Sukses

Ke Mana Utang Ribuan Triliun Rupiah Mengalir?

Utang Indonesia senilai ribuan triliun rupiah diklaim untuk kegiatan produktif.

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) menegaskan  utang Indonesia senilai ribuan triliun rupiah digunakan untuk kegiatan produktif, yakni pembangunan infrastruktur dan investasi sumber daya manusia (SDM). 

Direktur Jenderal (Dirjen) PPR, Luky Alfirman, menjelaskan, utang yang dipinjam Indonesia digunakan untuk belanja produktif, yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perlindungan sosial, serta peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa.

Berdasarkan data periode 2015-2017, jumlah anggaran untuk pendidikan senilai Rp 1.167,1 triliun, kesehatan Rp 249,8 triliun, perlindungan sosial Rp 299,6 triliun, serta DAK Fisik dan Dana Desa sebesar Rp 315,9 triliun. 

"Utang dipakai buat apa? Sesuatu yang produktif, seperti infrastruktur dan investasi SDM. Investasi itu benefit-nya dinikmati oleh generasi yang akan datang," tegas Luky, seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (9/4/2018). 

Berdasarkan data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) sampai dengan akhir Januari 2018, total utang pemerintah sebesar Rp 3.958,66 triliun dan utang luar negeri swasta sebesar Rp 2.351,7 triliun (US$ 174,2 miliar dengan kurs Rp 13.500 per dolar AS).

Jika keduanya dijumlahkan menjadi sebesar Rp 6.310,36 triliun, jauh di bawah Rp 7.000 triliun. Rasio utang masih aman di angka 2,94 persen, dijaga di bawah 3 persen, serta tidak melebihi ambang batas 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara total utang pemerintah pusat sampai dengan akhir Februari 2018 sudah mencapai Rp 4.034,8 triliun.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tak Boleh Terlena

Meski demikian, Luky mengatakan, Indonesia tidak boleh terlena dengan level aman tersebut. Oleh karena itu, DJPPR Kemenkeu menyiapkan beberapa tindakan antisipatif.

"Seperti Crisis Manangement Protocol (CMP) berupa pengklasifikasian tingkat krisis kondisi Pasar Surat Berharga Pemerintah (normal, waspada, siaga, krisis), dan Bond Stabilization Framework (BSF) berupa pembelian kembali SBN," tandasnya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.