Sukses

Sriwijaya Air Bakal Tetap Eksis Asal Kurangi Penerbangan

Sriwijaya Air tak perlu stop operasi, tetapi harus kurangi penerbangan.

Liputan6.com, Jakarta - Maskapai Sriwijaya Air sedang dilema karena muncul rekomendasi agar mereka berhenti operasi sementara. Rekomendasi itu berasal dari Direktur Quality, Safety, dan Security PT Sriwijaya Air Toto Soebandoro.

Namun, pengamat penerbangan Gerry Soejatman menyebut sebetulnya ada opsi lain dalam rekomendasi tersebut, yaitu mengurangi penerbangan. Itu perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan kemampuan maintenance pesawat Sriwijaya Air.

"Bukan berarti harus ditutup, cuman memang di situ diperingatkan bahwa kalau tidak dikurangi risikonya akan menjadi berbahaya sendiri sehingga ditutup karena tidak bisa memenuhi persyaratan," jelas Gerry kepada Liputan6.com

"Menurut saya lebih bagus dikurangi sebisa mungkin. Dikurangi hingga mencapai jumlah yang sesuai dengan kemampuan personel maintenance," ia melanjutkan.

Soal kemampuan maintenance Sriwijaya Air, Gerry berkata dulu maskapai masih bisa melakukannya dalam skala kecil, tetapi mereka harus sigap mencari maintenance lain setelah Garuda Maintenance Facility (GMF) berhenti melayani maskapai tersebut akibat utang.

"Cuman kalau tidak ada maintenance-nya cepat atau lambat ya semuanya harus berhenti," ujar Gerry.

Lantas bagaimana masalah tiket dan kisruh Sriwijaya Air dengan Garuda? Berikut pandangan Gerry:

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Masalah Tiket dan Jalan Keluar

Lebih lanjut, Gerry tidak langsung meminta Sriwijaya Air untuk langsung menghentikan penjualan tiket. Ia menyebut Sriwijaya Air masih berhak berjuang.

"Sekarang juga kalau saya bilang jangan beli juga enggak fair bagi maskapai. Maskapai juga berhak untuk menjual," ujar Gerry.

Ia pun meminta agar Garuda dan Sriwijaya bisa duduk bersama membahas kasus ini. Pasalnya, Gerry tak setuju jika kasus ini adalah kesalahan satu pihak.

Gerry juga mempertanyakan mengapa hubungan antara dua maskapai bisa kisruh mengingat sebelumnya sudah ada Kerja Sama Operasi (KSO).

"Di sini kita lihat, kalau memang seharusnya diperbaiki dengan KSO kemarin, kok sekarang jadi begini? Ini juga tanda tanya. Ini kan enggak bilang satu sisi benar, satu sisi salah, ya, tapi kalau dua sisi salah mau diapain?" ujar Gerry yang menyebut tidak adil jika Sriwijaya dituntut apabila masalah berasal dari kedua pihak. 

Ia pun berharap kedua pihak bisa mencari jalan keluar, serta agar Sriwijaya Air bisa mencari bengkel baru agar kondisi penerbangan mereka dapat kembali stabil.

3 dari 3 halaman

Sriwijaya Air Tunggak Utang Hingga Rp 2,46 Triliun

Maskapai penerbangan Sriwijaya Air Group menunggak utang senilai Rp 800 miliar kepada PT Garuda Maintenance Facilities (GMF) AeroAsia untuk biaya perawatan pesawat.

Selain kepada GMF, Sriwijaya Air Group juga menunggak utang kepada BUMN lainnya yakni PT Pertamina, Angkasa Pura I, dan II, Airnav Indonesia dan lainnya dengan total Rp 2,46 triliun terhitung pada Oktober 2018.

Direktur Operasi Sriwjaya Air Captain Fadjar Semiarto, menjelaskan banyaknya utang yang menunggak juga menjadi alasan pemutusan kerja sama dengan anak usaha Garuda Indonesia untuk perawatan pesawat itu.

“Ya karena outstanding, tunggakannya besar, walaupun sudah dicicil juga tidak bisa dimitigasi, jumlahnya Rp 800 miliar, berpotensi macet,” ujar dia seperti mengutip Antara.

Ia menambahkan kondisi perusahaan pun sudah berada dalam rapor merah, yaitu dalam Hazard, Identification dan Risk Assessment sudah berstatus merah 4A di mana tingkat paling parah adalah 5A.

Kondisi tersebut, menurut Fadjar, sudah tidak memungkinkan bagi sebuah maskapai untuk meneruskan operasional penerbangan.

Untuk itu pihaknya mengajukan surat rekomendasi untuk menghentikan sementara operasional Sriwijaya Air Group hingga kondisi sudah kembali memungkinkan, terutama kondisi finansial perusahaan.

“Dari kondisi finansial yang saat ini sedang berefek kepada hampir semua aspek, baik dari sisi operasi, sisi komersial, dan sisi teknis, kemudian sumber daya manusia dan paling berat finansial,” katanya.

Karena itu, ia menambahkan operasional terganggu. Salah satunya banyaknya keterlambatan penerbangan yang menyebabkan membengkaknya biaya layanan sebagai kompensasi.

“Dana service recovery dalam sehari itu bisa Rp 1 miliar untuk penerbangan, selama belum dikatakan cancel sesuai dengan PM 78 kita wajib menyediakan makanan ringan dan lainnya,” kata dia.

Dalam kesempatan sama Direktur Teknik Romdani Ardali Adang mengatakan pihaknya juga merasa khawatir sejak putus kontrak dengan GMF karena perawatan pesawat tidak terjamin.

“Saya terus terang sejak putus dengan GMF sampai saat ini khawatir karena status cukup merah. Spare part saja tidak, oli saja, ban pun terseok-seok,” dia menandaskan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.