Sukses

72 Tahun Merdeka, RI Masih Hadapi Deindustrialisasi

Indonesia hari ini memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72. Sayang, hal itu belum dirasakan industri

Liputan6.com, Jakarta Indonesia hari ini memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72. Sayangnya, hingga 72 tahun ini, sektor industri belum merdeka.

Ekonom dari Economic Actions Indonesia (EconAct) Ronny P Sasmita menjelaskan, saat ini Indonesia tengah menghadapi deindustrialisasi. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk lebih baik ke depannya.

"Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB Indonesia terus mengalami tren penurunan sejak dekade lalu," ucap Ronny kepada Liputan6.com, Kamis (17/8/2017)

Dicatatnya, pada 2004, sumbangan industri manufaktur terhadap PDB masih mencapai 28,34 persen. Namun, 10 tahun kemudian, kinerja industri manufaktur kian tergerus. Pada periode 2013-2015, sumbangan industri manufaktur terhadap PDB masing-masing 21,03 persen, 21,01 persen, dan 20,84 persen.

Sedangkan dari sisi laju pertumbuhannya, pada periode 2013-2015, industri manufaktur tumbuh masing-masing 4,37 persen, 4,61 persen, dan 4,25 persen atau di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang masing-masing 5,78 persen, 5,02 persen, dan 4,79 persen.

Laju pertumbuhan sektor industri pengolahan juga di bawah sejumlah sektor lainnya seperti informasi dan komunikasi, konstruksi, jasa keuangan dan asuransi, serta jasa perusahaan.

"Gelagat dari pergerakan kontribusi dan pertumbuhan industri kita kurang menggembirakan. Alih-alih makin berkembang. Justru gejala deindustrialisasi yang ternyata terus berlanjut, bahkan hingga awal tahun ini," tegas Ronny.

Pada kuartal pertama 2016, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB sebesar 20,80 persen dan laju pertumbuhannya 4,59 persen atau di bawah laju pertumbuhan ekonomi yang sebesar 4,92 persen.

"Gejala deindustrialisasi juga menyulut gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sudah terjadi sejak beberapa tahun belakangan," tambah Staf Ahli Ekonomi Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) itu.

Sebagai solusinya, Ronny mengusulkan, pemberian insentif fiskal akan menjadi opsi yang cukup menarik, termasuk dengan memperluas industri yang bea masuknya ditanggung pemerintah (BMDTP). Kebijakan semacam itu akan membantu perusahaan yang kesulitan cashflow, atau dana segar untuk menunjang aktivitas usaha.

"Sebab, dalam situasi dalam negeri yang kurang dinamis, likuiditas dana di ranah domestik terbilang terbatas. Jadi, sumber pembiayaan untuk keperluan aktivitas suatu perusahaan juga terbatas. Nah, jika bea masuk ditanggung pemerintah, artinya ada peluang bagi dunia usaha untuk berhemat," tutupnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.