Sukses

Ramayana Buka Gerai Baru di Tengah Lesunya Bisnis Ritel

Ramayana membuka gerai baru di Cityplaza, Jatinegara, Jakarta Timur.

Liputan6.com, Jakarta - Meski bisnis ritel tengah lesu, namun tidak menghentikan langkah pelaku usaha di bisnis ini untuk terus melakukan ekspansi. Salah satunya yang dilakukan oleh PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk.

Perusahaan dengan kode emiten RALS ini membuka gerai baru di Cityplaza, Jatinegara, Jakarta Timur yang menempati area seluas 8.353 meter persegi.‎ Gerai ini merupakan gerai keempat yang baru dibuka di tahun ini dan merupakan cabang ke-114.

Sekretaris Perusahaan Ramayana, Setyadi Surya mengatakan, pembukaan gerai Ramayana ini sesuai dengan yang telah direncanakan di awal 2017. Meski pun kondisi ekonomi sedang lesu dan ada shifting pola belanja masyarakat, namun pihaknya harus tetap berekspansi untuk menjaga kepercayaan investor dan pemegang saham.

"Kami harus melakukan terobosan-terobosan baru untuk bisa mendapatkan pertumbuhan sales di 2017," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (4/12/2017).

Dia menjelaskan, ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh industri ritel saat ini. Selain perubahan pola belanja masyarakat, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang sebesar 8,71 persen dan kenaikan biaya sewa pusat belanja 5 persen membuat pelaku usaha ritel harus memutar otak agar tetap bisa bertahan.

"Program-program promosi akan terus dilakukan untuk dapat kembali menarik minat masyarakat berbelanja," kata dia.

Selain promosi, lanjut Setyadi, Ramayana juga menggandeng sejumlah pelaku e-commerce untuk memasarkan barangnya. Dengan langkah ini diharapkan mampu membantu meningkatkan penjualan dan membuat Ramayana bertahan untuk tidak menutup gerainya.

"Kita usahakan terus karena tutup toko bukan jalan keluar yang bagus. Akan ada banyak karyawan yang diberhentikan kalau kita sampai tutup toko," tandas dia.

Tonton video pilihan di bawah ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Toko Ritel Tutup

Gelombang penutupan toko-toko ritel di Indonesia mulai tampak jelas. Satu per satu berguguran diterpa isu pelemahan daya beli masyarakat hingga tertindas persaingan bisnis online (e-commerce) yang kian masif. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali mengungkapkan, maraknya penutupan toko ritel bukan saja menghantam Indonesia, tapi juga di negara lain. Toko-toko ritel raksasa tumbang karena tak kuasa menahan derasnya arus digitalisasi.

"Ini tren dunia. Radio Shack di AS menutup 1.643 toko, Gymboree tutup 150 toko, Walmart dan Meses pun senasib menutup cukup banyak toko. Di Hong Kong mulai diperkecil toko-tokonya, dan di Singapura mulai berubah," kata Rhenald.

Menurutnya, saat ini jarak tidak lagi menjadi halangan bagi orang untuk berbelanja. Dengan aplikasi belanja online, orang tak perlu lagi belanja seperti dulu, datang ke toko langsung. Sebab, saat ini sewa toko di mal biayanya selangit.

"Sekarang masyarakat punya marketplace, seperti Bukalapak, Tokopedia. Orang dan perusahaan bisa beli apa saja lewat marketplace ini. Anak-anak muda pun demikian. Jadi ada alat-alat baru yang membuat masyarakat beralih ke sana," dia menjelaskan.

Sayangnya, kata Rhenald, perubahan ini tidak ditangkap secara cepat oleh perusahaan-perusahaan ritel di Indonesia. Ketika digitalisasi ini menyebar secara cepat, mereka baru mulai berbenah, merombak bisnis model. "Perubahan ini tidak dibaca dengan cepat," tegasnya.

Fenomena ini seolah mematahkan bahwa penutupan toko ritel secara marak terjadi bukan karena penurunan atau pelemahan daya beli masyarakat. Dia berpendapat, banyak fakta yang justru bertentangan dengan daya beli.

"Kalau daya beli melemah, uangnya tidak ada. Lihat di bank Dana Pihak Ketiga (DPK) naik, cadangan devisa banyak. Tapi uangnya tidak digunakan untuk belanja di toko-toko yang kelihatan, jadi Indonesia memasuki tahapan di mana lawan para pelaku usaha yang lama tidak kelihatan semua," ucap Rhenald.

Solusinya, ia mengakui, industri harus segera bergeser, mengubah bisnis model. Katanya, ini bukanlah persaingan misalnya antara transportasi online dan konvensional. Akan tetapi, Rhenald menyebut sudah masuk dalam perang bisnis model, yakni alat pembayaran, mengantarkan makanan minuman, sampai tukang pijat.

"Gubernur melarang ojek online beroperasi di suatu kota. Ojek online bersaing dengan angkot, dan angkot itu tidak nganterin makanan lho. Jadi kota itu bakal menghadapi persoalan matilah industri kuliner mereka, karena angkot tidak nganterin makanan," jelasnya.

Pelaku usaha, saran Rhenald, jangan sering komplain seperti apa yang disampaikan Bos Alibaba, Jack Ma. Sebab orang komplain dianggap akan tetap tinggal di masa lalu, sehingga pengusaha harus meninggalkan hal tersebut dan mulai berinovasi.

"Perusahaan yang lama harus melakukan self-disruptive Mereposisi diri sehingga struktur biaya semakin rendah. Buat pemerintah, mereka harus memelopori pemikiran baru atau bisnis model baru ini, jangan linier karena ini sudah persaingan antara bisnis model," kata Rhenald.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.