Sukses

Kelebihan Pasokan Kamar, Pembangunan Hotel Perlu Moratorium

Kondisi kelebihan pasokan kamar itu telah mendorong banyak pelaku usaha meminta pemerintah setempat menerapkan moratorium pemberian izin hot

Liputan6.com, Jakarta Meski tingkat hunian (okupansi) hotel di Indonesia sepanjang 2016 masih lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, namun sektor hotel dan pariwisata sebenarnya sedang menghadapi tantangan yang cukup berat pada tahun ini.

Salah satunya karena kondisi kelebihan pasokan kamar (oversupply) yang terjadi di beberapa kota besar dan kekurangan tenaga kerja ahli di sektor pariwisata dan perhotelan.

Demikian diungkapkan Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani kepada wartawan yang ditulis Liputan6.com, Rabu (15/11/2017).

Berdasarkan data PHRI, sedikitnya ada sekitar 2.300 hotel berbintang di Indonesia (dari bintang satu sampai lima) dengan total 290.000 kamar. Sementara menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ada pula lebih dari 16.000 hotel non-bintang di seluruh Indonesia dengan total sekitar 285.000 jumlah kamar. Itu berarti jumlah kamar hotel di Indonesia hampir mencapai 600.000 unit.

Menurut Hariyadi, kondisi kelebihan pasokan kamar itu telah mendorong banyak pelaku usaha meminta pemerintah setempat menerapkan moratorium pemberian izin hotel baru, terutama di kota-kota besar yang jumlah hotelnya sudah cukup banyak.

“Menurut saya sih (moratorium) perlu dilakukan, karena daerah seperti Bali, Yogyakarta, Bandung, itu sudah sangat padat. Saya belum paham kenapa investor masih tertarik membangun hotel (disitu) kalau nantinya ternyata tidak untung. Kan kita bisnis maunya untung. Ngapain kalo tidak untung,” tegas Hariyadi, yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu.

Selain masalah oversupply hotel, disrupsi digital (digital disruption) juga mempengaruhi industri perhotelan dan dampaknya bisa positif atau negatif. Menurut dia, industri perhotelan tidak bisa memungkiri kalau okupansi hotel sangat terbantu oleh jasa yang disediakan dari online travel agency.

“Kalau dilihat jumlah kamarnya, Indonesia ini yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Kita tidak ada lawannya. Jumlah kamar tadi itu belum termasuk yang tersedia melalui konsep ekonomi berbagi (sharing economy),” kata Hariyadi, yang akan menjadi pembicara di acara The Hotel Week Indonesia, yang merupakan ajang konferensi dan eksibisi dengan fokus di bidang hotel dan pariwisata.

Hariyadi menambahkan, para pemilik dan operator hotel saat ini harus bisa beradaptasi dengan tuntutan dari online travel agency, yang meminta komisi lebih tinggi dari travel agency konvensional.

Namun, dia juga menyoroti masalah perpajakan terkait Online Travel Agency (OTA) asing, terutama terkait Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26). Saat ini, ungkap Hariyadi, operator dan pemilik hotel dipaksa membayar PPh Pasal 26 yang ditagih oleh Direktorat Jenderal Pajak, karena para OTA asing tidak membayar pajak.

“Ini yang sedang di proses di Ditjen Pajak. Nah, karena hotel tidak bisa narik, maka Ditjen Pajak minta hotel yang membayarkan. Ini saya rasa semua hotel akan bereaksi keras karena itu menjadi beban tinggi. Padahal OTA asing ini meminta komisi antara 15-30 persen. Jadi dibayangkan saja,” tegas Hariyadi.

PHRI, menurut dia, sedang meminta kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk meminta OTA asing membuat badan usaha tetap di Indonesia. Selain itu, soal pajak OTRA asing ini, asosiasi telah menyampaikan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani.

“Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini bisa ada jawaban. Kami mohon Menteri Keuangan bisa koordinasi dengan Menteri Komunikasi dan Informatika, karena beliau mungkin punya perspektif lain. Lalu bagaimana kalau mereka menolak seperti kasus Google? Kami sedang bicarakan dengan rekan-rekan perhotelan, termasuk opsi blokir terhadap OTA asing ini, dan mereka siap mendukung,” papar pemilik jaringan Hotel Sahid tersebut.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sertifikasi Profesi

Sementara itu, Alexander Nayoan, Ketua Umum Jakarta Hotel Association yang menaungi lebih dari 140 hotel bintang lima dan empat di Jakarta mengungkapkan bahwa industri perhotelan di Indonesia saat ini mengalami kekurangan tenaga ahli. Oleh karena itu dibutuhkan sertifikasi profesi terutama untuk posisi top management di industri ini.

“Buat sertifikasi General Manager misalnya itu apa aja yg dibutuhkan? Idealnya seorang GM harus memiliki sertifikasi dari semua posisi yg ada di bawahnya,” ujar Alex.

Dia menerangkan, untuk posisi GM misalnya dibutuhkan sekitar 54 sertifikasi profesi, namun sayangnya yang tersedia mungkin baru sekitar 15 sertifikasi. Itu pun harus mengambil dari banyak tempat (sertifikasi profesi).

Alex mengatakan Lembaga Sertifikasi Profesi Pariwisata tidak bisa menyediakan standarisasi profesi yang jelas untuk pekerja di sektor hospitality. Menurut dia, industri perhotelan sangat membutuhkan campur tangan pemerintah untuk mendorong proses sertifikasi tersebut.

The Hotel Week Indonesia akan diselenggarakan pada 23 - 25 November 2017 bertempat di Jakarta Convention Center Jakarta. Perhelatan ini didukung oleh dua asosiasi besar yakni Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Ratusan eksibitor dari industri pendukung perhotelan seperti hotel investment, teknologi perhotelan, hotel design, hotel solution, interior eco-tech telah mendaftarkan diri untuk berpartisipasi pada acara tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.