simpanan perbankan atau aset aman. Hal ini tentu saja membuat ekonomi Indonesia tidak bergerak.

Situasi ini sulit mengalami perubahan jika masalah fundamental gerak masyarakat masih terbatas. Sebab, masalah pandemi belum juga diselesaikan.

 

4 dari 4 halaman

7. Kinerja Investasi Tak Mampu Topang Pertumbuhan Ekonomi

Peneliti Indef, Bhima Yudhistira menilai kinerja investasi belum bisa menopang pertumbuhan ekonomi di masa pandemi Covid-19.

Hal ini tidak sejalan dengan kampanye pemerintah yang ingin menarik relokasi industri dan Omnibus Law Cipta Kerja.

"Kinerja investasi tidak sejalan dengan kampanye masif pemerintah untuk menarik relokasi industri dan Omnibus Law Cipta Kerja," kata Bhima di Jakarta, Kamis (5/11/2020).

Ini tercermin pada pertumbuhan investasi (PMTB) terkoreksi hingga -6,48 persen. Artinya ada indikasi masalah utama investasi saat ini pada beberapa hal.

Mulai dari penanganan pandemi, perbaikan daya beli, pemberantasan korupsi dan penurunan biaya logistik. Berbagai masalah ini kata dia harus segera diatasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kembali pulih.

"Masalah fundamental tersebut banyak yang tidak segera diatasi oleh pemerintah," kata Bhima.

8. Rupiah Ditutup Menguat Meski Pertumbuhan Ekonomi Terkontraksi

Nilai tukar rupiah ditutup di level 14.380 per dolar AS pada Kamis sore. Angka ini menguat 185 poin ke jika dibandingkan penutupan sebelumnya di level 14.565 per dolar AS.

Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim Assuhaibi memprediksi, pada perdagangan besok rupiah rupiah masih akan menguat dengan kisaran 30-200 poin. Namun nilai tukar rupiah akan ditutup menguat sebesar 30-170 poin di level 14.330 per dolar AS hingga 14.420 per dolar AS.

Meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi nasional kontraksi 3,49 persen (yoy), tetapi hal ini tidak terlalu berpengaruh pada nilai tukar rupiah. Kontraksi ekonomi ini dianggap lebih baik dari pada kuartal sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar 5,23 persen.

Kontraksi pertumbuhan ekonomi ini justru menunjukkan proses pemulihan ekonomi nasional dan pembalikan arah atau turning point dari aktivitas ekonomi nasional menunjukkan arah zona positif.

"Pertumbuhan Ekonomi Kuartal Ketiga yang terjadi kontraksi, namun masih menunjukkan perbaikan," kata Ibrahim di Jakarta, Kamis, (5/11/2020). 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.